Monday, May 29, 2006

05:54 and afterwards

(Catatan Pribadi atas Gempa di Jogja)

Jam wekerku berhenti di angka itu. Guncangan keras membuatnya terlempar dari rak; baterenya mencelat ketika jam mungil itu menumbuk lantai. Hari Sabtu (27 Mei 2006), sementara mata dunia mewaspadai bahaya letusan Merapi di Utara –dan orang Jogja tenang-tenang saja-, bencana yang sesungguhnya datang dari Selatan. Gempa tektonik berkekuatan 5.9 skala Richter, berpusat di 37 km sebelah selatan Yogyakarta, dengan kedalaman 33 km di bawah permukaan laut*1, menyapa DIY dan Jawa Tengah. Sambil ia lewat, ia mengajak lebih dari 5,400 nyawa (sampai ketika ini ditulis), sementara lebih dari ribuan korban luka-luka. Dua pertiganya di Bantul. Dan jam wekerku mencatat menit terjadinya peristiwa nahas itu: 05.54 pagi hari.

Bencana selalu datang pada saat yang tak terduga. Membuka kado dan mendapati kepalan tinju menghantam wajah kita tiba-tiba.

Sungguh, hari Sabtu itu bermula seperti hari biasa. Aku membuka mata dan mendaras sederetan rencana: piket sampah dan halaman, mengajar kelas pagi di tempat kerja sambilan, nonton DVD dengan teman-teman, kemungkinan ke bioskop dan jalan-jalan. Mengawali semuanya dengan berwudlu dan salat shubuh. Sayup-sayup terdengar tilawah Yasmin-ers di lantai bawah. Aku melirik jam wekerku, -masih ada waktu. Sambil duduk di tempat tidur, aku meneruskan membaca buku.

Tentunya jam 05:54 kala itu, waktu aku mendongak dari bukuku. Kaca-kaca jendela gemeretak. Dan tiba-tiba seisi kamarku terayun ke kiri-kanan, benda-benda mulai berjatuhan. Aku ingat bahwa yang aku pandangi masih jendela itu.

Mengejutkan bahwa dalam satu detik, begitu banyak informasi yang bisa diproses otak kita, begitu banyak hal yang dicerna dan diputuskan seketika. Dalam satu detik, aku mengerti bahwa sedang terjadi gempa, bahwa aku harus turun dari lantai dua, dan bahwa aku hanya memakai celana pendek dan kaus seadanya. Dalam satu detik itu juga aku mengkalkulasi besarnya gempa, potensi bahayanya, kekuatan bangunan tempat aku berada, posisi benda-benda, dan apa yang terbaik untuk dilakukan. Hanya orang bodoh yang akan panik berlarian keluar. Tanpa berteriak, tanpa suara, bahkan tanpa merasakan apa-apa, aku merebahkan diri di tempat tidur. Tidak ada benda kokoh yang bisa menjadi tempat berlindung, dan untungnya tidak ada lemari atau cermin yang bisa jatuh menimpaku. Kasur busa meredam getaran, dan sambil melindungi kepala aku berdzikir memohon lindungan Tuhan.

Berapa lama berlalu sampai gempa reda? Detik-detik yang terasa tiada ujungnya. Tapi aku tidak panik. Mungkin ada teriakan-teriakan histeris dari lantai bawah –menurut Yasmin-ers, mereka berteriak sekuat-kuatnya-, aku tidak benar-benar mendengar. Dan lebih bagus begitu. Mendengar teriakan hanya akan menyebabkan kepanikan. Gempa pun reda. Segera kukenakan jins di gantungan, segera kutarik jaket dan jilbab. Aku turun dengan hati-hati, sambil memperhatikan keadaan. Halaman belakang dipenuhi pecahan genteng, air mengucur dari pralon yang pecah. Baru sekarang teriakan teman-teman jelas mengumandang. Beberapa telah berlarian ke halaman, beberapa terpaku diam. Lantas kami semua “mengungsi” ke jalan. Segala puji bagi Allah, Yasmin-ers selamat!

Tetangga-tetangga juga selamat; kami mendapati mereka di jalan sementara Yasmin-ers berpelukan, saling menenangkan, dan membicarakan keadaan. Spekulasi pertama adalah meletusnya Merapi. Tetapi gunung tersayang itu kelihatan tenang-tenang saja di Utara sana. Aku mengingatkan teman-teman untuk mencari posisi yang aman -menghindari tiang listrik, pagar, atau pohon yang bisa tumbang- dan kemungkinan gempa susulan. Sepuluh kepala, beberapa hanya ditutupi mukena, serius mendengarkan informasi “do’s and don’ts” *2 pada saat terjadi gempa, dengan wajah yang yang bahkan belum tersentuh sabun, dan ekspresi syok sampai ubun-ubun. Mobil dan sepeda motor mulai hilir-mudik melewati kami. Eksodus. Separah itukah? Namun satu demi satu para tetangga masuk kembali ke rumah mereka, dan kami melakukan hal yang sama.

Kami menjalankan inspeksi segera. Tabung gas diamankan. Listrik dan pompa air dimatikan. Beberapa langsung menghampiri telepon: mati. Entah jaringannya sibuk atau mengalami kerusakan.

Apakah kami syok? Pasti. Itu sungguh-sungguh gempa yang besar sekali. Apakah kami panik? Mungkin, -tapi aku rasa aku tidak. Aku masih sempat menyarankan mereka menyiapkan “Panic Box”. Masih sempat membantu mereka menulis identitas dan nomor kontak keluarga untuk disimpan di dalam dompet. Sekarang rasanya aku seperti Miss Sok Tau, tapi saat itu teman-temanku memang tidak punya persiapan menghadapi bencana sama sekali. Aku bersyukur bahwa aku gemar menjelajahi Wikipedia, dan aku bersyukur untuk hari-hariku di Total E&P Indonesie di mana aku terpapar pada pengetahuan dan kesadaran untuk mengutamakan keselamatan dalam berbagai situasi. "Ceramah” itu memang diperlukan.

Aku sendiri merasa bahwa hidup harus terus berjalan. Sekarang sudah terlalu siang untuk piket sampah dan halaman, maka aku pun segera mandi dan siap-siap bekerja. Beberapa barang yang berserakan di lantai kamar aku rapikan juga. Sampai sekarang aku ingat sekali bagaimana aku memunguti dan menyusun ulang batang-batang kayumanis yang berceceran, lantas menempatkannya kembali dalam wadah gelasnya. Aku bersyukur wadah itu tidak jatuh dari rak, karena bayangkan betapa repot membersihkan pecahan kaca di atas karpet tebal. Aku rasa momen inilah yang meyakinkanku bahwa gempa tadi tidaklah sebesar itu; tidak mungkin sampai bisa mengundang tsunami ke Jogja. Dan betapa akal sehatku terselamatkan dari kepanikan karena sepotong kesadaran itu!

Jam 07.45. Yasmin-ers masih berkerumun di sekitar meja, dan masih menanyaiku ini-itu tentang prosedur keselamatan bencana gempa. Miss Safety menjawabi dengan sabar, tapi pekerjaan menanti si profesional. Kutitipkan Panic Box-ku pada mereka, dan dengan riang aku pergi bekerja.

Jam 07.55. Aku sedang berpikir bahwa kelihatannya aku akan sedikit terlambat, ketika sepanjang jalan Pandega Marta kudapati lalu-lintas kian memadat. Ke satu arah. Tidak lama kemudian, orang-orang mulai berlarian. Aku hanya berpikir telah terjadi kebakaran –bencana yang paling sering menyertai gempa. Lagipula mereka berlari sambil berteriak. “Air! Air!”. Tapi memang aneh: kenapa tidak kembali untuk memadamkannya? Kepanikan mulai menyebar, klakson mobil dan motor, bersamaan dengan teriakan-teriakan, mulai memekakkan telinga, sementara aku berbahagia dalam ketidaktahuan.

Tapi bohong kalau aku bilang aku tidak kuatir sama sekali. Aku kuatir. Karena aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Aku tidak tahu setan apa yang menguasai orang-orang yang berlarian ini.

Di tengah kekacauan itu, sebuah sepeda motor berhenti di depanku. Listya dan Umul, dua Yasmin-ers.
“Mbak Elok! Ayo ikut, mbak!”
Itu artinya cenglu, alias satu motor dinaiki tiga orang. Pada keadaan biasa mereka tidak akan terpikir melakukan itu. Oke, jadi mereka sedang panik.

“Ada apa sih?”, tanyaku. Realia tinggal 30 meter lagi.
“Air! Tsunami Ayo cepat, mbak, kita ngungsi!”
“Air apa? Air dari mana?”
Tapi tanpa ba-bi-bu lagi mereka lantas menarikku naik.*3

Ini saat-saat krusial, yang bagiku lebih berkesan dari gempa itu sendiri. CHAOS. Itulah yang terjadi. Semua orang panik, dan berlari, dan mau menang sendiri. Suara-suara sangat bising, orang-orang menangis. Tidak mungkin aku tidak terpengaruh. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tiba-tiba ditarik naik motor di tengah semua kekacauan ini. Aku tidak yakin apakah ini bijaksana, karena seharusnya aku mengajar di Realia (aneh bahwa aku masih bisa berpikir tentang Realia!).

Bergantian Umul dan Listya menyampaikan informasi yang mereka punya. Gempa tadi ternyata dari Laut Selatan! Air pasang! Tsunami telah sampai UGM, kata orang.

Kata orang.
Maaf, tapi aku tidak percaya pada sekedar “kata orang”. Khususnya “orang” yang tidak lebih berpendidikan dan berpengetahuan dari kami sendiri.

“Air dari Laut Selatan? Yang benar aja!”, lontarku. Motor terus melaju.
“Trus kita mau ke mana?”, tanyaku lagi.
“Nggak tahu..”, jawab mereka tanpa daya. Oke, sudah cukup. Ini tidak bisa.

Seratus meter dari tempat semula, aku meminta mereka berhenti. Berpikir lagi. Jogja demikian jauhnya dari Laut Selatan, tidak mungkin Tsunami sampai ke sini. Aku bisa mengerti kepanikan orang-orang, karena Tsunami di Aceh tidak hanya menggoreskan trauma pada ingatan orang Aceh semata, tetapi di seluruh Indonesia. Aku paham bahwa sesudah gempa besar yang barusan terjadi, sepatah kata “tsunami” menimbulkan kengerian tersendiri, membangkitkan kepanikan sampai ke ujung jari.

Tetapi Jogja berbeda dengan Aceh. Jogja tegap berdiri 117 km di atas permukaan laut, tidak seperti Aceh yang merupakan dataran rendah. Dan kota terletak puluhan km dari garis pantai. Butuh gempa berkekuatan luar biasa untuk membawa tsunami menyapu kota Jogja. Sedangkan gempa tadi tidak sebesar itu. Aku teringat wadah gelas dan kayumanisku.

Kami berhenti, mengamati kerumunan, dan seseorang mengarahkan kami menyelamatkan diri ke Jalan Magelang. Sekarang punya tempat jelas yang dituju, sepeda motor kembali melaju. Seumur hidup belum pernah aku lihat orang sebanyak itu, memadati jalan dalam gerakan masif satu arah seperti itu, semuanya terburu-buru dan dengan ekspresi panik yang pilu. Aku berpikir sepanjang jalan. Aku butuh lebih dari sekedar pemikiran pribadi untuk meyakinkan orang. Aku butuh bukti, butuh informasi.

Pada abad informasi seperti ini, ironis bahwa jutaan penduduk Jogja terisolasi dari berita mengenai bencana yang menimpa mereka sendiri. Tidak ada listrik artinya tidak ada berita dari radio maupun TV. Tidak ada internet. Tidak ada batere untuk radio portabel. Para borjuis pemilik MP3 player tidak sampai otak untuk mengais informasi dari alat canggihnya. Telepon tidak berfungsi, menghubungi BMG atau polisi sia-sia sama sekali.

Di jalan Monjali, kami mendapati arus lalu-lintas luar biasa padat. Ke dua arah! Ini tidak mungkin. Kalau benar tempat yang kami tuju aman, orang tidak mungkin berduyun-duyun meninggalkannya. Kami berhenti di pinggir jalan. Mencari informasi dari orang yang lalu-lalang, hanya untuk mendapati lebih banyak lagi mereka yang panik, yang tidak tahu ke mana akan pergi. Informasi! Informasi! Rasanya aku juga hampir frustrasi.

Aku mengingatkan Listya dan Umul, bahwa yang lebih perlu dikhawatirkan saat ini adalah keamanan rumah dari maling-maling tak tahu diri. Aku bicara pada ibu-ibu di sekitarku juga. Yakinkah rumah sudah dikunci? Apakah sudah membawa barang-barang berharga? Tidakkah lebih baik jika kembali? Karena tsunami tidak mungkin ada. Tsunami seharusnya (relatif) seketika, dan ini sudah dua jam dari terjadinya gempa. Seandainyapun tsunami benar-benar menghampiri kota, secara logika kecepatan dan volumenya pasti sudah sangat rendah. Tidak mungkin membahayakan jiwa. Yang paling masuk akal bukan lari ke jalan sehingga memungkinkan diterjang, tapi naik ke lantai dua.

Saat itulah HP-ku berbunyi. SMS masuk dari mas Gatot di Bontang, menanyakan keadaan Jogja. Eureka! Kami di Jogja memang tidak tahu berita, tapi tentunya mereka di luar sana bisa memberi tahu kami informasi dari televisi! Aku coba menghubungi mas Gatot, orang yang jelas-jelas nonton TV. Berkali-kali, lagi dan lagi. Jaringan sibuk. Kami coba cari wartel, tidak ada yang berfungsi. Akhirnya kami putuskan kembali ke Yasmin. Kuminta Mas Gatot menghubungiku di sana –kabarnya Yasmin masih bisa menerima telepon masuk.

Yasmin! Tampak bagai oase di tengah hiruk-pikuk yang tidak masuk akal ini. Dengan nafas lega kami kembali ke rumah tercinta. Kulihat Nisa duduk lemas di kursi teras; ia baru kembali juga. Rupanya Listya –setelah “kuprovokasi” tentang keamanan Yasmin- meng-SMS Nisa dan memintanya kembali untuk memeriksa kunci-kunci. Kami pun duduk di teras, panik (Listya, Umul) dan syok (Nisa) dan tak sabar (aku, ha ha!). Menunggu. Menunggu. Menunggu. Aku memikirkan rencana yang kudaras tadi pagi: nonton DVD dengan Tiessa dkk, merasai bioskop Twenty One yang sedang memutar film terkemuka, jalan-jalan dan makan di Plasa Ambarukmo. Betapa absurdnya itu semua, dihadapkan dengan kepanikan ini, krisis ini. Betapa nisbi segala sesuatu, betapa kecilnya manusia. Plasa Ambarukmo saat itu telah berlubang dindingnya, dengan retakan di mana-mana. Sedangkan aku di sini, menunggu dan menunggu dan menunggu.

Akhirnya mas Gatot meng-sms lagi.*4 Semua nomor telepon Jogja gagal dia hubungi. Aku bacakan informasi darinya: Statistik gempa. Tidak ada tsunami. Gempa tektonik tingkatkan status Merapi. Jangan lari ke Utara. Masih akan ada gempa susulan. Jangan panik.

Alhamdulillah, kemudian telepon ke Mas Sandhy –abangku- juga berhasil tersambungkan. Aku memintanya mencari berita dari TV, internet, apa saja. Kakak yang baik itu pun berkali-kali menelepon dan menyuplaiku dengan informasi.*5 Bagiku, yang terburuk sudah berlalu.

Ketika sudah bisa memperkirakan apa yang akan dihadapi, mudah sekali untuk membuat antisipasi. Aku mengumpulkan semua Yasmin dan mengadakan “rapat koordinasi”. Kami membicarakan situasi saat ini dan langkah yang harus diambil. Tanpa listrik, telepon, air, gas, dan makanan. Terancam kelaparan dan kehabisan air minum. Tanpa cadangan senter dan batere. Kurir pun dikirim untuk menjelajahi Jogja; berburu barang-barang yang kami perlukan sembari memantau keadaan. Alhamdulillah masih ada –setelah dicari ke mana-mana- toko yang buka. Kami memperoleh suplai bahan makanan plus batere. Kami bisa mendengarkan berita terkini dari radio.*6 Teras Yasmin disulap menjadi "posko". Kami waspada, dengan helm tetap di kepala, terhadap kemungkinan gempa selanjutnya. Kami mulai bisa bercanda. Sebagian Yasmin-ers mulai menyambangi Masjid Mardliyah dan sekretariat KM-UGM untuk membantu. Yang terburuk benar-benar telah berlalu.

Bersamaan dengan teraksesnya kembali informasi, datang pula kesadaran betapa parah bencana ini, dan betapa besar jumlah korban. Mungkin inilah yang membuat kami segera bangkit dari kepanikan dan status mengasihani diri. Ada –banyak!- yang jauh lebih menderita daripada kami. “Ayo lakukan apa yang bisa dilakukan.” Dengan itu, akal sehat mulai berjalan.

Di sela hilir-mudik Yasmin-ers membantu dapur umum para korban, di sela dering telepon dan SMS yang berdatangan, satu per satu kesulitan diangkat Tuhan. Listrik menyala. Kami bisa memasak nasi untuk para korban yang kelaparan. Televisi menyajikan berita. HP yang tewas dan sekarat diisi energi kembali.


Menjelang malam, badan terasa begitu penat. Kami berjaga sambil mendiskusikan rentetan peristiwa sepanjang hari ini. Hari yang terasa begitu panjang! Benarkah bahkan belum 24 jam sejak jam 05:54? Benarkah 14 jam yang lalu rumah-rumah penduduk di Bantul dan Klaten masih tegak, mal-mal di Solo masih megah berdiri, Candi Prambanan masih secantik dewi? Seperti mimpi. Untunglah gempa itu terjadi pagi-pagi sekali. Ngeri rasanya membayangkan apa akibatnya jika mal-mal yang ambruk itu dipenuhi manusia.

Kami membicarakan kepanikan isu tsunami juga, dan bagaimana satu-dua Yasmin-ers mengalami trauma. Melihat manusia dalam wujud yang serendah-rendahnya: ketika masing-masing orang hanya memikirkan diri sendiri dan mengesampingkan segala nilai moral ataupun belas kasih agama. Aku mengerti betapa dalam goresannya, meski tidak mengalami kepanikan dan trauma ini. Aku rasa aku "selamat" karena aku tidak takut mati.

Tetapi hidup itu berharga, dan ketika hujan mulai turun, mataku basah oleh airmata. Memikirkan para korban yang diguyur hujan. Memikirkan betapa mereka menderita, terenggut dari orang-orang tercinta, tak terjamah lengan bantuan, dan “dimusuhi” oleh alam. Hidup itu berharga. Yasmin-ers mulai mengaji dan berdoa, setidaknya jika hanya itu yang kami bisa. Widya menginap di Bantul untuk membantu evakuasi, semua Yasmin-ers berjuang dengan caranya sendiri, dan belum pernah aku merasa begitu mencintai mereka seperti ini.

Ketika terbangun keesokan harinya, aku hampir-hampir tidak percaya bahwa semua kengerian dan kegilaan itu nyata, jika tidak mendapati Panic Box di sampingku, dan televisi lagi-lagi menyuarakan kabar pedih korban di sana-sini.

Inilah kenyataannya! Jogja diluluhlantakkan gempa! Dear, dear Jogja. Jogja yang damai, Jogja yang selalu membangkitkan rasa hangat di hatiku. Kini terluka dan berduka. Dear Jogja!

Dalam perenunganku kemudian, aku mendapati ada banyak hal yang harus disyukuri di balik segala kesulitan ini. Aku kini lebih mengerti tentang sifat manusia; ketakutannya, kelemahannya, kekuatannya. Aku lebih mengerti bagaimana mengatasi bahaya. Ini pengalaman yang mengayakan dan amat sangat berharga. Aku bersyukur bahwa aku masih hidup untuk bisa mengambil manfaat dari itu semua, dan menjadi orang yang lebih baik, lebih dewasa. Alhamdulillah. Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin!

Satu catatan untuk pemerintah, adalah perlunya masyarakat dipapar pada manajemen darurat (emergency management). Sebagai negara yang setiap jengkal daerahnya rawan bencana, aneh bahwa sampai sekarang belum ada pendidikan formal untuk warga mengenai apa yang harus disiapkan dan dilakukan kala bencana itu datang. Tentu saja datangnya tak akan pernah terduga (atau suatu saat teknologi memungkinkan deteksi dini?), tapi setidaknya pengetahuan yang mencukupi akan menghindarkan warga dari kebodohan seperti panik tsunami. Persiapan yang mencukupi akan mengurangi jumlah korban yang salah menangani situasi. You don’t lose anything by knowing, kata orang. Dalam kasus-kasus seperti penanggulangan bencana, you might lose your life by not knowing.

Aku telah menulis sebanyak ini. Dan aku bersyukur, dan berterima kasih kepada setiap orang yang bersedia membacanya. Aku ingin berbagi. Aku ingin orang tahu bahwa bencana itu nyata, segala perasaan yang menyertainya itu nyata, dan sampai detik ini masih ada orang-orang yang menderita. Bukan aku. Aku dalam keadaan sehat, penuh syukur, dan relatif bahagia. Tapi mereka.

Persis saat ini, hujan mengguyur Jogja lagi. Mataku basah lagi. Seseorang, aku mohon, bantulah para korban itu!*7

Note:
*1: Ini versi BMG. Rilis dari U.S. Geological Survey menyebutkan gempa berkekuatan 6.3, berpusat di Samudra India, sekitar 25 km di selatan-barat daya Yogyakarta, dengan kedalaman 17.1 km di bawah permukaan laut.
*2: What to do before, during, and after earthquake.

*3: Aku berterima kasih –setulusnya- kepada Umul dan Listya, atas itikad baik mereka untuk menyelamatkan aku dari “bahaya”, dan tindakan mereka yang menunjukkan ketidakegoisan ketika keselamatan diri juga terancam. Oh, dan juga untuk membawakan Panic Box-ku. Thank u, and I luv u, girls.
*4: To mas Gatot: As I already told you, words cannot express my gratitude!
*5: To mas Sandhy: My deepest love, bro. I know the trouble you took, and I appreciate it.
*6: Thank you, RRI-Pro3! Thank you, bung Parni Hadi! Ganbatte!
*7: Realia (Jl.Pandega Marta V/6 Jogja) menyalurkan bantuan pakaian bekas, makanan, dan obat untuk korban gempa. Rekening Bank BNI Cabang UGM No. 003 913 8752 atas nama Dyah Prasetyo Hening. Untuk informasi, email ke realia_jogja@yahoo.com. CP: Elok 0815 7871 4858

Tuesday, May 23, 2006

He is Money-Oriented


Sembari kami duduk berhadapan di warung tenda, didekap dinginnya malam di Jogja, aku mengamati dia. Teman yang datang dari masa silam. Bagaimana dia dulu? Pintar dan polos dan lucu dan menyenangkan. Bagaimana dia sekarang –aku belum tahu. Apa yang bisa dilakukan sang Waktu pada temanku? Aku dapati lelaki muda, berpakaian mahal, berpenghasilan puluhan juta perbulan, kepalanya penuh dengan rencana investasi dan bisnis masa depan.

Usai ulasan panjang tentang skema bisnisnya, dia menceritakan calon rekan yang dia temui barusan. Segerobak puji-pujian. “She’s a girl of visions.”, simpulnya.

Ah, visions. Sebuah kata kenangan. Dulu kami sering bicara dengan kata ini. Dulu kami dua makhluk yang lahir dari rahim Idealisme itu sendiri.

“A girl of visions? In what sense?”
“She has dreams, great dreams..”
“The dream of making more and more money? Spending her whole life to do so, in the pursuit of nothingness?”

He was taken aback, and I was sorry. Still more so because I had to say what I said next.

“If I could rejoice in your eager anticipation, then I would. But I can’t sincerely appreciate those who see the whole world merely as gold mines to enrich themselves. That is so shallow. I pity them.”
“You pity me, too, then?”
“But do you? Do you really belong to those people?”

He could not –would not- utter a syllable.

“I mean, money ain’t all. Everyone needs money, but that is not the sole reason of our existence. Look at me, I’m poor but I AM happy. Are YOU happy- sincerely happy?”

Ini konyol. Pembicaraan kami merembet ke debat kusir yang usang keseringan diulang. Apa arti hidup? Apa arti uang? Dia tertawa gugup, dan diam, dan berjanji akan memikirkannya. Aku tersenyum dan berkomentar soal cuaca.

Apa yang bisa dilakukan sang Waktu pada temanku? Hanya beberapa tahun, dan mungkin beberapa miliar rupiah yang masuk rekeningnya dalam kurun itu. Bisakah manusia berubah? Atau inikah dia yang sesungguhnya?

Di teras rumahku, kami teruskan reuni kecil itu dengan canda santai tentang ini-itu. Dia hampir kelihatan seperti dia yang dulu. Lantas satu kalimat darinya memaksaku menoleh, mengamati air mukanya. Dia berkata:

“Ini sederhana sekali; segala sesuatu di dunia ini bisa diselesaikan dengan satu benda: uang.”

Sesudah deklarasi macam itu, aku bisa bilang apa? Itu sebuah manifesto. Dan itu hidupnya, prerogatifnya, -bukan wilayahku untuk berkata-kata.

Apa yang telah dilakukan sang Waktu pada temanku? Atau tak dapatkah aku menuduh sang Waktu? Aku takut sekali, bahwa selama ini aku hidup di alam ilusi.

For he is money-oriented.


To that particular friend, in case he reads this:
Am I sorry that I wrote it? I don't think I am. But I am sorry if it hurts you, or causes you any inconvenience. Well at least I can be sure it won’t surprise you. I believe you know me better than I you. And for that, I am also sorry.