Tuesday, September 27, 2005

The Future is Overrated*



Aku ingat Andrew dan aku jadi malu sekali.

Kami berdebat tentang masa depan Indonesia. Tentang korupsi yang membudaya. Aku tahu, tidak banyak yang bisa dibanggakan dari mentalitas umum negeri kita, tetapi harga diriku juga tidak mengizinkan orang asing dengan enaknya menghina-hina.

Masih ada harapan. Selalu. Aku bilang begitu.

Andrew memamerkan wajah skeptisnya. “Budaya KKN di Indonesia tidak mungkin dihentikan dan sangat sulit dikurangi.”, tegasnya.

“Pesimis sekali ya?”, balasku.
“Bukan pesimis, tapi realistis.”

Masih ada harapan. Selalu. Maka aku ceritakan kepadanya realita yang aku kenal: teman-temanku yang shalih dan shalihah, yang idealismenya tinggi, yang tidak keberatan bersusah-susah berusaha membangun dan memberdayakan bangsanya. Teman-temanku aktivis muda di berbagai bidang, yang sedang –dan terus-menerus- berjuang.
Nanti ketika tongkat kepemimpinan Indonesia ada di tangan mereka, kita bisa percaya bahwa negara dikelola dengan bermartabat. Saat itu kita lihat, benarkah KKN tidak sanggup dibabat.

Andrew nyengir.
Katanya, tunggu sampai mereka terjun ke dunia yang sesungguhnya; ketika tidak lagi bisa bermanja pada jadwal akademik dan kiriman uang orangtua. Saat itu kita lihat, benarkah idealisme mereka hebat.

Ini menyebalkan.
Ini menyebalkan, bahwa mungkin Andrew benar.

Seorang temanku -yang aku anggap baik- menerima uang bulanan dari ayahnya, hanya kali ini karena kesalahan bank debitnya tercatat dua kali. Tanpa memastikan berapa sebenarnya yang dikirimkan, ia melonjak gembira melihat uangnya bertambah dua kali lipat dari biasa. Ia menghabiskannya berfoya-foya. Ketika bank menyadari kesalahan ini dan meminta uang itu kembali, temanku tidak terima. Menurutnya bank yang salah, dan karenanya bank juga yang harus menanggungnya. Daripada mengganti uang itu, ia memilih memasrahkan rekeningnya dalam kondisi saldo minus, dan membuka rekening baru di bank lain.

Dia (mungkin) lupa bahwa ketika menandatangani perjanjian pembukaan rekening, telah tercantum klausul bahwa meskipun banklah yang melakukan kesalahan transfer, pemilik rekening tetap harus mengembalikan uang yang bukan haknya itu. Ini hukum, dan dia telah setuju. Lagipula, bukankah benar-benar dia sendiri yang memakai uang itu? Aku tidak mengerti. Orang intelek, tahu agama, tahu moral; tidak seharusnya dia lari.

Temanku yang lain: anak baik, aktivis organisasi rohani, dari luar kelihatan seperti orang suci. Dengan enaknya dia menyarankan “jalan belakang” (yaitu dengan menyogok porter) ketika ada yang kuatir kelebihan bagasi di bandara. Si Orang Suci tidak sedang bercanda. Dia tahu pasti bahwa maskapai penerbangan punya aturan, dan dia menganggap wajar untuk melanggarnya.

Aku jadi ingat Andrew dan aku malu sekali.

Masih ada harapan? Mungkin. Tapi sepertinya oleh para optimis masa depan Indonesia terlalu dibesar-besarkan. The future is overrated.


Image hosted by Photobucket.com

*Judul lagu dari Arkarna dalam albumnya “Fresh Meat”

Wednesday, September 21, 2005

-THINGS

(Dream a Little Dream, Pt.3)


things are becoming
more of a dream
with each
waking day



Image hosted by Photobucket.com


* incipit vita nova *

We Were

(Dream a Little Dream, Pt.2)

Image hosted by Photobucket.com


Dulu kami adalah perempuan-perempuan muda yang sederhana dan bahagia. Tinggal bersama di sebuah rumah kontrakan bernama Pondok Yasmin. Hari-hari kuliah begitu riang dan saat-saat lain selalu damai dan nyaman. Kami saling mencintai, dan bersama kami bermimpi.

Impian-impian yang sederhana.
Sebuah butik, karena D—h suka berdandan dan memadu-padan.
Sebuah pabrik susu, karena U—i sangat menyukai susu dan ingin menghubungkannya dengan Teknik Kimia.
Sebuah toko souvenir, karena F— gemar membuat pernak-pernik mungil.
Sebuah toko kue untuk I—y yang hobi memasak.
Sebuah yayasan pendidikan, karena Pi—t suka anak-anak dan ingin menjadi guru.
Sebuah armada taksi bandara, karena di kota asal mbak E—y ada sebuah bandara yang besar dan maju.
Sebuah toko buku, karena itu memungkinkan aku membaca dan menulis sepanjang waktu.
Lalu untuk R—i yang suka bisnis dan negosiasi, kami memikirkan posisi Marketing atau PR.
Untuk N—a yang amat cantik dan manis sikapnya, Customer Service akan menjadi pekerjaan sempurna.

Semuanya dengan nama Yasmin. Yasmin Enterprise. Yasmin Boutique. Yasmin Bookstore and Library. Kami akan membuka cabang di kota-kota lain, dan ketika keuntungan sudah cukup membumbung, rumah kontrakan ini akan dibeli menjadi milik kami. Sehingga kami bisa bersama untuk seterusnya. Karena kami sangat bahagia, dan ingin menjaga perasaan ini selamanya. Tidak perlu piala Miss Universe atau kerajaan bisnis Donald Trump, yang kami inginkan hanyalah ini saja.

Impian-impian sederhana dari gadis-gadis sederhana.

Apa jadinya impian-impian itu sekarang?
D—h masih suka berdandan dan memadu-padan, tetapi kini ia bekerja di sebuah perusahaan alat-alat berat.
U—i sudah lulus dan merasa muak dengan Teknik Kimia.
F— sedang mencari dunianya sendiri.
I—y menjadi guru SD. Mungkin ia masih suka memasak.
Pi—t menikah dan punya anak.
Mbak E—y menghabiskan hari-harinya dengan bermacam analisa kimia di lab. Tanpa argometer.
Aku bekerja part-time dan tidak pernah punya cukup uang untuk membeli semua buku yang aku inginkan.
R—i tidak bisa menunggu sampai Yasmin Enterprise berdiri, dan aktif di sebuah LSM sebagai ganti.
N—a masih secantik dan semanis dulu; sibuk menolak para pria yang merubunginya.

Melihat kami yang sekarang, semua impian itu terasa bodoh dan sia-sia. Tidak masuk akal. Omong kosong belaka. Hanya sekumpulan perempuan muda yang mengangankan utopia; bentuk lain dari memimpikan datangnya pangeran berkuda putih dari balik cakrawala.

Tapi, saat itu-, saat itu kami sungguh-sungguh bahagia dengan segala impian bodoh itu.
Jika aku boleh mengatakan, kami jauh lebih bahagia daripada sekarang.

* suavis laborum est praeteritorum memoria *


Thursday, September 15, 2005

Hamish

(Dream a Little Dream, Pt.1)


Hamish seorang jurnalis. Akhir tahun ini dia akan memulai posnya di Kuala Lumpur, di bawah bendera sebuah jaringan stasiun berita internasional ternama.



Image hosted by Photobucket.com

Pada suatu siang yang aneh, dalam situasi di luar rencana, dia bertanya kepadaku tentang rencanaku dalam hidup. Aku: mahasiswa Teknik Kimia tahun kesekian yang belum lulus-lulus juga, malas menulis skripsi, dan sibuk bekerja part-time demi membiayai hidup yang sederhana.

“Would you like to go overseas?”, he asked.
“Sure. I’d love traveling the world.”
“As a chemical engineer?”
“Not necessarily. To tell the truth, i hate chemical engineering. Oh well, not really, but at least sometimes i feel that way.”
“But then, why did you study Chemical Engineering in the first place?”

And so the story went.

Hamish tidak mengerti bahwa pilihan jurusan bukanlah apa-apa dalam hidup seorang pelajar di Indonesia. Aku akan mempersalahkan sistem pendidikan, -dan mempertanyakan budaya- , sebagai akar masalahnya. Sampai akhir masa SMU, kebanyakan pelajar belum mengenal dunia dan belum punya bayangan tentang Hidup yang sesungguhnya. Mereka dicekoki dalam sistem pendidikan yang mementingkan angka di atas segalanya, yang memuja sektor formal, yang menganggap “dokter” dan “insinyur” adalah cita-cita yang “harus dan seharusnya”. Bahwa kalau nilai IPA-mu bagus, tidak ada alasan untuk belajar sastra.

Tahu-tahu kita sudah tercebur dalam dunia yang dirancang orangtua kita. Rancangan yang disesuaikan untuk memuaskan pandangan masyarakat. Pandangan yang berdasarkan konstruksi budaya. Budaya yang –entah bagaimana- meski kerdil namun tetap dipelihara.

Tahu-tahu kita besar tanpa mempunyai mimpi pribadi. Apa yang kita sukai hanya berhenti pada taraf hobi, tanpa sempat tumbuh menjadi sesuatu yang sungguh-sungguh diperjuangkan. Lihat aku: cinta sejatiku adalah menulis. Mimpiku menjadi penulis, jurnalis, atau apapun yang mengizinkanku menorehkan kata-kata. Toh kini aku (masih) belajar Teknik Kimia.

Maka pertentangan merambat ke permukaan. Idealisme versus pragmatisme. Impian versus kenyataan. Apa yang diinginkan dan apa yang tersedia.

Maka kompromi adalah jalan tengahnya. Sampai suatu ketika, impian pun tergerus dan menjadi hampa.

Dalam hidup rata-rata pemuda Indonesia, selalu ada suatu masa ketika mereka merasa ragu dengan dunia dan masa depan mereka. Ketika mimpi yang tinggal sisa-sisa itu mencoba menyeruak ke alam kesadaran dan menuntut si pemilik-hidup untuk membuat keputusan.
Akankah impian direlakan, atau akankah ada cukup keberanian untuk menyeberang jalan.

Aku bertanya kepada Hamish siang itu, kepada rambutnya yang pirang dan matanya yang biru.

“Have you ever had doubts about your path in life? Your job, your plans? Like, a feeling that you don’t belong there..”.

Dia menatapku sekilas. Diam sejenak.
“As long as i recall, i never wanted to be anything else but a journalist.”.

Dia menoleh untuk menatapku lagi, dan tersenyum.
“I love my job. I enjoy it. I really love it.”.

Di sanalah ia, Hamish sang jurnalis, duduk di sampingku. Pria yang sedang dan selalu menjalani mimpinya. Wajahnya bercahaya. Pasti efek sinar matahari, pikirku sambil berucap kepadanya, “That’s cool.”. Tetapi mungkin ia tidak mendengar bisik lemah itu. Karena aku terlalu sedih. Terlalu terluka. Terlalu iri.


Bahwa segala sesuatu terjadi karena sebuah Alasan, aku percaya. Semesta membawa Hamish kepadaku saat itu, dan membuat kami berbincang tentang mimpi. Ada sebuah Alasan di balik ini. Mungkin untuk membuatku mengingat lagi hal-hal yang esensial. Bahwa seperti Hamish, mimpiku belum habis.

Sekarang? Sekarang Hamish telah kembali ke negaranya, melanjutkan hidup dan mimpinya. Orang datang dan pergi; bisa jadi aku tidak akan pernah melihatnya lagi. Kecuali mungkin di masa depan, di layar televisi, ketika ia berkata, “This is Hamish M--------, reporting for World News..”.

Dan aku akan tersenyum kala itu, karena aku pun akan sedang menggenggam mimpi kecilku.
If God permits.

* sors et sua cuique ferenda *


Sunday, September 11, 2005

I Love You, Mum..

Satu fakta yang mengerikan (buatku): rasanya seumur hidup ini aku belum pernah bilang “I love you, Mum.. ” tepat di hadapan wajah mulia ibuku.

Ibu –aku memanggilnya Mama- adalah manusia yang paling aku sayangi di dunia, dan pun sekali saja belum pernah aku mengatakannya. *sigh* Aku pasti punya masalah dalam mengekspresikan cinta.

Fakta mengerikan ini mulai mencuat kala aku memperhatikan Andrew dan Diana, pasangan WNA yang menjadi klien tempat kerjaku. Mereka begitu penuh cinta. Bergandengan tangan, saling memeluk, saling menatap dengan mesra. Tampaknya bagi mereka menunjukkan rasa cinta –juga di depan umum- adalah hal yang sangat biasa, bahkan alami. Karenanya, kami yang melihat pun tidak merasa risih dengan pameran kasih-sayang itu. Kami bahkan menyukainya (mungkin sambil sedikit menahan rasa iri, ha-ha..).

Kenapa kebiasaan untuk mengekspresikan cinta secara terbuka ini menjadi semacam privilege orang-orang asing? Aku saja –yang biasanya cukup ekspresif- tidak fasih mengungkapkan cintaku pada orang-orang terdekat, apalagi mereka yang lebih introvert? Ketika membicarakan hal ini dengan Pristi, kami setuju bahwa sampai suatu poin (*1) mengekspresikan cinta secara terbuka adalah tindakan yang sangat sehat dan perlu. Jika demikian, kenapa tidak populer? Dalam pencarian ini, kami menabrak satu tembok klise: konstruksi sosial.

Mengekspresikan cinta secara terbuka bukanlah budaya Indonesia. Lebih khusus lagi, bukan budaya Jawa. Aku tidak berkesempatan mengalami hari-hari di mana adat begitu ketat (thank goodness!), namun beginilah Kartini menggambarkannya:

“Oh Stella, how i laughed when i read your question:’ Would your parents disapprove if you should embrace them warmly without their permission?’. Why, i have yet to give my parents, or my brothers and sisters, their first kiss! Kissing is not customary among the Javanese. Only children from one to three, four, five, or six years of age are kissed. We never kissed one another. You were astonished at that! But it’s true. “ (*2)

Sampai sekarang, ciuman sayang, kata-kata penuh kasih, dan ungkapan lugas bermakna “I love you” masih asing dalam kehidupan rata-rata keluarga di Indonesia. Jika kemudian hal ini diterapkan, maka (mungkin) artinya kita mengadopsi budaya asing, budayanya Stella Zeehandelaar.

Namun jika tidak, kita membuka kesempatan untuk terjadinya suatu petaka, bahwa cinta dianggap telah terejawantah hanya dengan limpahan materi semata. Tanpa hubungan, tanpa kedekatan, tanpa kepedulian yang nyata. Bahwa keluarga hanya sekadar ikatan di atas akta, yang mengatur siapa harus menghidupi siapa.

Aku pikir, aku akan mengikuti jalur yang ditunjukkan Andrew dan Diana. Cinta haruslah diekspresikan. Biar saja kalau itu dianggap tidak membumi di Indonesia; aku lebih menuruti kata hati. Aku ini sungguh-sungguh mencintai keluargaku, dan aku ingin mereka tahu.

I love you, Mum. I love you, i love you, i love you.

I love you, Dad.

I love you, mas Sandhy.

I love you, mas Titis.

I love you, Ade.

Kali ini pasti akan aku katakan. Dengan jelas, dengan riang. Khususnya pada Mama; betapa besar aku mencintainya. So just wait, Mum.. ^_^


Note:
(*1) Tentu saja ada batasan etika untuk unjuk cinta di depan umum
(*2) Surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar, tertanggal 6 November 1899. Aslinya ditulis dalam bahasa Belanda.