Friday, May 20, 2005

Being Single (& Happy)

Akhir minggu adalah waktuku untuk main; dan kali ini targetnya sebuah kafe baru.
Mendengar ini, seorang teman menatapku sambil tertawa, lantas bertanya, “Kamu? Sama siapa?”

Aku balas menatapnya dengan senyum lebar; berusaha menangkap maksud tersembunyi di balik tawa itu. (And, i can tell you, she did mean something!)

“Mo jalan-jalan, Lok? Sama SIAPA?”, lanjutnya.

Oh. So that was it. Ini tentang statusku versus statusnya.

Statusku: cewe umur 23 tahun, berwajah biasa (*1) dan MASIH single, kliatannya tidak sedang dikejar-kejar cowo mana pun, sangat dicurigai ‘tidak laku’.

Statusnya: cewe umur 24 tahun, berwajah cantik (*2) dan SUDAH punya pacar, kliatannya masih banyak cowo yang tetap mengejar-ngejar, sangat dicurigai ‘laku keras’.

Dengan “Sama SIAPA?”-nya yang skeptis dan penuh tawa itu, dia sedang mengatakan “Kasian deh loe yang ga punya cowo!”. Aku balas tertawa.

Pada teman lain yang tampak ahistoris dengan arah pembicaraan ini, aku menjelaskan: “She’s teasing my being single, but actually for me that’s an excuse for seeing many guys at once.. Ha ha ha..”. (*3)

“Or not seeing any at all..”, timpal si cewe-laku, masih memamerkan wajah dan tawanya, seolah-olah engga maen sama cowo adalah hal paling malang di dunia.

“Well, mirror has two faces.”, aku mengakhiri sesi penghinaan itu dengan riang.

Tetapi semakin dipikir semakin menyebalkan.

Kenapa sih sampai sekarang ini masih ada orang di dunia ini yang tega-teganya berpikir bahwa kebahagiaan, kesuksesan, status, harga diri dan entah-apa-lagi dari seseorang ditentukan oleh:

1. apakah dia single atau tidak

Untuk yang single;
2. apakah dia ‘high quality jomblo’ atau bukan
(High quality jomblo statusnya ‘dimaafkan’, sedangkan yang bukan, statusnya ‘hina’)

Untuk yang tidak single:
3. secakep/keren/kaya apa pasangannya
(Punya pasangan cakep/keren/kaya artinya kita ‘terjual dengan harga mahal’ dan kalo kebalikannya, kita cuma setingkat lebih tinggi daripada ‘jomblo hina’)

Karena temanku menganggap aku layak ‘dihina’, maka tentu bagi dia aku tidak termasuk ‘high quality jomblo’. Itu menyebalkan, i gotta say (*4). Tapi terserah saja apa pendapat dia. Yang aku tidak suka adalah cara dia mengukur nilai diriku dari apakah aku laku atau tidak, dan jika iya, seberapa ‘mahal’ aku terjual (*5).

Ini MENYEBALKAN. Aku bukan barang dagangan. Aku tidak untuk dijual. Seandainya pun aku punya pasangan, aku ingin (dan HARUS!) dilihat sebagai AKU, bukan dinilai semata-mata sebagai refleksi pasanganku.

Dan, demi Tuhan, apa sih salahnya berstatus single? Kenapa banyak orang (atau setidaknya satu teman itu) melihat status single sebagai sebuah kekalahan? Mungkin baginya hidup ini adalah arena besar di mana semua orang saling memperebutkan pasangan. Jika memang ini kasusnya, aku turut berduka cita untuk dia. To live only to mate? Maap-maap aja, there MUST be MORE in life than just that, pal!

Aku single. Karena aku memilih tetap single. Aku independen karena aku memilih hidup independen. Dan yang paling penting, aku tidak memandang diriku berkapasitas untuk menghina dan atau dihina akibat status jomblo-dan-independen ini. I like me the way i am. Aku bahagia.

Dan tidak punya waktu untuk meladeni tawa pongah domba-domba yang ‘hilang arah’.. HA HA HA!


Note
*1 : Ini bentuk optimis untuk tidak bilang ‘jelek’ ;p
*2 : I’m trying to be objective here!
*3 : Berkelit dengan cara nge-les, hehehe..
*4 : Aku memang engga punya hak untuk mengklaim status ‘high quality jomblo’, tapi meski kita jelek dan bego, kalo dibilang begitu di depan hidung kita kan pasti sebel juga. Maksudku, bukan mauku bahwa aku jelek dan bego. Huh!
*5 : Sebenarnya ini engga kasuistik hanya pada aku dan si cewe-laku. Meski berbau paradigma tradisional, cara pandang ini ternyata menjadi kecenderungan umum budaya modern. Baca “The Art of Loving” dari Erich Fromm untuk lebih jelasnya.

PS: Lain kali kita bicarakan alasan2 bagus untuk memilih single daripada pacaran ya. Kalo pernikahan sih kastanya udah beda. :)

Tidak Datang ke Wisuda

#####
Sekitar setahun yang lalu, mbak A*** tidak datang ke wisuda mbak Emmy. Mereka satu angkatan dan teman baik, tapi mbak Emmy lulus duluan.

The-tactless-me dengan bodoh menanyakan kenapa mbak A*** tidak datang ke sana (tactless, karena itu kan hal sensitifff..). Toh dia mau menjawab, setelah menatapku lama-lama, seolah menimbang apakah aku sedang mengejek.

“Rasanya sakit liat Emmy lulus duluan, Lok.”
“Oh!”, balasku, lalu diam.
Speechless.

#####
Sekitar sebulan yang lalu, aku tidak datang ke wisuda Echoy. Kami satu angkatan dan teman baik, tapi Echoy lulus duluan.

Echoy dengan ribut memprotes ketidakhadiranku di wisudanya (tidak bisa dibilang tactless karena itu sama sekali bukan hal sensitif buatku). Aku menanggapinya tanpa berlama-lama.

“Sori, Choy. Gw kerja, ada kelas sampe jam 12. GSP dah sepi kan jam segitu?”
“Oh!”, balas Echoy, dan segera disambung dengan, “Nyebelin banget. Gw cari-cari loe, tauk. Loe malah engga dateng.”
“Sori, say.. hehehe..”

#####
Aku bertanya-tanya kini, apakah kala itu sebenarnya aku tidak datang karena aku sakit hati? Tapi memang tidak, kok. Bahwa Echoy lulus duluan, aku tidak terlalu peduli.

Tiba-tiba teringat puisi Robert Frost.
“Two roads diverged in a yellow wood --- And I took the one less traveled by”.

Benar. Tidak ada sakit hati. Ini sesederhana dua jalan yang terhampar di hutan.


Originally written in Dec '04. Di-posting sekarang -meski basi- karena dua hari lalu di kampus ada wisudaan (lagi).
More about Echoy (aka. Resipa Elfira) on her blog: http://relfira.blogspot.com

Thursday, May 05, 2005

Give In To Temptation


Hari yang panas kala itu. Aku dan Tiessa mampir ke sebuah restoran cepat-saji demi seporsi eskrim Cone murah. Di depan kami iklan besar "Spicy Chicken Burger" seharga 5500 rupiah (sudah termasuk pajak). Kami miskin, bukan penggemar junkfood, dan tidak hedonis. Tapi juga sedang lapar.

Aku dan Tiessa berpandangan, dan menyerah pada godaan.

Hari ini ada yang menarik. Sebuah hadits tentang menyerah pada godaan.

When a believer gives in to temptation, a black stain appears on his heart. If he repents and asks for forgiveness, that stain disappears. But if he continues to transgress, the stain continues to grow until it blackens the entire heart. That stain is the rust the Lord Almighty refers to: "Nay, rust has fallen upon their hearts for what they have earned."
-The Prophet Muhammad, as reported by Abu Hurairah

Seperti apa hatiku ya? Jika pada sepotong burger pun begitu mudah tergoda. Apa aku perlu obat antikarat?

Aku ingin punya tekad kuat. Aku ingin hati yang murni.

Mudah2an Anda juga.

(Hadith translated by Aneela Khalid Arshed.)

Sunday, May 01, 2005

Tertawa dan Frustasi

Akhir minggu adalah waktuku untuk memanjakan diri! Buatku, cara paling mudah adalah dengan terbang ke dunia buku. Aku mencintai buku, ini benar. Sejak dulu aku selalu bilang, “If ever I wanted all the money in the world, it would be for books.” (aku juga suka musik, outdoor, apel merah, dan Jamie Aditya, tapi itu beda).

Weekend kemarin aku habiskan untuk membaca dua buku karya pengarang lokal: “Gege Mengejar Cinta” dan “Subject:Re”. Yang satu mengajak tertawa dan yang lain mengajak frustasi.

Membaca karya lokal penulis debutan bukanlah kebiasaanku. Seringnya kan cuma berisi cerita cinta murahan, konsumsi abege, atau yang mengobral seks (biar dikira open-minded, kali). Aku engga suka. Dangkal, vulgar. Baca buku tapi engga dapet apa-apa.

Orang-orang bilang bacaanku tidak ‘mainstream’. Cewe-cewe sekarang paling suka baca chicklit karena menganggapnya “cerdas, lucu, modern”. Ya silakan, nikmatilah. Aku sendiri menganggapnya “lucu dan temporer” (tapi tidak “cerdas”, hehehe..). As always, “bagimu bukumu dan bagiku bukuku”.

Nah, jangan salah paham, chicklit dan semua novel Danielle Steele dkk itu FINE, tapi kalau berpikir bahwa sejak manusia diciptakan sampai sekarang telah ada ratusan milyar buku/catatan dari seluruh peradaban di muka bumi, dan betapa sedikit waktu yang kita punya untuk membaca peninggalan budaya intelek itu, mau engga mau kita harus bikin daftar prioritas kan? Sementara ada begitu banyak buku yang mengubah dunia, yang indah berkilauan, yang bermakna, kenapa juga aku harus buang-buang waktu untuk baca chicklit?

Kalo aku bilang gitu, kesannya kayak aku sok “tinggi” dan sok “filosofis” yah. Engga kok. Ini cuma masalah selera. Chicklit (dan teman-temannya) mungkin pisang yang paling enak di dunia, tapi aku maunya apel.

But, as I was saying, akhir minggu kemarin aku baca dua buku lokal. “Gege Mengejar Cinta” tuh punya Aditya Mulya, civil engineer dari ITB yang sebelumnya nulis “Jomblo”. Udah baca? Lucu banget, asli. Buku keduanya juga lucu, dan selama 2 jam aku engga brenti ketawa. Sayangnya engga akan dapet nominasi Nobel Sastra yah, kalo cuma entertaining aja.

Anyway, segala gelak tawa itu sebenarnya membungkus satu pertanyaan bodoh yang mungkin adalah salah satu pertanyaan filosofis paling penting dalam percintaan: “Mana yang lebih membahagiakan: dicintai atau mencintai?”. Aditya Mulya engga kasih jawaban. Dalam dunia dia, cinta adalah main kejar-kejaran. ^_^

Buku lainnya, “Subject:Re”, adalah debutan Novita Estiti. Ngakunya (di kover buku) semacam chicklit, tapi suram banget. Kisah cinta orang-orang yang kehilangan makna, yang meninggalkan Tuhan. Lumayan bagus kok. Mungkin akan aku beli sebagai hadiah untuk orang, kapan-kapan. Bukunya sangat jujur, sangat terlalu jujur. Bikin kita memikirkan betapa rapuhnya semua ini, dan betapa engga berarti. Yang jelas, aku engga akan memasukkan “Subject:Re” dalam satu katagori dengan chicklit. Setidaknya untuk satu alasan: tokoh utama engga jadian sama cowo cakep-pinter-kaya (Prince Charming versi modern gitu, hahaha..) sesuai hukum utama chicklit.

Btw, aku baru sadar, kok kayaknya aku nyinyir banget sama chicklit ya? Maap-maap aja deh, buat penulis dan pembacanya. Aku maunya apel sih.

End Note:
* Aku juga baca roman, kok, seperti suatu ketika dikomentarin Tiessa, “Kamu masih baca gituan?”. Aku bilang, “Just for the English..”. Sekalian buat belajar.
* Ada yang udah baca “Man and Superman”-nya Bernard Shaw? Kok seluruh dunia blom baca sih? Gih, download dari Gutenberg Project ato apa gitu, aku butuh teman untuk ngerumpiin isi bukunya nih. Menurutku sih bagus banget.