Thursday, April 28, 2005

Berpura-pura Bodoh

“Dia masih single lho, Lok..”, kata Ibu Dyah, mempromosikan cowo itu. Aku nyengir. Satu rencana perjodohan konyol yang semena-mena lagi.

“Memangnya dia engga takut sama saya, Bu?”, balasku nantangin. Banyak orang (awalnya) takut padaku karena aku sinis dan ‘galak’. Tapi rupanya mbak Fitri salah menangkap makna ucapanku, karena ia nyeletuk begini:

“ Iya, ya. Cowo tuh takut sama cewe yang smart sih ya..”

Itulah awalnya. Celetukan bahwa cowo tidak suka cewe smart. Cowo-cowo selalu berkoar bahwa tipe mereka adalah “yang smart” hanya karena modernitas memojokkan mereka; mereka harus terlihat berpandangan luas dan terbuka. Padahal cewe smart tentunya bikin mereka was-was; hegemoni mereka terancam porak-poranda. Bagaimanapun pilihan terbaik kan cewe cantik-seksi yang penurut, setia, dan punya cukup pendidikan untuk bisa dipamerkan tanpa segan. Cewe-cewe smart dan independen justru menyulitkan, karena engga gampang dikendalikan, dan karena mereka memang bisa hidup tanpa tergantung eksistensi cowonya.

(Ada juga pendapat yang lebih moderat: cowo-cowo suka cewe smart, kok. Asal engga lebih smart dari dia, hahaha.. Nafsu patriarkis memang susah yah.)

Aku paham kok, cowo punya ego yang harus selalu dimanjakan. Punya kodrat jadi pemimpin. Dan paling benci kliatan bego di depan cewe. Mereka dari Mars, sih.

Tapi kalau memang ini “kondisi operasi”-nya, cewe-cewe smart akan punya dua opsi:
1. Berpura-pura bodoh
(and in no time get yourself an eligible guy, yippee!)
2. Jomblo-ceria selamanya.

Untungnya aku engga perlu pusing-pusing dengan buah simalakama ini. Jika tolok ukur kecerdasan adalah isi kepala seseorang, well, Ibu Kartini akan malu melihat isi kepalaku. Pada kolom “interest” di Friendster, misalnya, aku menulis “Jamie Aditya” (oouch..maumaumau! ;p). Cewe smart tidak akan melakukan itu. Pertanyaan penting no.1 (nyaris seperti pertanyaan filosofis) yang sedang aku cari jawabannya adalah: “Apakah sebaiknya aku beli mascara-eyeliner seharga 45.000 itu, mumpung diskon 30%?”.
That’s the real me: incurable silly girl. ^_^

Anyway, aku melihat satu paradoks dalam konsep “cewe smart berpura-pura bodoh demi mendapatkan cowo”. Cuma cewe bodoh yang akan terlibat tipuan rendah semacam itu. Sedangkan cewe bodoh kan tidak perlu berpura-pura bodoh ya. Hahaha.. ^_^

(With all due respect to all creatures bearing XY chromosomes.)

Tuesday, April 26, 2005

Tentang Ingin Mencekik Ellen

Meet Ellen.
Physically: tinggi, langsing, sporty, cantik dengan sorot mata cerdas dan kulit seindah porselen. Sikapnya ramah dan santai. Dia sudah menyelesaikan S-1 dan S-2 bidang kedokteran di Belanda, dan sekarang bekerja di World Bank untuk suatu proyek kesehatan.

Dari sisi manapun, dia cewe yang smart dan menyenangkan.

Aku menjemputnya di bandara, mengantarnya ke hotel, dan melatihnya berbahasa Indonesia. Kemudian pada suatu ketika, aku ingin mencekik dia.

Ini tentang achievement. Benar, dengan semua prestasinya Ellen adalah achiever, tapi toh aku tidak mudah terintimidasi oleh pencapaian orang. Sudah imun. Maksudku, di tempat kerja setiap hari aku bertemu para achiever: diplomat-diplomat, orang-orang dari NGO, manajer-manajer MNC. Mereka harus mendengarkanku karena aku adalah trainer mereka. Ellen tidak beda. “OK, you have a Master Degree. OK, you work for the World Bank. So what, gitu loh?”. Begitulah mula-mula opiniku.

Sampai aku bertanya berapa umurnya. Dia bilang 23. Biasanya orang-orang selevel Ellen umurnya sekitar 28; aku pikir Ellen salah ingat kata, jadi aku tuliskan angkanya: 23. “Seperti ini?”, tanyaku. Dia mengangguk.

Itulah saatnya ketika aku ingin mencekik Ellen.

23. Itu sama dengan umurku! And already she achieved so many. Sedangkan aku bahkan belum lulus program S-1. Why did mankind invent the words “fair and just”? To show that such things never exist?

I’m telling you, terintimidasi oleh pencapaian orang lain tuh benar-benar memuakkan. Terakhir aku dilanda ‘penyakit’ ini adalah Oktober lalu di Handil Field, lapangan migas milik Total. Aku sekamar dengan employee baru di Departemen Lingkungan; cewe lulusan cumlaude dari TekLing I*B (tentu saja lengkap dengan ideologi “I*B uber alles”-nya). Dia anak ’99, yang berarti kami seangkatan. Tapi dia adalah “employee yang terhormat”, sedangkan aku cuma sekadar “anak KP yang hina-dina”, bumbu sambel terasi di dunia kerja. Dia jelas-jelas merasa diri lebih tinggi. Aku kesal karena mungkin dia benar.

Aku bukan Cinderella atau Putri Salju yang ketika dijahati tetap sanggup bermanis hati. Dia bersikap “you-are-nothing” kepadaku, dan aku membalasnya dengan bersikap “you-might-be-everything-to-the-world-but-you-are-nothing-to-me”. Hehehe.. Childish, I admit, dan bukan contoh moral yang baik. Toh bagaimanapun kami tetap berlaku sopan-dan-terhormat satu sama lain.

Tapi akhirnya aku menyadari bahwa tidak mungkin dia benar. Aku berhasil mengatasi perasaan terintimidasi itu. Akhirnya si employee ini juga menerimaku sebagai teman sekasta dan bukannya orang paria ;p

Malam itu, waktu aku ingat bagaimana aku sempat merasa terintimidasi oleh Ellen, aku membaca kembali doktrin yang aku tulis di HP waktu memutuskan mengakhiri ‘konfrontasi’-ku dengan cewe Total itu.

“Your value is not measured by what you’ve achieved. (Even an achievement could invite a number of different opinions). Your value is what you are feeling, thinking of, hoping for. It is not what you are doing, but why and how you are doing it. So be open, respect others sincerely, be helpful, be kind. Smile. Show others that you like ‘em and you like your self. Then you’ll be a good girl.”

Aku tersenyum. Your value is your heart and soul.

Esoknya, aku juga tersenyum. Kepada Ellen. Sambil meraih tangannya dan bertanya tulus, “Apa kabar? How’s the day so far?”. Karena, dari sisi manapun, dia cewe yang smart dan menyenangkan.

PS:
Cekik-mencekik yang aku maksud di sini tuh cuma figuratif lho ya! Aku bukannya psikopat ato apa.

Wednesday, April 20, 2005

MY WORDS, HER WORDS

I have this yen to be a writer.
Chemical Engineering student as I am, and yet I love (so much, so much!) to write.

I feel my powerlessness all too well, Stella. Everybody would burst out laughing if they could look over my shoulder and read this little sheet of paper. What a crazy idea of mine, right? I, who do not know anything, has learned nothing, and yet would venture on a literary career? Still, even if you also laughed at me, and I know you don’t, I will never give up the idea. It is indeed a desperate undertaking, but “nothing ventured, nothing gained” is my motto. Forward! Let’s dare to do and try! Three-fourths of the world belongs to the bold.

Indeed that is what I feel. That is the plea of my soul.
Only, those words are not mine.

I was robbed of the personal satisfaction of my original thoughts when I –far too soon after- came across the letter Kartini wrote some a hundred and six years past.

They were her words that I wrote above (*1). I was amazed-, stunned-, utterly captivated to find out that Kartini knew my soul. We spoke the same language! (Hey, we could even start a club! ;p)

Suddenly it dawned on me that Kartini was more than a portrait of a chubby lady (that, thanks to the mastery –or folly?- of some artist, seemed so patronizingly old). A toddler I was, and that was my earliest recollection of her as yet. Kartini; one among so few of our heroines to walk along the hall of honorable fame (*2). With her pictures hanging on the walls of my elementary classes. Still, dead, neglected.

But she did live. Once she was full of life. She laughed and bounced and hoped and risked and feared and suffered. She dreamt, she struggled, she loved. Oh yes, Kartini lived bravely.

Yet “brave” is too feeble an expression for her. As she continuingly attempted to uplift the ‘civilization’ of the natives (women in particular) in this occupied land, she was completely ignorant to any restrictions, any barriers, any groundless conservative rules. It was utterly a rebellion. Hand in hand with her two sisters, they excluded their selves from ‘the common’ and jumped down without a safety net.

“Poor fools,” I hear you say, “just the three of you want to shake that gigantic structure and tear it down.” Yes, we will shake it, with all our strength, and even if only one stone falls down, we shall not have worked in vain.

Her dream was vast and her fire burned vehemently inside.

I want to go further, still further. I wanted to be free, to be allowed or to be able to make myself independent, not to be beholden to any one, and above all, never to be obligated to marry.

That she finally wedded at the age of 23 was a bitter compromise. It was not that she hated men; she just loved her dream of uplifting native women all too well, and she knew perfectly that marriage in Javanese culture would only mean an even tighter cage to keep her imprisoned. She tried to run from that uninviting future with all her might (*3). But her affection to her dear, ill father clouded all reasons. She finally gave up and found herself stepping into matrimony.

She gave up, yes, but of her dreams she never let go.

Like all creatures of flesh and blood, Kartini died. She passed away at the age of 24; a married lady and a mother of 4-days-old baby boy. She never did set her foot in Europe as she yearned, not did she taste those education and knowledge she longed for all her life. The struggle left unfinished. Life was a brief candle to her.

Perhaps the only reason of her sufferings was that her thoughts were far too advanced for the Age she was living in. This she realized as well.

There will come a change throughout our native world; the turning point is foreordained; but when will it be? .. My friends here say that we’d be smart if we slept for a hundred years or so, and when we woke up, the time would be just right for us..

Kartini must envy me for living in the Age she longed for. On the contrary, I can’t help envying her for all she had. Were she to live now, undoubtedly she would make every “modern, emancipated girl” hide their faces in shame.

Kartini was an idyll. Not just that she was wise enough to understand the philosophies of life, smart enough to construct thoughts and ideas that were way beyond the Age, and eloquent enough to convey them in at least 3 foreign languages. She was also privileged with the abundance of talents: an excellent writer, a notable painter (*4), an expert in Batik (*5), a brilliant cook (*6), and all these with the mastery of house-hold works. And yes, she had a pretty face with bright, dazzling eyes.

Out of them all, writing was one thing she always held dear.

I draw and I paint too, but I’m far more attracted to the pen than to the brush..
..then I shall try, by means of my pen, to arouse the interest of those who are able to help us to improve the lot of Javanese women.

There we share something in common. Writing has been the jewel of my life, too. So often I have thought about daring to really work on my writings, despite all these limitations. So often I harbored at the realization that I would (should, could) break the chains and take this road less traveled by(*7).

But Kartini and I are two different ladies. I would keep alight that little spark deep within my soul, the spark she poured down as letters on pieces of paper long ago, as it has always been a part of me. Even so, I have the least intention to follow her every path just out of respect. No. Each of us should be the child of our own era.

To me is my world. As she had hers.
And to me, my words. As she immortalized hers.

-Eloque, April 20, 2005. A tribute to Kartini.

(Among all her words, the quotation written in the beginning of this article remains my favorite.. coz it bounds me to her with an invisible string of the love of words. It was a sweet coincidence for me to figure out that those words were written on Nov 6, 1899. Precisely on the same date, 82 years after, I was born. It was nothing, of course, but the coincidence pleased me warmly.)


Note:
*1: A letter to Stella Zeehandelaar, Nov 6, 1889.
*2: It sounds silly now, that in not-so-old days children were encouraged to worship the ground that these heroes/heroines walked on without really comprehending why. Lack of personal, realistic touch in the reproduction of History depicted them as some sort of mythical creatures on the same league as Achilles and Hercules. What a shame.
*3: The fact that she went to matrimony at 23, whereas Javanese girls were supposed to marry at 15, was quite something.
*4: She drew in pencil and painted in both charcoal and oil. And I’m telling you, she was good!
*5: She wrote a book about batik, she innovated new motives, and furthermore she hand-painted and sewed her own batik clothes.
*6: She was that good at cooking that she once said if she had been cast aside in Holland, she would not have worried because she could always be a kitchen maid.
*7: The term “the road less traveled by” came from a beautiful poetry of Robert Frost’s.

Further reading:
There are already piles of biographies on Kartini available in stores, but I’d like to recommend “Panggil Aku Kartini Saja” by Pramoedya Ananta Toer. A superb work. And it must be beneficial (if not crucial) to peep into “Habis Gelap Terbitlah Terang” –Indonesian ed., “Raden Adjeng Kartini, Letters of A Javanese Princess” –English ed. (trans. Agnes Symmers), or “Door Duisternis tot Licht” –original ed. in Dutch, an anthology of her letters to a few Dutch friends compiled by Mr. Abendanon.

Friday, April 15, 2005

- FLY TO SPRING

These wings, that I gladly glide
toward you, my dear sweetheart,
will cross the sky of a thousand miles
and bear the love in a thousand piles.

Then bid me welcome, my sweet one, I am to come!
And bid me stay, by your side –I pray.
O love! The feeling of warmth is overwhelming!
as I fly to my goddes, yes I fly to Spring..

Tuesday, April 12, 2005

XYZ: dari Freud sampai Pangeran Kodok

Setting:
Pagi yang mendung di dapur Pondok Yasmin. Lampu menyala meski sudah jam tujuh.

X sedang menyeduh seteko teh. Y sedang membenahi jemurannya di seberang dapur. Z, lagi-lagi, sedang asik dengan komputernya. Sekali-sekali perempuan Yasmin melintas.

Tadi malam X bermimpi tentang ‘cowo dari masa lalu’, zaman SMU dulu. Ini lebih meresahkan daripada Ujian Akhir Semester satu jam dari sekarang.


X: Oi! Dah baca “Tafsir Mimpi”-nya Freud blom?
Z: Mmm.. belom sih, tapi aku udah baca “Psikologi Imajinasi”-nya Sartre.
X: Kambing ama sapi. Sartre kan eksistensialis. Memangnya sama?
Z: Sama! Sama-sama absurd.. hahaha..
Y: Bikin teh ‘itu’ ya?

Fakta 1: X dikenal sebagai ‘Pembuat Teh’, yang secara rutin menyeduh seteko teh vanila pada pagi dan sore.

Z: Yup! Mau?
Y: Mau dong!
Z: Aku juga mau dong!
X: Tapi ini bukan teh biasa loh. Ini teh neurotik.
Y: Teh erotik?
X: Neurotik! Aduh tolong ya, pagi-pagi..
Z: Apanya yang neurotik?
X: Ini khusus buat yang sakit saraf gara-gara ujian.. hehehe..
Z: Memang ada apanya?
X: Dicampur mint.
Z: Eh?

Fakta 2: X juga dikenal suka membuat minuman yang aneh-aneh, seperti coklat jahe, kopi soda, teh karamel, dan milkshake talas.

X: Engga usah ngeri gitu dong. Ini ‘halalan thayyibah’, lagi..
Z: Iya deh, nyoba..
X: Eh, beneran blom baca Tafsir Mimpi? Engga tertarik mengaduk-aduk memori balita kamu?
Z: Tertarik sih, kapan-kapan. Sekarang masih banyak buku yang harus aku baca.

Z menatap rak bukunya dengan penuh cinta.

Z: Aku beli buku banyak tapi belum sempat aku baca. Hahaha.. ternyata syahwat kebukuanku bisa dipuaskan cuma dengan beli aja ya.
X: Syahwat kebukuan? Tolong ya, istilahnya! Kenapa sih semua orang pagi ini?
Z: Hehehe.. itu istilah anak2 Balairung. Wah asik kali ya jadi anaknya yang punya Social Agency.. syahwat kebukuannya pasti terpuaskan dengan mudah, bisa hidup dikelilingi buku apapun yang dia mau..
X: Iya kali yah. Tau engga, setiap kali aku ke Gramed ato Periplus ato toko buku manapun, aku serasa ada dalam kegembiraan yang amat sangat, sekaligus kebetean yang amat sangat. Ekstasi campur depresi. Dikelilingi buku-buku keren, tapi engga punya duit buat beli. Parah.
Z: Wah, pasti kamu iri banget sama anaknya Social Agency itu. Dia adik kelasku di kampus lho.
X: Menurutmu dia tipe yang mencintai buku?
Z: Engga deh. Dia bukan orang yang peduli sama buku.
X: Memang banyak orang menyia-nyiakan berkahnya yah..
Z: Hahaha.. bener banget..
X: Ato engga juga sih. Soalnya pola pikirnya kan beda. Mungkin buat dia itu bukan berkah. Kita aja yang mengganggap itu sebuah kemewahan.. soalnya kita proletar..
Z: Iya ya.. kalo aku kaya mungkin aku juga engga bakal tertarik sama buku, soalnya kayaknya engga ada tantangannya..
X: Rumput tetangga memang selalu lebih hijau. Eh, tapi kalau kamu bisa milih, kamu lebih suka jadi orang yang mampu beli buku ato jadi orang yang menikmati buku?
Z: Yang menikmati buku dong..
X: Kalo aku sih mau jadi orang yang bisa beli buku sekaligus menikmati buku..
Z: Hahaha.. curang! Di dunia, mana ada yang kayak gitu?
X: Lho.. bisa aja. Aku kan dah punya modal menikmati buku, sekarang tinggal gimana caranya jadi kaya kan?
Z: Misalnya cari suami yang kaya..
X: Misalnya jadi istrinya Richard Oh. Praktis dan efektif.
Z: Hahaha.. curang banget.. Trus aku bakal bisa belanja sepuasnya di QB dong?
X: Tergantung yah. Tapi sekarang saatnya kamu berkata “amiin..”, hehehe..
Z: Kalo gitu aku mau jadi Laksmi Tanjung, yang punya Aksara. Eh, dah nonton Brownies?
X: Blom. Ga minat. Aku engga suka Marcella Zalianty. Tapi terutama aku engga suka film-film yang dangkal.
Z: Iya sih, ceritanya tentang orang-orang jetset gitu. Tapi ada tokoh cowo yang asik banget, dan dia punya Book Corner gitu..
X: Bucek ato cowo kantoran itu?
Z: Bucek. Menurutku, kalo cowo macam dia bener-bener ada, aku bisa jatuh cinta deh. Mau deh jadi istrinya.
X: Apalagi kalo tampangnya juga macam Bucek yah?
Z: Eh?
X: Okelah, sifatnya sama, baik banget gitu, punya Book Corner gitu, smart gitu. Tapi kalo tampangnya kayak kodok, memangnya kamu mau?
Z: Hahaha..
X: Karena itu sadarilah, Nak, walau bagaimanapun dunia ini engga cuma terdiri dari ide dan visi. Ada satu faktor lagi yang disebut “penampakan”.
Z: Hahaha..

Z terus tertawa sementara X menuangkan teh mint-nya ke sebuah gelas.

Z: Eh, mbak. Tau dongeng Pangeran Kodok kan? Yang kodoknya berubah jadi pangeran setelah dicium putri?

Fakta 3: Tidak cuma tau, X juga mengaplikasikan pengetahuannya. Setiap kali ada kodok masuk Yasmin (musim hujan, gitu loh!), X akan refleks berteriak: “Ada kodok! Cepat cium, siapa tau Pangeran!”. Anak-anak Yasmin cuma geleng-geleng kepala. Bodoh tuh penyakit yang engga bisa disembuhkan sampai mati, kata pepatah Jepang.

X: Tunggu.. kamu engga berpikir bahwa entah siapa cowo kodok yang ada di kepalamu itu bakal jadi selevel Bucek setelah kamu cium kan?
Z: Engga. Kasusku kebalikannya.
X: Kamu berharap jadi Putri setelah dicium Bucek?
Z: Aduh, serius dong! Gini, ada temanku bilang bahwa selama ini dia merasa seperti pangeran, dan setelah ketemu aku dia berubah jadi kodok..
X: Sihirnya berkebalikan? Hahaha.. kamu dihina tuh..
Z: Bukan.. aku bukannya bikin dia jadi kodok. Aku engga ngapa-ngapain dia. Tapi setelah ketemu aku, dia jadi ngerasa kalo dia itu engga ada apa-apanya, engga lebih dari kodok..

Fakta 4: Z adalah mantan pemimpin perusahaan majalah Balairung UGM, dan ketua sebuah LSM perempuan. Mahasisiwi karir yang kadang-kadang bisa bikin orang engga pede.

X: Disillusionment! Makanya kamu jangan bawa “cermin” ke mana-mana, non. Dunia kan lebih indah kalo semua orang adalah “Pangeran”.
Z: Hahaha.. bukan salahku dong..
X: Iya sih. Temanmu itu katro. Kenyataan memang selalu pahit buat orang-orang narsis akut yah..
Z: Bener.. dia Pangeran Kodok yang katro..

Z menuang segelas teh mint dan meminumnya.

X: Enak?
Z: Kayak ada balsemnya.. Hweggghh…
X: Wah, engga sopan! Balikin yang udah loe minum!
Z: Hahaha.. tapi lumayan kok, mbak..

Jadi berlalulah suatu pagi yang damai di dapur Yasmin.
XYZ adalah obrolan omong-kosong. Memangnya kenapa? “I like nonsense, it wakes up the brain cells..”, Dr Seuss saja bilang begitu.




PS:
Eloque=X, Uchi=Y, Rini=Z. Tapi ini tidak penting, sungguh. Non refert quis sed quid dicam.
Anyway, bisa klik blog Rini di
http://perempuancerdas.blogspot.com ato link di side-bar.

VJ-VJ MTV

Aku dan Rini sedang menikmati brunch. Di layar TV, VJ Daniel dan VJ Evan ngoceh tidak jelas.
“Garing! Cut the craps, you blockheads!”, lontarku bete. Rini nyengir.

“Mbak, menurutmu VJ-VJ MTV itu merasa punya beban moral engga ya?”

Pertanyaan Rini membuatku merenung sejenak. Bukan rahasia bahwa “generasi MTV” selalu dianggap ikon negatif dalam masyarakat, apalagi masyarakat yang masih (sedikit) menghargai budaya Timur. Panji-panji visi MTV yang sangat Amerika (hedonis-kapitalis-permisif-konsumtif) tetntunya dibawa juga oleh para VJ-nya. Mereka menjadi aktor yang mem-promote kemerosotan moral bangsa. Apakah mereka merasa punya beban moral? Apakah bagi mereka budaya MTV adalah kemerosotan moral?

“Kalo mereka engga sevisi sama MTV, engga mungkin dong mereka apply jadi VJ?”, jawabku. Rini mengiyakan.

Meskipun tentu saja tidak tertutup kemungkinan bahwa ada VJ yang masuk MTV dengan niat untuk ‘memperbaiki’ dari dalam. Aku teringat seorang cewe berjilbab yang nekat ikut VJ Hunt. Dia jadi bahan tertawaan di milis kaum urban.

“Cewe berjilbab, gitu loh! Masuk MTV? Get real!”
“Positive thinking aja, mungkin dia Islam moderat or something..”
“But still, ha-ha-ha-..”

Begitulah bunyi-bunyi komentar nyinyir mereka. Yah, mungkin memang ada hal-hal yang tidak bisa disatukan, seperti Islam dan MTV atau minyak dan air. (Wait! Minyak dan air bisa disatukan menggunakan emulsifier; aku belajar tentang ini di kampus!)

Seandainya emulsifier untuk Islam dan MTV telah ditemukan, tetap saja aku kuatir mbak-mbak berjilbab itu akan terlibat perang ideologi yang tidak seimbang. Dia sendiri melawan sebuah -isme global, seperti David melawan Goliath. Dalam cerita memang pada akhirnya David-lah yang berjaya, tetapi hidup tidak selalu seindah idealita.

Maka mungkin menyingkirkan cewe-cewe berjilbab (dan mungkin cowo-cowo berjanggut lebat?) dari MTV adalah sebuah kebijaksanaan.

Kembali ke pertanyaan Rini tentang beban moral para VJ MTV, aku mengajukan hipotesis sederhana.
“Menurutku, VJ-VJ itu sama kayak psikopat.”.

Psikopat tidak punya beban moral atas pembunuhan-pembunuhan sadisnya. Dia tidak merasa kalau itu salah. Dia hidup di luar nilai-nilai dan norma. Mungkin begitu pula VJ MTV. Mereka hidup di dunia di mana gaya mereka dianggap keren, mereka memulai tren. Kalaupun mereka mendengar komentar miring, paling-paling hanya dianggap ocehan iri terhadap posisi mahadewa ini. Apakah VJ Daniel akan peduli?

(Di layar TV, VJ Daniel masih ngoceh sambil menyibak rambutnya yang dicat pirang menyala.)

“Kalo gitu kenapa masih kita tonton?”

Well, that’s a good question. Kami mungkin judgmental, karena perspektif kami dibatasi nilai-nilai Islam yang kami percayai. Mungkin engga adil kalo aku langsung bikin dikotomi “MTV vs My World”, coz in fact such thing doesn’t exist (yet). Tapi setidaknya pasti ada juga nilai-nilai universal yang masuk ke daerah ‘irisan himpunan’ antara MTV dan Islam. Harus ada.

“Aku engga ngarepin VJ sok suci di MTV, Rin. Tapi mestinya mereka bisa cari yang kayak Jamie Aditya, kan?”.
Dan langsung dipotong gelombang protes dari Rini. Serumah sudah tau aku naksir Jamie. “Tendensius!”. Aku tertawa keras-keras.

Tapi, serius!, menurutku seharusnya MTV memang mencari mereka yang seperti Jamie. Yang benar-benar ‘think globally, act locally’. Yang tidak malu menyanyi jayus, “lirikan matamuuuuh.. menarik hatiiii..”

Tentu saja Jamie bukan orang suci. Tapi aku tidak keberatan menonton lebih banyak Jamie di MTV. Dan mengkompromikan dikotomi.(?)

Sunday, April 10, 2005

- ALL THE STUPID THINGS

All the stupid things
that I’ve done
and keep doing
will remind me
of
how much
affection I feel for you

And all the stupid things
you’ve done
and keep doing
will remind me
that
i am not loving in vain



P.S.:
Feeling romantic neehh.. hehehe..
To B.b, and the wonderful years.

Hak untuk Tidak Membalas

“Yah_ , dia SMS terus sih, tapi engga aku balas. Bukannya engga sopan, memang aku lagi engga punya pulsa.”, jawabku waktu Rini dan Nisa (dua karib serumah) bertanya tentang salah satu perjodohan konyol yang melibatkan seorang mas-mas engineer.

Rini dan Nisa riuh rendah menertawakan keproletaranku.
“Engga pa-pa, nanti paling-paling pulsanya diisiin..”, hibur Nisa. Mas-mas yang ini memang dari perusahaan OFS, jadi lumayan borju. Tapi ide Nisa bikin alisku naik satu senti.

“Aku engga mau pulsaku diisiin.”, ujarku.
“Lho kan enak, mbak. Lagian cuma 100 ribu, apa sih artinya buat dia?”, balas Rini.
“Tapi Rin, kalo kita dibeliin pulsa, kita jadi terikat sama dia.”

Menerima pulsa dari orang lain artinya kapanpun, di manapun, sedang apapun, dalam mood yang bagaimanapun, kita punya kewajiban moral untuk menjawab teleponnya dan membalas SMS-nya. Ini konsep yang tidak bisa aku terima. Aku punya hak untuk tidak membalas. Aku tidak mau kehilangan hak itu demi Rp seratus ribu.

Waktu De*a, temanku, menelepon dan protes keras tentang SMS-nya yang tidak aku balas, aku tertawa jail, “Sori De, lagi miskin pulsa.”
“Kuisiin ‘po?”, tanya De*a.
“Matur tengkyu, engga usah.”, (meski aku yakin dia engga punya ‘tendensi’ apapun).
“Kenapa? Ngga pa-pa kan?”
“Aku menikmati keproletaranku, kok. Beserta hak untuk tidak membalas.”
“Apa tuh?”, tanya dia,
clueless.

Aku membiarkan dia tetap clueless. Nanti dia juga tau sendiri, menjadi proletar bukan berarti membiarkan diri kita terbeli. Hidup indepedensi! ^_^

PS:
Tapi engga punya pulsa itu engga enak ya.. Huhuhu..