Wednesday, April 26, 2006

TO BE LOVED, FIRST BE LOVABLE

(Hasrat Ingin Dicintai, pt.2)

Forgive my going on with this lovey-dovey blabber.

Hormones be damned; in the old saying I find a wisdom that might lead to the fulfillment of this human desire of being loved. It says: “To be loved, first be lovable.”

Here starts the trouble. What are the criteria to be rightly, justly, legitimately lovable?

Beauty is often lovable, but no guarantees. Kindness should be lovable, yet mankind demands much more than what an invisible heart of gold could offer. I reckon the surest way to lovability is by positioning yourself to socially please others. In terms of intergender relationship, this could often mean that the ladies should succumb to the superiority of the male sex. “Yes Sir, I am stupid, weak, and irrational, simply WAY below your rank.” And watch him smug. Amazingly enough he’d dote on you. In the worst of luck he’d at least think you honest and agreeable.

So you serve one’s ego in order to be lovable in one’s eyes, which is the requirement to be loved, which is a necessity for your ego. Is it just me or can you all see the absurdity? You serve one’s ego in order to serve your own ego.

Nevertheless, this whole ego-serving-related-business does no favour for Pristi and me. We are witty, sassy, and thoroughly independent. We are capable of laughing not only with men but also at men. Therefore we are distinctly not lovable. It is a matter of consequence.

Yet suppose we were. The notion goes “to be loved, first be lovable”. After accomplishing the “first”, what’s in the “secondly” then? Funny I never heard anything about it. I guess even if you are lovable, to reach the state of being loved you must leave it to the bizarre ways by which the Nature works. Welcome to the unpredictables.

I’m sorry to say that once more you might just meet our old friends hormones and pheromones. Being lovable is one thing, chemistry is another. To the best of my belief, there is no escape. Hello, oxytocin.


Note:
The true sentence should be: "We are witty (at least Pristi is), sassy (at least i am), and thoroughly independent (or so we wish)." But that's just SO LESS COOL! ;p

Thursday, April 13, 2006

Hasrat Ingin Dicintai


Melaju sepanjang Jalan Kaliurang sementara lampu-lampu mulai benderang, aku menatap Pristi yang memegang kemudi di sampingku.
“Ini malam Minggu?”, aku bertanya.
Dia mengiyakan dengan tenangnya.
“Ini malam Minggu! KENAPA AKU SAMA KAMUUUUH?”.

Dulu juga begini. Aku berjalan menyusuri pantai permai kala matahari terbenam. Langit jingga keemasan dan angin sepoi membuai; sebuah latar sempurna untuk adegan cinta a la telenovela. Lantas aku menoleh pada si dia di sisiku dan aku dapati … Pristi! Entah siapa yang lebih merasa sial atas kesia-siaan panorama itu; dia atau aku.

Tapi serius nih: malam minggu tanpa janji! Dan waktu aku periksa, di HP-ku tidak ada SMS sama sekali. Meet eloque- single and freaky.

O God! Kenapa engga ada seorang pun naksir akuuuh?”, ratapku (pura-pura) merana. Pristi cengar-cengir geli, sudah biasa lihat aku mendramatisasi suasana.

Sampai mobilnya tak lagi terlihat, dan malam semakin pekat, HP-ku tetap sunyi-senyap. Malam minggu itu aku berkalang tumpukan buku.

****

Oke, sekarang kita bicara fakta. Meski menikmati kejombloanku dalam kegembiraan, ternyata ingin juga aku punya satu atau dua fan. Bahkan yang individualis sepenuh hati pun masih memendam hasrat untuk dicintai. Kenapa?

Aku memikirkan dua alasan.

Pertama, karena butuh pengakuan. Pembuktian diri ini manusiawi. Insan yang menyadari bahwa waktunya di alam raya hanya sekejap mata, sedangkan Bumi dibanjiri lima miliar makhluk serupa, tentunya menyimpan renjana agar keberadaannya diakui unik dan berarti. Pengakuan atas ego ini mungkin berbentuk penghargaan terhadap hasil karya (maka kejarlah karir, saudara-saudara!), atau mungkin pula ketertarikan lawan jenis (maka jangan sungkan berdandan maupun pamer kekayaan!). Bukankah dunia ini sederhana?

Alasan lainnya, karena butuh cinta. Sembunyi ke manapun, menyangkal seperti apapun, manusia tidak bisa imun terhadap virus bernama cinta. Kelahiran setiap jiwa adalah wujud cinta-Nya. Dari Tuhan kita belajar mencinta. Kata Robert Frost, “Love is the irresistable desire to be irresistably desired.”. Ketika mencintai, kita menuntut dicintai balik. Ketulusan? Bohong besar. Kalau cinta itu tulus, manusia tidak perlu kelenjar air mata.

Yang bersangkut-paut dengan cinta memang seringkali bohong besar. Mungkin konsep ini –berikut segala romantika idaman gadis-gadis muda- hanya ilusi belaka; mitos yang dieksploitasi sedemikian rupa. Sementara Don Juan dan Casanova –dan para penerus mereka- mengumbar janji-janji surga bersepuh kata-kata cinta, 30% dari kebudayaan di dunia malah tidak pernah bersentuhan dengan istilah “cinta”. Sementara Shakespeare membandingkan sang pujaan dengan keelokan musim panas, para ilmuwan menemukan bahwa timbulnya cinta dipicu oleh hormon -oksitosin misalnya- dan feromon semata. Selamat tinggal, “pertemuan yang ditakdirkan”. Selamat tinggal, “pasangan jiwa”. Inilah wajah sebenarnya dari cinta: otak termanipulasi kimiawi stimulan dan seluruh dunia turut menjadi bulan-bulanan.

Paling tidak, aku turut menjadi bulan-bulanan.
Untuk apa aku (pura-pura) merintih nestapa di depan Pristi, dan lantas menjustifikasi diri dengan mengusung teori eksistensi dan teologi, jika ternyata hasrat ingin dicintai tidak lebih dari permainan hormon, sama halnya siklus menstruasi?

Dan yang lebih parah, aku tulis di blog, seperti ini. Konyol, ah!

Catatan:
Telaah ilmiah yang aku kemukakan itu berdasarkan segi biologisnya, jadi lebih dekat ke sisi Eros dari cinta. Ada juga telaah dari kacamata psikologis, dengan “hubungan” sebagai pusatnya. Ini menarik juga.

Sunday, April 09, 2006

Tanggal Merah untuk Rasul

Waktu aku kecil, ada ritual tahun baru yang menyenangkan. Segera setelah ayahku membawa pulang segepok kalender baru, aku menggelarnya. Dengan khusyuk aku periksa tanggal merah pada setiap bulannya, lantas bersorak gembira dan mereka-reka rencana.

Besok adalah salah satu tanggal merah itu. Tanggal merah untuk Rasul.

Aku yang telungkup menekuri tanggal merah di kalender, bertahun-tahun lalu, tidak pernah mempertanyakan makna di balik perbedaan warna itu. Dulu aku tidak peduli mengapa pemerintah memandang perlu -berlawanan dengan prinsip produktivitas- untuk membuang satu hari kerja atau satu hari belajar demi sebuah peringatan atas sesuatu yang terjadi jauh pada masa lalu; yang terkubur oleh waktu. Aku bertanya-tanya kini: benar bahwa pada hari Senin, 22 April 540 A.D, Muhammad bin Abdullah dilahirkan. Lantas apa? Sesudah 1466 tahun matahari, untuk apa tanggal merah itu?

Yang menarik adalah, sebenarnya kelahiran Rasul bukanlah peristiwa besar dalam sejarah Islam. Tak dapat disangkal bahwa dampaknya besar (bagaimana bisa Yang Mulia Rasul mengubah peradaban manusia jika beliau tak pernah dilahirkan?), tetapi yang lebih dikenang dan sering didaras adalah peristiwa turunnya wahyu pertama, "Iqra". Umur Rasul 40 tahun kala itu. Dalam Al-Qur'an disebutkan, bahwa Muhammad itu ".. dhallan fa hadaa..": sesat, sampai ketika diberi hidayah. Jadi kelahiran "Rasul" adalah Lailat Al-Qadr di Gua Hira, bukan 12 Rabiul Awwal Tahun Gajah di bawah bebatuan Abu Kobeis, Mekah. Ini berbeda dengan Nabi 'Isa, yang telah menjadi Nabi sejak kelahirannya. Jika umat Kristiani merayakan hari Natal, mereka punya alasan. Umat Islam pun silakan merayakan kelahiran Muhammad, tetapi sebaiknya setelah memahami alasannya pula.

Untuk merayakan dan memuliakan Rasul, tanyalah kepada diri sendiri, apa hakikat Rasul sebenarnya? Berbagai kitab telah mencatat jawabannya:
1. Rasul adalah manusia seperti kita.
Karenanya beliau memungkinkan untuk ditiru.
2. Rasul bukan manusia biasa, melainkan al-Musthofa (pilihan)
Karenanya beliau layak dan patut untuk ditiru.
3. Rasul itu ma'sum (terjaga) dari kesalahan; tidak pernah berbuat salah.
Karenanya beliau wajib ditiru.

Tiga syarat telah terpenuhi: memungkinkan, pantas, dan wajib. Bagi kaum Muslimin beliau adalah uswatun khasanah; suri tauladan yang harus diikuti dan dicontoh jika mendambakan kemuliaan di Surga.

Waktu kecil, aku menelan semua ini dengan serta-merta. Aku yang sekarang pun meyakininya, demi imanku kepada Tuhan dan Rasul dan kitab-Nya. Tetapi seorang teman -yang adalah freethinker- mencetuskan pertanyaan sederhana: "Meniru, mengikuti, mencontoh Rasul. Kapan kamu akan jadi diri sendiri dalam bertindak? Di mana posisi karakter individu dalam ranah Islam?". Di hadapan pertanyaan itu aku terdiam.

Benar, aku masih harus banyak belajar. Mungkin untuk itulah esok ditanggalmerahkan. Untuk merenungi hakikat manusia dan agama, hakikat Rasul dan tujuan kelahirannya.