He is Money-Oriented
Sembari kami duduk berhadapan di warung tenda, didekap dinginnya malam di Jogja, aku mengamati dia. Teman yang datang dari masa silam. Bagaimana dia dulu? Pintar dan polos dan lucu dan menyenangkan. Bagaimana dia sekarang –aku belum tahu. Apa yang bisa dilakukan sang Waktu pada temanku? Aku dapati lelaki muda, berpakaian mahal, berpenghasilan puluhan juta perbulan, kepalanya penuh dengan rencana investasi dan bisnis masa depan.
Usai ulasan panjang tentang skema bisnisnya, dia menceritakan calon rekan yang dia temui barusan. Segerobak puji-pujian. “She’s a girl of visions.”, simpulnya.
Ah, visions. Sebuah kata kenangan. Dulu kami sering bicara dengan kata ini. Dulu kami dua makhluk yang lahir dari rahim Idealisme itu sendiri.
“A girl of visions? In what sense?”
“She has dreams, great dreams..”
“The dream of making more and more money? Spending her whole life to do so, in the pursuit of nothingness?”
He was taken aback, and I was sorry. Still more so because I had to say what I said next.
“If I could rejoice in your eager anticipation, then I would. But I can’t sincerely appreciate those who see the whole world merely as gold mines to enrich themselves. That is so shallow. I pity them.”
“You pity me, too, then?”
“But do you? Do you really belong to those people?”
He could not –would not- utter a syllable.
“I mean, money ain’t all. Everyone needs money, but that is not the sole reason of our existence. Look at me, I’m poor but I AM happy. Are YOU happy- sincerely happy?”
Ini konyol. Pembicaraan kami merembet ke debat kusir yang usang keseringan diulang. Apa arti hidup? Apa arti uang? Dia tertawa gugup, dan diam, dan berjanji akan memikirkannya. Aku tersenyum dan berkomentar soal cuaca.
Apa yang bisa dilakukan sang Waktu pada temanku? Hanya beberapa tahun, dan mungkin beberapa miliar rupiah yang masuk rekeningnya dalam kurun itu. Bisakah manusia berubah? Atau inikah dia yang sesungguhnya?
Di teras rumahku, kami teruskan reuni kecil itu dengan canda santai tentang ini-itu. Dia hampir kelihatan seperti dia yang dulu. Lantas satu kalimat darinya memaksaku menoleh, mengamati air mukanya. Dia berkata:
“Ini sederhana sekali; segala sesuatu di dunia ini bisa diselesaikan dengan satu benda: uang.”
Sesudah deklarasi macam itu, aku bisa bilang apa? Itu sebuah manifesto. Dan itu hidupnya, prerogatifnya, -bukan wilayahku untuk berkata-kata.
Apa yang telah dilakukan sang Waktu pada temanku? Atau tak dapatkah aku menuduh sang Waktu? Aku takut sekali, bahwa selama ini aku hidup di alam ilusi.
For he is money-oriented.
To that particular friend, in case he reads this:
Am I sorry that I wrote it? I don't think I am. But I am sorry if it hurts you, or causes you any inconvenience. Well at least I can be sure it won’t surprise you. I believe you know me better than I you. And for that, I am also sorry.