Wednesday, June 28, 2006

Orang-Orang Indonesia: Beliau Minta Tas Segala

(Patria Es Humanidad, Pt.8)

Tiba kembali di stadion! Belum sepuluh meter dari tempat parkir mobil, di gerbang muka aku dibajak Rudy. “Elok! Are you free?”. Lantas tanpa ba-bi-bu dia memintaku untuk menjadi penerjemah dalam pertemuannya dengan birokrat lokal yang akan datang tiga menit lagi. Mbak Dede dari USAID yang seharusnya mendampinginya hari itu terjebak di OR. Aku pikir lebih baik aku kembali ke OR dan menggantikan mbak Dede –toh sebenarnya itu tugasku- tetapi oh no! Mbak Dede persis di tengah operasi. Maka kembalilah aku pada Rudy dan tertawa penuh kemenanganlah dia, “I told you! You didn’t believe me. You just hated me.” Giliran aku nyengir, “No Sir, i was just thinking that if you were used to Dede then it was best to get her.”

Namun si birokrat keburu datang sebelum Rudy sempat menerjemahkan smirk-nya dalam kata-kata. Birokrat ini (sebut saja Pak Joko) dari Pemda Bantul, entah kantor apa, aku hanya melihat sepintas name tag-nya. Rudy langsung mengajak Pak Joko masuk, dan bicara tentang “melihat ker
usakannya”. Kerusakan apa, aku masih meraba-raba sambil menerjemahkan sebisanya. Pak Joko bicara tentang “lapisan-lapisan tanah” dan “pasir yang tidak boleh tercampur”. Setelah tiga menit, baru aku bisa menebak arah pembicaraan mereka, dan wajahku yang sudah gosong seharian jadi bertambah suram.

Ini tentang stadion kebanggaan Bantul, tempat rumah sakit lapangan berdiri. Ini tentang bagaimana hujan sederas apapun tidak akan membuat lapangannya banjir, karena ada lapisan karpet di bawah struktur tanah, dan batu-batu dan pasir dan sebagainya. Ini tentang aktivitas para marinir dengan alat-alat beratnya –mendirikan tenda, mengangkut mesin-mesin medis- merusak lapisan karpet itu dan memporakporandakan struktur tanahnya. I
ni tentang keharusan ganti rugi untuk memperbaiki semua kerusakan ini. Singkatnya, ini tentang uang.

Pak Joko mau bilang –kalau diterjemahkan menjadi bahasa yang paling lugas dan sederhana: stadion ini rusak gara-gara usaha KEMANUSIAAN Anda menolong orang-orang BANTUL yang saudara bukan teman bukan, dan saya tahu Anda sudah menghabiskan jutaan dollar, tapi di mana TANGGUNG JAWAB Anda terhadap stadion ini?

Pics: The accused of the so-called damage: tents, boxes, skytrax..

Rudy mangut-mangut dengan wajah serius. Aku tertunduk dalam-dalam. Sepertinya Rudy sadar suaraku makin lama makin pelan. Dia menepuk bahuku dengan gaya menenangkan, seraya berkata “I’ll go get my lawyer!” *smirk*

Selama Rudy menghilang di balik tenda CoC, tiada hentinya Pak Joko mengoceh soal “Saya sudah bilang, kalau pakai stadion ini nanti stadionnya rusak. Kok mereka nggak mau pake pelataran parkirnya aja?”, seolah-olah dia tidak melihat bahwa pelataran parkir sudah sesak oleh puluhan mobil USAID dan IOM, juga oleh mobil-mobil tangki air dan dua kontainer obat-obatan. Lantas, "Ini harusnya rumputnya disiram, mbak. Tanggung jawab mereka. Kering nanti rumputnya." Nyuwun pangapunten! Sementara warganya sekarat, dia mikirin rumput?

Rudy kembali bersama Capt. Aoyagi, pengacara dari US Marine. Aku mendesah. Pembicaraan akan jadi semakin menyebalkan, pikirku. Tapi ternyata Aoyagi datang hanya untuk mengatakan bahwa silakan buat klaim apa saja beserta bukti-buktinya, dan selama jumlahnya masuk akal US Marine akan membayarnya. Semakin cepat klaim masuk, semakin cepat dibayar. Sama sekali tidak ada sanggahan, sangkalan, perlawanan. Pak Joko tersenyum sumringah. Aku menunduk semakin dalam, tidak ingin Rudy atau Aoyagi melihat mukaku yang aku yakin merah padam.

Pertemuan selesai. Klaim akan diserahkan segera setelah pemeriksaan awal. Rudy mengangguk-angguk dan Aoyagi tersenyum datar. Mungkin dari semuanya cuma aku yang merasa jengah. “So i’m done, Sir?”, tanyaku pada Rudy. “Oh you do hate me, Elok?”, candanya. “I like staying with you Sir, but i believe i’m more needed at the OR.” “OK then, will you kindly escort this gentleman to the gate before you return to your post?” “Yes Sir!”, jawabku dengan gaya Marine. Dia tertawa.

Andai aku juga bisa tertawa. Tapi bapak birokrat ini, Pak Joko ini, benar-benar cobaan yang tiada habisnya. Sambil kami berjalan melintasi tenda-tenda perbekalan, ia menanyaiku dengan riang.

“Sudah lihat tasnya, mbak?”
“Tas apa ya Pak?”
“Tas mereka itu lho. Tas tentara yang besar itu.”
“Oh. Saya nggak tahu.” (sedikit curiga)
Wangun itu mbak kalo dibawa ke airport. Saya mau, itu mbak, satu atau dua.”
“Wah, saya nggak punya Pak.” (merasa bodoh)
“Tolong mintain ke mereka, mbak. Satu atau dua.”
“Aduh Pak, saya ini tugasnya di kamar bedah, jadi nggak banyak ketemu petinggi-petingginya. Yang sering tuh mbak Sari.” (kecurigaan terbukti)
“Ya tolong bilangin mbak Sari, saya mau dua.”
“Bilang sendiri dong Pak.” (suara agak tinggi).


Untung gerbang sudah di depan mata. Buru-buru aku ucapkan salam perpisahan, semoga sukses, bla bla bla. Fiuh! Kadang-kadang aku tidak habis pikir menghadapi orang Indonesia. Tapi untunglah di OR ada AC (surga di bawah matahari tropis ini), dokter-dokter dan paramedis yang baik hati, pasien-pasien yang tulus dan sederhana. Aku akan bahagia. Aku akan bahagia!

Tuesday, June 27, 2006

Orang-Orang Indonesia: Sopir dan TNI Kita

(Patria Es Humanidad, Pt.7)

Hari keenam. Pagi-pagi Adefisan sudah mendatangiku di klinik dan memesanku untuk menemaninya out mission ke Sardjito. Urusan medical waste treatment itu. Rupanya mentang-mentang aku yang memuluskan jalannya di Sardjito dulu, dia pikir asal ada aku urusannya bakal beres (padahal dulu itu kan berkat dr.Suyudi yang terhormat! ;p).


Terserah deh. Tapi gara-gara itu, aku harus menunggunya mengurus izin di depan tenda CoC (Center of Command- kantor para pe
tinggi), satu jam di bawah mentari. Baru kusadari kenapa mas Kris, mas Wawan dan lainnya sungguh-sungguh meningkat pesat dalam hal derajat kehitaman kulitnya. Ini terik yang membakar!

Pic (from mbak Nur-USAID): CoC tent, on a less sizzling day

Steve Chonajki, bos bagian planning, menyelamatkan hariku dengan mengajakku mengobrol selama satu jam itu. Pembicaraan yang cukup beragam dan dalam, mulai dari filosofi hidup, pandangannya terhadap masa depan, sejarah melting pot Amerika, bahasa-bahasa dan tren anak muda. Dari dia kudapatkan juga info berharga bahwa medical set up ini akan sudah habis sama sekali pada tanggal 15 Juni. Dalam beberapa hari satu-dua kontainer logistik akan mulai diangkut balik.


Pic: cars galore just outside the stadium. IOM cars to transport patients and USAID cars for "command" and logistic errands

Akhirnya, dalam keadaan setengah terpanggang, mobil, sopir, marinir pengawal, satu TNI, dan Adefisan siap untuk berangkat. Melajulah kami ke Sardjito. Atau entah ke mana, sebenarnya, karena ternyata si sopir tidak tahu jalan menuju Jogja. Gila! AC mobil mati pula! Klop-lah kombinasi maut antara mobil ngadat, sopir naif, dan interpreter bego. Karena meskipun bolak-balik enam hari ini, aku tidak pernah mencoba menghafalkan rute jalan Bantul-Jogja. Aku kesal pada diri sendiri karena begitu tak bisa diandalkan, kesal pada AC yang nyaris membuat kami mati kepanasan, kesal pada sopir yang menyerahkan segala tanggung jawab kepadaku. “Hey i’m only an interpreter, okay!!”, ingin rasanya aku berteriak begitu. But well, he’s only a driver anyway.

“Kita tanya orang aja Mas. Nanti kalo udah sampe Jogja, insya Allah saya tahu jalan ke Sardjito.”, ujarku akhirnya.

Di luar itu, semua baik-baik saja. Petugas sampah medis yang sudah ku-sms sigap menanti. Urusan selesai dengan cepat, dan dalam perjalanan pulang dengan keajaiban AC mobil mulai bekerja. Kami kesasar satu-dua kali, tapi aku tertawa saja. Ortiz si Marinir Pengawal memanfaatkan
kesempatan itu untuk belanja rokok di warung pinggir jalan –lantas menyumpah-nyumpah karena baginya harga rokok di Indonesia jauh terlalu murah.

Sepanjang perjalanan pulang, dihadiahi pemandangan langit biru dan sawah menghijau, berulang-ulang Ortiz berkata, “I can live here, man. I can stay and live like a king.”. Ia dan Adefisan membahas harga-harga yang luar biasa murahnya (wajar bagi orang Amerika yang pendapatan perkapitanya 35 kali orang Indonesia), dan membanding-bandingkan gaji tentara di kedua negara. Aku tidak sampai hati menoleh ke belakang untuk melihat air muka personel TNI yang menyertai kami.

Pic (from USMC): A US Marine and a TNI: the political side of the disaster relief. Yet also the "social" side.

Di luar soal gaji, ada satu hal yang mendasar yang membedakan sistem militer Indonesia dan Amerika. Militer Amerika menerapkan sistem kontrak dalam keanggotaannya. Mereka digaji untuk mengisi posisi tertentu, dan setelah kontraknya selesai mereka bebas merdeka untuk memulai hidup baru. Steve misalnya, berencana terus di Marinir sampai 9 tahun lagi, dan kemudian menjadi polisi. Waktu kutanya apakah mungkin mulai karir di kepolisian ketika umurnya sudah 40-an, dia bilang bukan masalah. Dia tidak harus mulai dari akademi atau apa. Sedangkan di Indonesia, kalau mau jadi polisi harus masuk sejak usia muda, dan kalau masuk tentara sampai mati harus jadi tentara (yah, tepatnya sampai umur 55 sih..). Aku ingat pada kesempatan lain dr.Maria berkomentar tentang sistem ini, bahwa wajar kalau TNI kelihatan kurang antusias dalam bekerja. Ikatan dinas bisa menjadi kutukan juga.

Dan kutukan itu merambat sampai ke klinik kami! Berkali-kali aku dapati calon pasien kami adalah anggota TNI yang seharusnya berjaga! Ada juga yang repot-repot membawa istrinya untuk diperiksa. Seolah itu hal paling wajar di dunia, mereka petantang-petenteng di muka klinik, minta didahulukan padahal simbah-simbah dan puluhan pasien sungguhan telah menunggu sekian lama. Aku berwajah sedatar mungkin waktu berkata bahwa mereka harus mengantri juga.

Sopir yang kurang tanggung jawabnya, oknum TNI yang seenaknya, interpreter bego yang tidak tahu jalan dan tidak mahir bahasa Jawa, juga dokter nganggur yang kemarin menertawakan Nova. Tidak kusangka bahwa hari itu aku dipaksa banyak berpikir tentang orang-orang Indonesia.

Friday, June 23, 2006

Kaki Pak Darmo

(Patria Es Humanidad, Pt.6)

Kaki Pak Darmo adalah kaki fenomenal. Aku ingat suatu hari di tengah operasi, tiga atau empat paramedis menyerbu masuk dengan kamera di tangan, khusus untuk mengambil gambar kaki Pak Darmo. Dr.Santoyo menyesal kehilangan kesempatan itu. Cooky (paramedis OR) dengan bangga memamerkan foto koleksinya padaku.

Pak Darmo bercerita, butuh dua orang untuk mengangkat batu dan reruntuhan yang menimpa kakinya. Dokter-dokter di OR geleng-geleng kepala; mereka tidak perlu bukti lain untuk percaya. Aku sendiri suatu kali diminta menerjemahkan Cmdr Godinez mengajari perawat rumah sakit setempat bagaimana prosedur untuk merawat luka parah itu. Yang biasanya aku bisa memalingkan muka selama operasi, kali ini luka menganga itu tersaji tepat di depan mata dan tak bisa aku hindari. Cmdr Cooper pasti melihat bagaimana berkali-kali aku menarik napas untuk menenangkan diri, karena siang itu dia memberiku sebatang chocolate cookie.

Hampir setiap hari kujumpai Pak Darmo di OR, dibawa untuk mengganti perban di kaki. Meski kedengarannya hanya perawatan sederhana, untuk kasus Pak Darmo, dokter-dokter harus memberikan anestesi dan injeksi morfin berkali-kali. Aku hampir selalu mendampingi semua prosedur itu. Kami mengobrol banyak, aku dan Pak Darmo. Ketika anaknya, Rohmi, datang menyertainya, kami pun berbagi cerita seperti teman lama.

Pada operasi kelima atau keenam, aku merasakan bahwa kondisi Pak Darmo lebih buruk daripada biasanya. Dia ketakutan. Aku yang awam ini pun melihat bahwa sepertinya tidak ada kemajuan. Cmdr Godinez bilang sendiri, “We could be doing this everyday for weeks, and still nothing changes. This is insane!”. Hatiku sakit. Aku menatap wajah Pak Darmo yang tengah bermimpi di bawah pengaruh obat penenang; bahkan dalam mimpi pun tidak dia temukan kedamaian. Aku menoleh pada Cmdr Cooper, tapi kehilangan kata-kata. Ia menunggu. “It’s just.. it’s just.. Oh, Sir- can it ever be cured?”.

Cmdr Cooper tidak segera menjawab. Ketika akhirnya bicara, yang dikatakannya adalah, “Right now it’s half-half. We might save the foot, or we might not. But so long as we have the chance, we’ll try our best to save it.”. Aku mengangguk. Aku percaya komitmen mereka. Tapi mereka tidak akan ada di sini selamanya.

Rohmi menyambutku di depan ruang bedah. “Gimana Bapak, mbak?”. Kuceritakan jalannya operasi. Ketika Cmdr Godinez menghampiri, Rohmi menggenggam tanganku, “Tanyakan dokternya, mbak, apa kaki Bapak harus diamputasi?”.

Maka aku bertanya. Jawaban Cmdr Godinez sama seperti Cmdr Cooper. Hanya dia menambahkan, bahwa seandainya kaki Pak Darmo diamputasi pun, itu yang terbaik baginya. Lebih baik kehilangan satu kaki daripada kehilangan nyawa.

Rohmi terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca, dan seraya ia memelukku air matanya mengalir deras. Aku balas memeluknya, menepuk-nepuk pundaknya, mencoba menentramkan hatinya. Di samping kami Cmdr Godinez menyampaikan betapa ia turut berduka, bahwa ia mengerti perasaan Rohmi, bahwa akan dilakukannya segala yang ia bisa. Aku membisikkannya pada Rohmi. Cmdr Cooper menghampiri kami dan mengangsurkan segulung tisu. Pak Darmo masih dalam mimpinya, terbaring di tandu.

“Bapak itu takut, mbak.. kalau harus diamputasi..”, kata Rohmi, dan air matanya mengalir lagi. Cmdr Cooper datang dengan sebotol air mineral. Aku mendudukkan Rohmi di kursi di sisi Pak Darmo. Seteguk air membuat Rohmi lebih bisa menguasai diri. Dia menyeka air matanya, dan membelai kepala ayahnya dengan pilu.

Bahkan setelah Pak Darmo sadar, yang pertama ditanyakan kepadaku adalah, “Sudah selesai kan mbak, operasinya? Sudah jauh lebih baik, kaki saya?”

Aku bisa bilang apa? Maka hanya kutekankan bagaimana dokter sudah membersihkan bagian yang infeksi dan mengobatinya. Namun Pak Darmo terus bertanya “jauh lebih baik?”. Aku tahu, dia sangat ingin diyakinkan bahwa kakinya akan bisa diselamatkan. Mataku berkaca-kaca, karena bukan kewenanganku untuk mengatakan “ya”.

Lt.May, mendapati Rohmi duduk termenung dengan mata merah, menanyaiku apakah Rohmi baik-baik saja. Kuceritakan apa yang terjadi dan apa kata Cmdr Godinez tentang kemungkinan amputasi. Lt.May spontan menghampiri Rohmi, berjongkok di sampingnya, dan menepuk bahunya dengan lembut. “Elok, tell her that i know how she feels, that this is hard time for everyone, and what is best for her to do right now is to keep being positive for her father’s sake.”. Maka kurangkul kedua lengan Rohmi sekali lagi, dan kusampaikan kata-kata Lt.May. Matanya kembali berkaca-kaca, namun ia mengangguk kepada Lt.May dan mencoba tersenyum sebisanya.

Itu terakhir kali aku melihat Rohmi dan Pak Darmo. Pada hari-hari terakhir, mereka sudah tidak menyambangi OR lagi. Mungkin karena pengobatan Pak Darmo sudah bisa ditangani perawat yang dulu dilatih Cmdr Godinez. Mungkin karena Pak Darmo memaksa pulang (dia selalu bilang tidak suka di rumah sakit karena jadi merepotkan orang). Mungkin dokter-dokter di rumah sakit lokal akhirnya memutuskan mengamputasi kakinya.

Pak Darmo dulu petani. Sawahnya luas, tapi anaknya tidak mau meneruskannya karena gengsi. Pak Darmo punya dua rumah, yang satu di dekat sawah. Itu dulu, sebelum gempa. Betapa dalam beberapa detik hidup orang bisa berubah.

Bagaimana dan sedang apa Pak Darmo kini, aku tidak tahu. Dan setiap teringat kaki Pak Darmo, aku hanya bisa berdoa. Yaa Allah, ringankanlah bebannya! Yaa Allah, tenangkanlah hatinya!

Note:
Pics, anyone? I dunno if i'd post any pics for this. At any rate i'm still waiting for Cooky to send his. I don't have pics of the wounds, nor of myself -and others- on duty; we simply didn't have time for such a leisure!

Thursday, June 22, 2006

Kasihan Nova

(Patria Es Humanidad, Pt.5)

Aku ingat Nova, perempuan mungil yang baru 4 tahun umurnya. Kakinya luka dan infeksi, sehingga dokter harus membiusnya untuk dapat menyikat nanah bersih-bersih. Dia manis sekali, buah hati ayahnya tercinta. Selama operasi, aku menghibur sang ayah yang berduka berkaca-kaca. Beberapa kali Cmdr Godinez keluar dari ruang bedah untuk menjelaskan kemajuan mereka pada sang ayah.

Operasi pun selesai, dan pelan-pelan kesadaran Nova kembali. Meski dilimpahi permen dan coklat dari dokter-dokter di sini, Nova merengek minta pulang. Aku menggandeng tangannya keluar tenda, mengaja
knya duduk di dekat Provision Tent. Para marinir muda yang bergerombol di sana ramai-ramai menawarkan snack mereka pada Nova. Saat itulah tiba-tiba Nova muntah. Aku terkejut, berseru mulai dari oh no, oh my, oh man, sampai sweet baby. Kuambil tisu dari kantongku dan mulai menyeka mulutnya.

Pic (from mbak Nur-USAID): provision tent, just across from where Nova threw up.

Beberapa paramedis berlari mendekat dengan kardus dan tisu basah. Nova muntah lagi, di kardus kali ini. Setengah panik kubersihkan kaki dan tangannya –yang terkena muntahan- dengan tisu basah. Ada dua dokter Indonesia di sana, dan mereka tidak melakukan apa-apa. Komentar mereka –sambil tertawa- justru, “Gila, perhatian banget dokter-dokter sana. Kalau kita sih paling kita diemin aja.”.

Nova digendong kembali ke OR. Aku mengikuti dengan kardus di tanganku, kalau-kalau dia muntah lagi. Nova mulai menangis dan meraung minta pulang, kedinginan di dalam OR yang ber-AC. Aku mengambilkan selimut, sementara ayahnya memeluknya sambil menangis. Nova anak pertama dan satu-satunya. Istrinya terluka parah juga akibat gempa. Sementara ayah dan anak itu sama-sama menangis, aku diam menunduk. Tidak ada interpreter lain di OR, kedua orang ini tidak bisa kutinggalkan. Tapi hari telah menjelang petang, mas Kris telah menungguku berjam-jam karena urusanku di OR belum kelar juga sementara semua interpreter lain sudah selesai bekerja.

Lt. May mendekat, mengeluarkan dan membuka dompetnya untuk menunjukkan dua foto perempuan-perempuan mungil pada ayah Nova. Dia memintaku menerjemahkan, “They’re my daughters. This one is 8 and she’s 6. Tell him, i know how he feels. Tell him i know this is really hard for him, but we’ll do our best for his little angel. We have our own little girls, too.”. Dan aku menyampaikannya.

Betapa berbeda! Betapa berbeda dengan dua dokter Indonesia yang sedang mengaso tadi! Kini aku sungguh mengerti, untuk menjadi dokter tidak cukup dengan kemampuan medis saja. Lebih dari itu harus punya empati.

Kasihan Nova. Tangisnya tak kunjung reda. Lt. May mengatakan bahwa saat ini Nova pasti merasa pusing dan mual, mungkin pandangannya berkunang-kunang dan berbayang. Itu pengaruh normal dari obat yang diterimanya selama operasi tadi. Berapa lama sampai Nova pulih? Mungkin satu jam, mungkin dua.


Seorang interpreter lain muncul entah dari mana dan menyatakan bersedia menunggui Nova. Aku sedikit lega. Sayangnya dia adalah interpreter yang dicurigai bahasa Inggrisnya. Misalnya ketika Cmdr Godinez berkata, “Basically she’s alright. We’re just waiting for the effect of the medicine to wear off. Fusilero is setting up transport for them, so when the little girl’s ready they can go home right away.”, rekanku ini menerjemahkannya menjadi, “Bapak jangan kuatir, obatnya sedang diambilkan, sekarang sedang dalam perjalanan. Nanti begitu obatnya siap, Bapak sama Nova bisa pulang.” What the heck-? Pelan-pelan kuajak bicara sang ayah untuk memperbaiki informasi ini.

Kasihan Nova, aku tinggalkan sebelum pulih kondisinya. Tapi bagaimanapun aku harus pulang (that’s exactly why i hate being dependent!) dengan mas Kris. Kejadian ini sering menjadi guyonan di antara teman-teman: berapa pasien yang telah menjadi korban salah terjemahan dari interpreter yang kurang kompeten? Salah dosis obat, salah diagnosa? Goodness, sebenarnya ini bukan buat bercanda. Aku membuat catatan pribadi, bahwa sebagai relawan pun profesionalitas harus dijunjung tinggi.

Di atas segalanya, kasihan Nova!


Wednesday, June 21, 2006

The Art of Being A Volunteer

(Patria Es Humanidad, Pt.4)

Baik di Ruang Gizi RS Sardjito, maupun di Posko Realia, maupun di OR rumah sakit lapangan, prinsip yang harus dipegang seorang relawan tetap sama: the art of being a volunteer is how to make yourself useful.

Dalam situasi genting karena bencana, tidak ada orang yang akan terus-menerus mengawasi kita dan mengatakan apa yang harus kita lakukan. Hanya dengan niat untuk menjadi berguna kita akan bisa mengambil inisiatif. Aku yang seorang interpreter, yang secara definisi baru bekerja ketika dua pihak berbeda bahasa hendak bicara, tidak lagi ambil pusing dengan urusan job description. Bu Dyah dulu bilang, untuk menjadi interpreter dalam situasi bencana, tidak cukup dengan kemampuan bahasa saja. Lebih dari itu harus punya empati.

Benar sekali. Khususnya di OR, kemampuan ba
hasa semata tidak banyak gunanya di hadapan pasien yang merintih kesakitan atau gemetar ketakutan. Berkali-kali ketika aku mendekati pasien yang terbaring di tandu, tersenyum sambil menggenggam tangannya, tanganku balas digenggam kuat sekali. Berkali-kali aku harus menyeka air mata pasien yang sedang menunggu giliran operasi. Berkali-kali, persis sebelum operasi, tangan mereka mencengkeram bajuku dengan panik, sambil berkata, “Tapi mbak jangan pergi-pergi ya. Mbak di samping saya terus ya.” Dan aku, menggantikan anak yang berbakti, membelai dahi mereka, mendengarkan cerita mereka, menangis dan berdoa bersama mereka. Memakaikan selimut, meminumkan air, menenangkan sanak-saudara yang menyertai.

What a daughter!”, komentar Menur, sesama interpreter, waktu melihatku membenahi selimut Bu Hariyanti. Well, the lady might have lost her daughter, too. Semua pasien OR adalah orang-orang yang sang
at menderita. Berada di sana membuatku merasa sebagai makhluk paling beruntung di dunia. Karena itu, jika ada yang bisa aku lakukan untuk sedikit meringankan penderitaan mereka, aku akan melakukannya tanpa sungkan.

Para dokter OR ternyata menghargai manifestoku ini. Ketika seorang pasien yang telah diinjeksi morfin dibawa ke meja operasi, dengan tahu diri aku menyingkir dan menemani pasien lain. Apa yang bisa dilakukan seorang interpreter di samping meja bedah jika pasien sudah tak bisa diajak bicara? Namun belum sampai tiga menit, Sheggurd buru-buru keluar dari ruang bedah. “Elok, please come and console the patient.”, katanya. Aku terkejut, tapi segera masuk ke sana. Di dalam, orang-orang yang sudah aku kenal tersenyum padaku. Cmdr Cooper, Ayers, Cmdr Godinez, Lt. May, Adefisan. Cmdr Vilhauer menepuk-nepuk bahuku ketika aku mendekati pasien dan membisikkan doa di telinganya.

Itu saat-saat yang sangat membahagiakan, mendapati bahwa engkau diterima dan dianggap berguna. Cmdr Cooper menggodaku dengan bertanya, “Elok, have you been busy?” (sejak aku mengatakan padanya tentang “feeling useless” dia selalu menggodaku dan mencarikan kesibukan buatku). Hari itu aku mendampingi lima operasi. Ketika petang datang, aku sampai berpikir bahwa jika ini tak juga berhenti, aku akan menjadi pasien selanjutnya di meja operasi mereka.

Meja operasi! Betapa banyak kenangan dan kisah yang mengalir dari sana! Dan cerita dari meja operasi tidak selalu sendu. Misalnya suatu ketika Ayers memutar lagu anak-anak dari MP3 Player-nya, dan mengumumkan bahwa itu lagu favorit anak perempuannya yang baru 3 tahun. Atau She
ggurd berdansa-dansi sebelum operasi. Atau komentar Ayers ketika seorang bintang telenovela dari Spanyol datang berkunjung –diikuti serombongan kru TV-. “She’s hooottt!!”. Kadang Cmdr Davis merasa perlu menertibkan kelakuan itu dengan komentar tajam, “We have a wake patient here!”. Kadang kami menikmati kegilaan-kegilaan ini dengan gembira.

Pic: interpreters with some of the OR folks. I'm in orange, next to Cmdr Vilhauer. Menur's in black, next to Lt.May.

Di klinik dan X-Ray Room pun potongan-potongan cerita demikian banyaknya. Bagaimana dr.Choe berteriak “Tet'nus!”, dan paramedis tergopoh-gopoh datang untuk menyuntikkan vaksin immunoglobulin. Bagaimana Chief Snyder geleng-geleng tak sabar dengan pasien yang –berdasarkan pemeriksaan- sehat-sehat saja, tapi manja mengeluh pusing dan ini-itu. Bagaimana Teresa dengan susah-payah menghafalkan “selamat
pagi, selamat siang, terima kasih, maaf”. Dan tentu saja ada dr.X, “the flirty doctoryang sedikit pun tidak mau melepaskan kesempatan menepuk-nepuk punggung atau menyentuh lengan interpreter perempuan (entah dengan maksud apa).

Pic (from USMC): dr.Choe attending to a child with a bright smile. Always full of zest, especially for tetanus shots!

Juga Jeff “The X-Ray Man” yang baik hati, yang selalu berkata, “Tell her i’m so sorry, i know it hurts her, but i have to put her hand/elbow/foot that way”. Beberapa kali dia mengijinkan aku dan Pristi untuk menekan tombol X-Ray-nya. Prosedur menjauh 8 kaki, mengumumkan, “X-Ray!”, dan menekan tombolnya dalam-dalam sampai bunyi “bip” berhenti. “Can you feel the power?”, candanya. Pasien-pasien yang ada di sana pun turut tertawa. Mungkin mereka tidak benar-benar mengerti bahasanya, tetapi ketulusan dan kebaikan hati adalah Bahasa Buana. Aku dan Pristi sepakat bahwa empati lebih berharga daripada bahasa.

Pic: at the X-Ray Room: eloque, pristi, jeff, and the powerful machine!

Apakah aku interpreter yang baik? Entahlah. Tapi aku harap, aku adalah relawan yang baik, dan manusia yang baik. Amin.


Hari-Hari Pertama: an Out Mission

(Patria Es Humanidad, Pt.3)

Hari kedua berjalan lambat dan sepi di OR. Jam delapan pagi, "the OR Girl" sudah setor tampang dalam dinginnya ruang transit OR, bersama Mueller yang sibuk beres-beres. Tandu-tandu tidak lagi tergeletak di lantai, namun disangga kotak-kotak perbekalan medis mereka. Belum ada pasien. Toh aku harus tetap berjaga di situ. Aku mengisi waktu dengan membuat formulir-formulir dan kartu medis darurat. Cmdr Cooper muncul dan menyapaku, “How are you, Elok?”. “Good, but we’ve no patients here, and i feel so useless..”, jawabku sambil nyengir. Dia tertawa, dan berkata, “Not to worry, the time will come when we will be relying on your help!”.

And so i have to stay put? Tapi aku datang ke stadion ini untuk membantu korban gempa, bukan untuk leyeh-leyeh dalam tenda ber-AC. Maka aku bilang pada Mueller bahwa aku akan pergi ke klinik “to make myself useful” dan kembali ke OR menjelang siang. Begitulah juga pada hari-hari selanjutnya, pagi hari aku membantu di klinik atau di X-Ray Room, sampai ada pasien di OR di mana kemudian aku tinggal.


Pic (from USMC): Chief Snyder with a patient. Busybusybusy.

Pada hari ketiga ketika aku sedang membantu di klinik (ada dokter-dokter baru dari USNS Mercy dan Essex: dr.Amundson, dr.Ferrara, dr.Daily, dan dr.Santoyo), Lt.Fusilero membajakku untuk misi keluar. Bagus juga sebagai variasi. Aku tahu bahwa selain pelayanan medis di stadion, para dokter hilir-mudik dengan “out mission” mereka ke berbagai rumah sakit untuk kerja sama medis atau ke desa-desa untuk pengobatan keliling.

Waktu Fusilero menggiringku pada Rudy (officer bagian finansial) dan bukan pada salah satu dokter senior, aku sudah merasakan firasat buruk bahwa misiku nanti adalah misi logistik. Benar saja. Ini misi belanja. Mereka mau memungut berbagai spanduk “USAID” dan “US Marine Medical Assistance” yang sudah dipesan sebelumnya, sekaligus belanja peralatan dan persediaan medis yang sudah mulai menipis. Mengambil spanduk sih oke saja, tapi tahu apa aku tentang belanja alat-alat kedokteran?

Mbak Nia (interpreter Rudy) menyebut-nyebut Labora di Jl. Simanjuntak, maka ke sanalah kami menuju. Selanjutnya adalah info dari-toko-ke-toko. Aku tanya orang di Labora di mana kami bisa beli barang-barang yang belum kami dapatkan. Dengan cara itu kami menyambangi Alfa, Kimia Farma, Sumber Waras, beberapa toko bahan kimia, dan akhirnya New Diva. Masalah utama –selain kebegoanku dalam hal kedokteran- adalah perbedaan dunia kedokteran di Amerika dan Indonesia. Waktu Adefisan (paramedis di OR) minta Cidex, semua penjaga toko ternganga. Itu cairan yang dipakai di Amerika untuk membersihkan dan mencuci alat-alat operasi. Kita tidak punya. Kita pakai alkohol belaka. Adefisan geleng-geleng; dia berkeras mau Cidex.

Waktu Adefisan minta bovie pen dan penjaga toko tidak mengerti, aku harus menerjemahkan kata demi kata bagaimana Adefisan menggambarkan alat ini. Tetap tidak dimengerti. Dengan frustrasi Adefisan menoleh padaku, dan bekata, “You were at the OR, ma’am. You knew what bovie pen was, right? Please explain to her.” Akhirnya justru aku jelaskan pada Adefisan bahwa aku baru dua hari di OR, tidak terus-menerus memperhatikan jalannya operasi, dan sebelumnya belajar teknik kimia. Toh, kucoba bicara lagi pada penjaga toko sebisaku. Samar-samar aku ingat tentang bovie pen dari buku “Doctors” -Erich Segal (kubaca bertahun-tahun yang lalu). Dia mengerti sekarang, tetapi memang sedang tidak ada barang.

Belanja ternyata sangat melelahkan! Meskipun ada saat-saat menyenangkan juga. Dari lima orang yang meyertaiku, satu adalah paramedis, satu dari bagian planner, satu kontraktor (yang membayar semua belanjaan), satu marinir pengawal, dan satu lagi TNI. Ini perjalanan pertama mereka ke kota, dan mereka berseru, bersiul, tertawa setiap kali melihat McD, KFC, dan ikon-ikon khas Amerika lainnya. Waktu melewati Plasa Ambarukmo dan aku ceritakan bagaimana mal terbesar ini baru buka sekitar dua bulan, mereka termangu-mangu. “Grand opening, grand closing!”, komentar Scolby si kontraktor sambil mengamati lubang-lubang di dinding. Semua tertawa. Semua terlongong-longong juga ketika harus membayar 600.000 rupiah untuk empat spanduk US Marine. Baru setelah tahu bahwa satu dolar nilai tukarnya sekitar 10.000 rupiah, mereka nyengir sambil geleng-geleng kepala.

Misi itu diakhiri permintaan spontan Adefisan untuk mencari tempat untuk membuang sampah medis mereka. Setahuku sampah medis termasuk biohazard yang harus dibakar dalam incinerator, dan fasilitas itu hanya ada di rumah sakit. Langsung saja aku bawa mereka ke Sardjito untuk mengurusnya. Aku pikir, tentunya tidak masalah kalau sampah medis dari stadion dikirim ke Sardjito –mungkin setiap 3 atau 4 hari- untuk diolah. Sebenarnya aku tidak begitu tahu siapa yang harus ditemui atau di mana atau bagaimana untuk mengurus masalah ini, mengingat Sardjito sendiri sedang sibuk dengan pasien yang berkelimpahan. Tapi, hell, coba saja dulu.

Kami tiba di gedung administrasi, kusampaikan keperluan kami dan menunggu. Setelah lima menit, seseorang yang kelihatan penting menyebut-nyebut Dinas Kebersihan Provinsi dan bagaimana sebaiknya kami ikut untuk rapat bersamanya. What? Aku tegaskan sekali lagi bahwa ini tentang sampah medis, bukan sampah biasa. Dia bingung, dan aku mengekorinya masuk ruang yang ramai seperti habis pesta. Para marinir pun mengekoriku. Ditanyai lagi apa keperluan kami. Kujelaskan lagi. Seorang bapak berbaju batik yang kelihatan berwibawa mendengarkan pembicaraanku dan mendekat karena tertarik. Petugas yang bertanggung jawab sedang tidak di tempat, mohon menunggu lagi. Para marinir dipersilakan duduk. Aku dan Adefisan tetap berdiri untuk bernegosiasi dengan si bapak yang berwibawa. Seorang petugas muncul berlari-lari. Hal-hal teknis segera diputuskan di hadapan –atau tepatnya, di bawah pengawasan- si bapak berwibawa. Aku mencatat nomor HP si petugas sampah medis untuk jaga-jaga.

Ketika kami diajak meninjau langsung instalasi pengolahan sampah medis mereka –sambutan hangat yang tidak aku duga!- seorang ibu meminta nomor HP-ku dan membisikkan bahwa tentunya aku tahu bapak berwibawa tadi adalah dr.Suyudi, mantan Menteri Kesehatan? Stupid me! Kini aku yakin pernah menghafalkan raut mukanya dari lembaran menteri-menteri, namun tadi aku tidak ingat sama sekali. Aku nyengir geli. Tentu saja semua orang sangat ramah, petugas tergopoh-gopoh (bahkan menyuplai kami plastik berlabel biohazard GRATIS!), karena tuan besar dr.Suyudi berkenan langsung membantu kami.

Maka incinerator pun dilihat-lihat, dan janji dibuat, dan dengan itu Adefisan tersenyum lebar, “Mission complete!”. Aku terkulai di kursiku sementara mobil melaju. Kembali ke stadion. Sardjito di belakang kami. Aku mencuri-curi pandang ke arah Ruang Gizi. Hari-hari pertama pascagempa aku habiskan di sana. Apakah mereka masih butuh orang untuk membungkus hidangan? Ah, tapi setiap orang punya peran yang harus dijalankan..


Monday, June 19, 2006

Hari-Hari Pertama: the OR Girl

(Patria Es Humanidad, Pt.2)

Tanpa bermaksud mendiskriminasi (persis kukutip kata-kata mas Kris), interpreter perempuan ditempatkan di bawah naungan klinik dan yang laki-laki dikorbankan untuk gosong akibat mondar-mandir dari gerbang. Pagi pada hari pertama itu pun aku menyibukkan diri di klinik bersama Pristi, mbak Lilis, Menur, dan Aulia. Pristi dan mbak Lilis sudah nyaman di bagian administrasi medis, sedang kami yang tersisa terbang kesana-kemari menjadi interpreter dokter yang mendiagnosa. Ketika dr.Glass dari US Embassy ingin ada data tekanan darah juga, aku didaulat untuk menjadi juru periksa. Seorang paramedis mengajariku caranya, dan entah benar entah salah kudapati diriku dengan stetoskop dan pengukur tekanan darah, memeriksa setiap pasien dewasa. Seandainya mereka lebih waspada, mereka pasti akan curiga dengan gerakanku yang kurang luwes dan senyumku yang ragu-ragu (meski maksudnya untuk menentramkan, ha ha..). Belum lagi bahasa Jawaku yang terbata-bata dan compar-campur tidak jelas. Pristi dan Menur mengajariku beberapa kalimat praktis seperti “Amit nggih Bu, badhe kula periksa”, dan “Monggo ditenggo rumiyin teng jawi nggih Pak”.

Menjelang siang, Lt.Fusilero (“komandan” para interpreter kala itu) mendatangi klinik dengan buru-buru. “Can i have one interpreter
to stand by the OR, please? We have three patients waiting for surgery and no interpreter.”. OR –alias Operation Room- memang baru saja didirikan dan pasien-pasien itu pun rujukan dari rumah sakit setempat di Bantul. Kulihat Aulia dan Menur sedang sibuk, sementara Pristi dan mbak Lilis tidak mungkin meninggalkan mejanya. “OK, i’ll go.”, kataku pada Fusilero. Dia pun menggelandangku ke tenda OR.

Pic (from USMC): Operation Room

Aku ditinggalkan dengan tiga pasien terbaring di tandu, tanpa tahu apa yang harus aku lakukan atau siapa-siapa yang ada di tenda
menyeramkan itu. Initiative be damned!, kataku pada diriku sendiri. Kok mau-maunya aku meninggalkan posku yang aman sejahtera di klinik untuk berjaga di OR, di mana semua Navy kelihatan sibuk dan aku seperti anak hilang. Apa yang bisa aku lakukan di sini?

Aku memandang sekelilingku. OR adalah tenda bedah yang terdiri dari dua ruangan. Ruangan pertama untuk transit pre-op dan post-op (sebelum dan sesudah operasi), dengan perlengkapan medis tergantung di dinding-dindingnya. Ruang kedua adalah ruang operasi itu sendiri, dengan banyak instrumen elektronik canggih yang berbunyi bip-bip-bip sepanjang waktu. Eric Tausch, sang humas, menyombong bahwa peralatan medis di tenda ini adalah yang termodern bahkan di seluruh Jogja (dikutip VoA). Keren, memang. Tenda ini dilengkapi air conditioning system yang menyatu dengan desainnya. Hari itu baru AC di ruang bedah yang sudah berfungsi, sedang ruang transit masih mengandalkan angin alami dengan semua pintu terbuka lebar (keesokannya ruang transit sudah sedingin kamar hotel sampai-sampai orang berduyun-duyun mengungsi kemari untuk ngaso dari panas matahari).

Apapun kekuatiran dan ketidaknyamanan yang aku ras
akan ketika terdampar di OR, langsung menguap demi mendapati tiga pasien yang tergeletak tanpa daya di lantai, beralas tandu belaka. Seorang lelaki setengah baya dengan kaki kiri bengkak dan dibalut demikian tebalnya. Perbannya bernoda kekuning-kuningan dan bau tak sedap menguar dahsyat, sudah jelas kakinya kena infeksi tingkat tinggi. Seorang lelaki tua lain, entah sadar entah tidak dengan mata terpejam, tangan kanannya dibalut penuh, perbannya basah dan lengket oleh cairan dari lukanya. Seorang perempuan muda dengan balutan di mana-mana, terutama di daerah dada. Bodoh sekali kalau tidak tahu apa yang bisa aku lakukan di sini, sementara mereka terbaring menderita.

Aku dekati mereka satu-satu, menanyakan nama, umu
r, asal, dan luka mereka. Aku yakin data semacam ini akan berguna, di klinik kami mendata hal yang sama. Sesudah berkenalan dengan mereka, aku mulai mengajak mereka bicara pelan-pelan, khususnya perempuan muda itu, karena dia amat ketakutan. Betapa tidak. Jika kita kehilangan rumah dan sanak keluarga akibat gempa, kemudian tiba-tiba dibawa ke tenda dengan orang-orang berambut pirang berkeliaran, sementara tubuh kita begitu sakit dan masa depan tampak begitu suram, siapa yang tidak takut? Aku genggam tangannya, dan aku tahu dia sedikit lega karena ada orang Indonesia di dekatnya. Namanya Siti Nuriyani, 25 tahun. Tulang dadanya patah akibat tertimpa rumah, dan satu tube ditanamkan untuk mengambil cairan (darah, getah bening, air, entah apa) dari dadanya. Tube itu menimbulkan infeksi di dalam. Pinggulnya pun retak, luka bruise tidak tehitung lagi. Lebih dari itu, dia kehilangan bayinya dalam bencana ini, namun sang suami belum sampai hati menyampaikan kabar duka (aku ketahui kemudian dari suaminya).

Pic (from Cmdr Godinez): Cmdr Godinez, Siti, and her husband

Lt.Ayers (waktu itu aku belum tahu namanya) mendatangiku dan minta informasi tentang pasien-pasien ini. Aku keluarkan catatanku barusan, berikut medical record dari rumah sakit lokal yang memberi rujukan. Sementara Siti dioperasi, aku menemui wartawan-wartawan asing yang datang meliput. Tentu saja bukan untuk memberi press release atau apa, hanya sekedar memberi tahu informasi tentang pasien dan membantu mengejakan nama mereka. Wartawan-wartawan itu lantas menyerbu ruang bedah dan jepret sana jepret sini. Aku menemani Pak Darmo dan Pak Mohadi (dua pasien lain) dan mengobrol tentang keluarga mereka. Sekali-sekali Mueller (paramedis) m
enyela dan aku membantunya memasang infus atau remeh-temeh lainnya.

Satu hal yang tidak kuduga sebelumnya adalah bahwa semua operasi dilakukan sementara pasien dalam keadaan sadar. Commander Cooper menjelaskan bagaimana repotnya prosedur bius total, karena mereka harus memantau pernafasan pasien dsb. Karena itulah dia memintaku ikut masuk ke ruang bedah, sehingga Surgical Team bisa berkomunikasi dengan pasiennya. Aku pikir, gila! Aku tidak yakin bisa menjadi interpreter tepat di samping meja bedah. Tetapi tidak ada waktu untuk merasa ngeri, Pa
k Darmo dibawa masuk dan aku pun mendampingi.

Awalnya aku tidak tahu di mana aku harus berdiri
(bahkan itu!) sampai-sampai aku bertanya pada Ayers di mana posisi yang tidak akan mengganggu kerja para dokter bedah (pada operasi-operasi selanjutnya, aku sudah punya pos yang memang “di-booking” khusus untukku di sisi pasien). Operasi pertama itu aku tidak akan pernah lupa. Pak Darmo dibius lokal dari pinggul ke bawah, dan betapa repot Ayers menyuntikkan anestesi lewat tulang belakangnya. Commander Davis memimpin operasi. Perban kekuningan itu digunting, sementara tanganku mengarahkan wajah Pak Darmo supaya tidak perlu melihat kengerian itu. “Ngobrol sama saya aja ya Pak.”, kataku sambil menggenggam tangannya. Tanganku yang lain mengelap peluh di dahinya dengan tisu basah (padahal ruang bedah sedingin itu!). Cmdr Cooper ada di kepala meja dengan jarum suntik berisi morfin berjejer di sisinya.

Pic (from Reuters-CNN): attending to my first surgery, i (in red) was utterly shocked!

Cmdr Davis adalah Navy Surgeon berpengalaman, dan tim bedahnya adalah tim yang sering dikirim ke medan perang. Dia sudah biasa melihat luka akibat terjangan peluru, bom, atau ranjau. Namun melihat luka di kaki kiri Pak Darmo itu, dia menyumpah-nyumpah. Itu luka yang sudah ditangani rumah sakit lokal pascagempa: dijahit untuk menghentikan pendarahan dan sebagainya. Ketika jahitan dibuka, yang dia dapati adalah batu kerikil, serpihan bata, pecahan kaca di dalam lukanya, beserta nanah berlimpah-limpah. Ini cerita tentang lima hari pengembangbiakan kuman. Aku menyaksikan bagaimana Cmdr Davis mengorek luka itu untuk tuntas membersihkannya dari d
ebris, daging busuk, dan nanah, bagaimana Pak Darmo meronta akibat sakit yang tak tertahankan, dan bagaimana Cmdr Cooper dengan tenang menginjeksikan morfin, lagi dan lagi, setiap kali Pak Darmo meronta kian menjadi. Aku tidak tahu tenaga apa yang membuatku masih sanggup berdiri, menggenggam tangan Pak Darmo kuat-kuat, memastikan infusnya berjalan. Sampai suatu poin, Pak Darmo tidak bergerak-gerak lagi. Wajahku pucat menatap Cmdr Cooper. “He’s kinda dreaming right now. It’s a very vivid dream, he won’t remember anything, though he might mumble something.”. Namun bahkan dalam tidur di bawah pengaruh morfin, Pak Darmo masih meringis kesakitan setiap kali Cmdr Davis menyikat lukanya kuat-kuat.

Dokter-dokter bedah militer ini benar-benar tiad
a ampun terhadap infeksi. Luka bernanah akan disikat kuat-kuat sampai semua bekas nanah bersih tak bersisa. Sikat bedah sebenarnya punya dua sisi, brush dan sponge. Tanpa ragu, sisi brush yang mirip sikat cuci baju itu dihantamkan pada luka yang kena infeksi. Sruk-sruk-sruk, berkali-kali. Cairan pencuci luka mengandung bleach semacam Byclean konsentrasi rendah. Bayangkan betapa sakitnya. Tanpa morfin, pasien akan berteriak gila dan melompat lari dari meja operasi, kata Cmdr Davis. Pada beberapa operasi berikutnya, Lt.May menggodaku dengan berkata bahwa aku tidak beruntung, sebab pasien di bawah pengaruh morfin tidak akan ingat apapun, sedangkan aku melihat dan mengingat semuanya. Dia benar juga.

Wajahku pasti sepucat mayat. Warna mer
ah darah dan bagaimana Cmdr Davis menangani luka Pak Darmo bukan pemandangan yang nikmat untuk disaksikan. Cmdr Cooper yang lembut hati menanyaiku apakah aku baik-baik saja. “I can’t say i like the sight, but i’m fine.”, jawabku sambil mencoba tersenyum. Dia berusaha mengalihkan pikiranku dari pemandangan itu dengan mengajakku berkenalan –secara formal aku belum kenal siapapun di OR- dan membicarakan macam-macam. Terakhir kulihat, Cmdr Davis sedang menyumpalkan segulung perban obat ke dalam cekungan luka di kaki Pak Darmo. Si pasien sendiri masih bermimpi. Setelah luka itu dibalut, operasi pun selesailah. Namun belum selesai bagiku dan para dokter bedah, karena berikutnya giliran Pak Mohadi.

Pic (from onAsia.com): "daily life" at the OR. Ayers and Cmdr Cooper (facing camera).

Prosedur yang sama lagi. Kali ini Ayers yang mengurus morfin dan anestesi. Infeksi gila-gilaan akibat penanganan seadanya lagi. Cmdr Davis menyumpah-nyumpah lagi. Aku di sisi Pak Mohadi melakukan apa yang aku bisa, menentramkan dan menenangkannya. Ketika semua berakhir, Ayers berkata, “Thank you so much Elok, for your help.”. Aku kehilangan kata-kata. Aku menatapnya dan akhirnya berujar, “I wish i could do more.”. Hanya itu saja.

Menjelang sore, ketika kupikir aku sudah boleh bernapas lega, datang satu pasien darurat. Gadis muda, baru 18 tahun umur
nya. Dia sesak napas dan keluarganya panik. Aku lihat sendiri bagaimana dadanya kembang-kempis, turun-naik dalam usaha menghirup udara. Cmdr Cooper menanganinya segera. Tabung oksigen, infus, inhaler. Aku membantunya duduk tegak agar obat dapat disemprotkan lewat mulutnya. Dalam beberapa menit keadaannya membaik, dan aku membantu menerjemahkan diagnosa dokter pada keluarganya.

Itu kasus trauma. Selama berhari-hari Yunita hidup dalam suasana tertekan dan mencekam pascagempa. Sore itu ia mendengar suara gemuruh, dan dipikirnya rumah tetangga ambruk, dikiranya gempa datang lagi menghampiri. Panik! Tangan dan kakinya mulai kejang dan ia tak bisa bernafas. Dokter dan semua paramedis yang mendengar cerita ini menggeleng-gelengk
an kepala karena berempati.

Sebelum meninggalkan tenda OR, sang ibu memelukku dan berbisik terima kasih. Aku menyampaikannya pada dokter-dokter dan paramedis di sana. Betapa tersentuh mereka, satu demi satu menghampiri sang ibu, dan dua orang berbeda bangsa berpelukan dalam rasa haru. Aku tidak akan melupakan pemandangan itu. Patria Es Humanidad, sekali lagi. Kebangsaan yang sejati adalah kemanusiaan.

Maka berakhirlah hari pertama kerja relawanku di rumah sakit lapangan ini. Dalam perjalanan pulang ke Jogja -lelah luar biasa!- aku mengingat lagi semua darah dan nanah itu, semua senyum tertahan ketika mengatakan “tidak apa-apa” padahal sakit luar biasa, semua tangan yang aku genggam. Dan aku ingat hari-hari di dapur umum Sardjito, membungkus bubur sumsum sambil merasa bodoh. Bukankah ini yang aku inginkan saat itu: melakukan sesuatu yang lebih berarti? Aku tersenyum sendiri oleh kepongahanku dulu. Be careful what you wish for, Elok!

Pic: Eloque the OR Girl in my "place" during surgery. We could only take narcissistic pics like this out of hours.

Pada Mulanya adalah Gempa

(Patria Es Humanidad, Pt.1)


Ekspedisi Sewon

Jam setengah sembilan malam, aku baru saja pulang setelah seharian menjalankan Posko Realia. Telepon berbunyi: aku diminta datang lagi ke sana sekarang juga. Kasusnya seperti ini: US Marines Corp mendirikan rumah sakit lapangan di Sewon Bantul dan mereka butuh penerjemah selama rumah sakit beroperasi. Mas Kris (koordinator divisi interpreter) bilang, kemungkinan terburuk adalah bertugas penuh selama satu bulan (mulai besok), tanpa libur, dari pagi sampai petang. Ini adalah kerja relawan yang aku inginkan: berhadapan langsung dengan para korban, dengan tanggung jawab dan koordinasi yang jelas, dengan tantangan dan kesempatan belajar terbentang luas. Tetapi tiga puluh hari!

Mas Kris dengan tenangnya berkata, kalau tida
k sanggup, pintu keluarnya ada di sana. Aku tersenyum kecut, dan tetap duduk. Pembicaraan dilanjutkan. Beberapa poin ditegaskan. Kami akan bekerja sama dengan orang militer, jadi jangan manja. Harus asertif dan punya inisiatif. Siap-siap menghadapi korban yang hanya bisa bahasa Jawa. Siap-siap dengan matahari di atas kepala.

Sebelum pulang, aku sempatkan
untuk membuat glossary kecil bersama Pristi. Apa bahasa Inggrisnya cenut-cenut, ngetok-ngetok, pegel, kesemutan, atau anyang-anyangen? Baru kali ini aku menyesal tidak lebih fasih berbahasa Jawa! Dalam kekuatiran macam itu, malam pun berlalu.

Jam tujuh pagi, aku tiba di Realia dan siap berangkat ke medan laga. Aku merasa kuat karena dukungan semua orang. Sepatu kets itu pinjaman dari Nisa. Payung dari Umul, jas hujan milik Arko, tas ransel dari Nita. Bu Etik memelukku erat sebelum kami berangkat.
Maka ekspedisi ini pun dimulailah.

Stadion Bantul yang dibangga-banggakan sebagai stadion termodern dan termahal di Indonesia terhampar di hadapanku. Hijau yang cantik, dengan tenda-tenda mungil tentara di ujung sana. Marinir Amerika dan TNI tegap berjaga di gerbang muka. Tenda bedah sudah berdiri. Klinik memakai bangunan kamar ganti. Tenda Center of Command sedang dipasang. Kegiatan medis akan bermula tepat jam delapan.

Aku menengadah, menatap langit yang biru cerah. Dan menunduk, menatap tanah yang coklat basah. Ini adalah tanah yang lima hari yang lalu diguncang gempa. Aku berkata pada diri sendiri, lakukanlah yang terbaik kali ini. Patria Es Humanid
ad.


Mereka

Pic: briefing (from onAsia.com)

Mereka adalah III Marin
e Expeditionary Force Medical Assistance Team, tentara Amerika sekitar 135 orang jumlahnya. Sebagian besar didatangkan dari pangkalan di Okinawa: US Marine dengan Logistics Group-nya, US Navy dengan Medical Team-nya. Beberapa dokter didatangkan dari USNS Mercy dan Essex, kapal rumah sakit milik angkatan laut Amerika. Ada berita yang menyebutkan bahwa akan didatangkan personel dari Guam juga, tetapi kelihatannya rencana itu tidak terlaksana.

Bantuan kemanusiaan ini dikoordinasi US Embassy dan didanai USAID, maka kujumpai pula ti
m medis dari USAID Indonesia: dr.Sri, dr.Herman, dr.Bambang, dr.Krisin, dan beberapa perawat. Mereka bekerja sama dengan Commander Davis yang mengepalai tim medis US Navy, dan satu-dua paramedis dari US Embassy.

Dan tentu saja bekerja sama dengan para interpreter. Hari itu para interpreter berkekuatan 14 orang, tetapi akan segera bertambah dengan kedatangan personel USAID/US Embassy. Kami berkenalan dengan para dokter dan paramedis di klinik. Setelah briefing singkat –benar-benar singkat!- pekerjaan pun dimulai.


Sebuah Kerja Sama

Pic: Chief Snyder attending to a patient at the clinic

Dan bagaimana sebenarnya pelayanan medis ini dijalankan?

TNI mengawasi keamanan stadion, disertai beberapa Marinir yang kena giliran jaga. Sebuah tenda didirikan di gerbang muka, di mana dua paramedis dan beberapa interpreter bertugas mendata keluhan calon pasien, sekaligus sebagai penyaringan awal. Ada tiga kategori: yang berhubungan langsung dengan gempa, yang berhubungan tidak langsung dengan gempa, dan yang sama sekali tidak ada kaitannya. Mereka den
gan keluhan yang cukup beralasan segera diantar ke klinik oleh interpreter, dan di sana akan didata lebih teliti sebelum diperiksa dokter. Ada dr.Livingston, dr.Toone, dr.Choe, dr.Haines, Chief Snyder, dan semua dokter USAID. Mereka mendiagnosa dan memberi obat (didampingi seorang interpreter), kartu medis diisi dan disalin untuk Medical Report. Pasien yang perlu rontgen diantar (lagi-lagi oleh interpreter pendamping) ke X-ray Room, dan kasus-kasus gawat dibawa ke Operation Room untuk pembedahan.

Masalah utama pada hari-hari pertama ini adalah kami tidak tahu yang mana dokter, yang mana perawat, yang mana apoteker, yang mana paramedis. Jadi ketika mbak Boni kelihatan nganggur, Pristi mendekati untuk tanya apakah dia sudah siap menangani pasien lagi, dan dia tertawa karena menangani pasien bukan hak perawat seperti dia. Nah. Inisiatif juga tidak selamanya berguna. Lantas menghadapi orang-orang militer ini,
bagaimana kami harus menyapa? Sir, Ma’am, Doc, Commander, atau Chief? Meski kedengarannya masalah sederhana –tinggal tanya kan?- sepanjang hari pertama komunikasi semacam itu tidak mungkin. Pasien bejubel menanti di luar, sementara matahari terik sekali.

Seiring waktu, prosedur di klinik bahkan bertambah lagi dengan suntik vaksin tetanus. Tenda-tenda baru bermunculan di sekeliling klinik sehingga pasien dan keluarganya dapat menunggu tanpa kepanasan. Setelah hari ketiga “tumbuh” pula tenda Wound Care, di mana luka dijahit dan dibalut, nanah dibersihkan, perban-perban diganti. Sebelumnya semua itu dilakukan di bawah panas matahari.


Pic: Ayers, Sheggurd, and Waycaster at the Wound Care

Bagaimanapun, hari-hari pelayanan medis itu adalah hari-hari yang sibuk sekali.


PATRIA ES HUMANIDAD






Pics from onasia, VoA, Reuter-CNN