Tuesday, February 06, 2007

Hotel Mawaddah, Diskotek Hamdalah


Pristi, sarjana psikologi yang lulus cum laude, cantik dan cas-cis-cus berbahasa Inggris, menyatakan ketertarikannya bekerja di bidang perhotelan.

Aku, perempuan culas oportunis yang melihat kesempatan makan gratis di hotel tempat Pristi bekerja (kalau jadi), segera menyambut keinginannya dengan dukungan berbunga-bunga.

"Tapi mana ada sih hotel yang mau mempekerjakan perempuan berjilbab?", tukasnya kemudian sambil mendesah. Harapanku pun hancurlah.

Ada kebenaran di situ. Aku ingat aku sendiri pernah meragukan apakah jilbabku ini dibolehkan masuk Hugo's dan TJ's. Di dunia hedonisme, jilbab yang menjadi simbol keagamaan jelas menguarkan bau-bauan yang mengernyitkan kening para sekuleris.

Pristi bilang sebenarnya masih ada harapan, misalnya kalau dia ditugaskan menjadi HRD Manager di hotel cabang Dubai atau Oman. Aku bilang, kesempatan lain akan datang ketika berdiri hotel yang kami impi-impikan (dengan setengah bercanda): HOTEL MAWADDAH. Dan di dalamnya: DISKOTEK HAMDALAH.

Kalau Hugo's menghalauku pulang, aku akan pergi ke Hamdalah dan menikmati kesetaraanku sebagai manusia. Dengan cara Islami, tentu saja. Ada hijab untuk ikhwan dan akhwat. Bukan host music tapi nasyid. Dan setiap kali akan terdengar, "Alhamdulillah bisa ke disko". "Alhamdulillah bisa dugem". Alhamdulillah, alhamdulillah.

Atau kalau studi kelayakan pasar untuk wahana semacam ini ternyata kurang menawan -berapa sih jumlah perempuan berjilbab di Indonesia, apalagi yang otaknya berantakan?- yang bisa dilakukan Pristi adalah berdoa. Agar P** menang Pemilu 2009 nanti. Mungkin syariah akan diterapkan di seluruh penjuru bumi pertiwi. Ketika semua perempuan muslim menutup auratnya, Pristi pun bisa bekerja di hotel mana saja.

Sampai di sini aku bertanya-tanya, sebenarnya aku sedang bicara omong-kosong apa?

Dulu, dulu sekali, dengan mata mengawang Pristi bilang bahwa tadinya dia pikir jilbab hanya akan membatasinya dari berenang. Orang-orang berkoar soal dunia tanpa diskriminasi. Ras, gender, agama- sama, sama, sama.

Aku dan Pristi warga negara miskin di Asia, perempuan, berjilbab pula. Pada gaung kesetaraan yang cuma samar-samar di Dunia Nyata, kami tertawa. Dunia Nyata itu kejam. Bisa tertawa pun suatu berkah. Alhamdulillah, alhamdulillah.