Thursday, March 31, 2005

"Memprovokasi"

Aku benci sekali pada provokator. Iago dalam “Othello”-nya Shakespeare. Stephen Norton dalam “Curtain”-nya Agatha Christie. “Entah Siapa” dalam kasus Bojong di dunia nyata. Banyak “Entah Siapa” dalam kasus-kasus lain (yang biasanya juga berdarah-darah). Provokator memanipulasi fakta dan bermain-main dengan emosi manusia.

Aku benci sekali dengan provokator, makanya aku kaget waktu sadar bahwa aku sendiri sudah “memprovokasi”. Korbannya adalah Pak David, direktur program ADS (Australian Development Scholarships) yang mampir belajar bahasa Indonesia di Jogja. Institusi dia menyediakan beasiswa S-2 dan S-3 di Aussie, yang oleh banyak pihak sangat dinanti-nanti.

Dengan sengaja, di sela-sela kelas, aku mempengaruhi Pak David untuk merevisi sistem seleksi beasiswa ADS. ADS terkenal hanya menyambut para cumlaude-ers, tanpa banyak cing-cong pada kasta-kasta lainnya. Padahal apa sih tujuan beasiswa ini diberikan? Untuk semakin memintarkan satu orang, atau untuk membawa sebanyak-banyaknya kemajuan? Jika Pak David sendiri tidak dapat menyangkal bahwa “secara moral, tentu yang kedua”, kenapa tidak lebih melirik orang-orang yang punya visi dan sikap mental positif, meski mungkin prestasi akademiknya tidak semeriah kasta cumlaude-ers?

Betapa akan lebih berguna jika ADS membantu mereka yang siap untuk berkembang (punya potensi, minat, visi), namun secara ekonomi terhambat.

Aku kaget waktu Pak David menjawab lugas bahwa faktor ekonomi tidak pernah menjadi pertimbangan serius di ADS. Mungkin dia balik kaget waktu aku berkomentar lugas bahwa itu tidak masuk akal.

Anyway, pada kelas terakhir sebelum bapak funkee itu kembali ke Jakarta, ia berkata, “Sebaiknya kamu mendaftar beasiswa.”

“IPK saya engga 4, Pak.”, jawabku sambil tertawa.

(Aku berkeras bahwa yang aku lakukan adalah “provokasi” dan bukan provokasi, karena setidaknya aku tidak memutarbalikkan fakta dan tidak licik mendewakan kepentingan pribadi. Amin.)

Wednesday, March 30, 2005

It's Not Worth It

Suatu petang di Yasmin. Aku berceloteh riang, “Eh tau engga, kalo kalo kita disuit-suitin pas lagi jalan, itu termasuk pelecehan seksual loh. Bisa dibawa ke pengadilan.”

“Tau.”, Ina mengangguk.
“Masa sih? Aku baru tau!”, Uchi antusias. Yang lainnya ikut mendengarkan.

Dan memang begitulah, sodara-sodara! Aku engga akan berpanjang-panjang menuliskan rujukan produk hukumnya. Yang jelas, asal bisa menghadirkan dua saksi, orang iseng yang bersiul menggoda kita pun bakal jadi terdakwa.

“Jadi, begitu disuitin, tengok kanan-kiri, cari dua orang lagi. ‘Pak, Bu, jadi saksi ya! You, lowly creature, you shall be in jail!’. Gitu.”, aku terus berceloteh.


“Tapi besoknya muncul di koran: ‘Pelecehan Seksual terhadap Mahasiswi oleh Tukang Bangunan’. Kesannya kan kayak apaan aja. Yang hancur nama baik kita, padahal cuma disuitin sedikit..”, potong Ina dengan cengir jailnya.
“Mana munculnya di koran sebangsa Merapi, lagi.. Hehehe..”, sambung seseorang.

It’s not worth it.”, Ina menandaskan, sementara seisi Yasmin hiruk-pikuk tertawa-tawa.

Aku ikut tertawa, karena menurutku hal itu memang bakal jadi lucu. “Ternoda” karena disuitin. Tapi kalau Ina tau bahwa “it’s not worth it”, dan aku tau, dan Tukang Bangunan juga tau, lantas apa gunanya undang-undang indah yang niatnya untuk melindungi hak-hak perempuan itu? Tukang Bangunan akan terus menyuiti cewe-cewe manis, dan cewe-cewe manis akan terus diam. Again and again and again, seperti sudah mencapai kesetimbangan.

Oh, damn. If only it’s worth it..

(Maaf buat semua Tukang Bangunan untuk generalisasi yang sangat menghina ini. But you gave me reasons to.)

Tuesday, March 29, 2005

Theresa yang Sangat Marah

Aku bertanya pada Theresa tentang hal-hal yang membuatnya sangat marah. Blondie Inggris itu diam sejenak, lalu menjawab, “Pria-pria di jalan.”.

Dengan emosional Theresa bercerita tentang pengalaman buruknya. Ia sedang bersama Melanie ketika dua cowo iseng bersiul dan berteriak kepada mereka, “HEY, MISS! DO YOU WANT TO HAVE SEX WITH US?

Kalau aku saja –yang cuma diceritain- marah sekali mendengar itu, bisa dibayangkan bagaimana Theresa dan Melanie. “Di Inggris, kami pasti akan menampar laki-laki yang bicara begitu! Benar-benar kurang ajar!”, Theresa bicara dalam bahasanya (rupanya terlalu marah untuk ingat bahasa Indonesia ^_^).

“Dan Anda lakukan itu atau tidak?”, tanyaku.
No, but we came to them and said, How dare you speak that way to us? If ever you do this again you’ll be in a serious trouble!”, Theresa memasang ekspresi neraka sambil mengacung-acungkan telunjuk. Serem banget, asli.

“Reaksi mereka bagaimana?”
Well, mereka tidak bilang apa-apa, tetapi saya pikir mereka takut..”, jawab Theresa. Aku membayangkan kelinci-kelinci pucat. Cowo-cowo iseng itu salah memilih target; kedua bule cantik itu bukan sekadar turis blondie bodoh. Theresa adalah Sekretaris Bidang Politik Kedubes Inggris dan Melanie adalah aktivis pemberdayaan perempuan dari CUSO, Kanada. Dua orang Xena.

Bagaimanapun, kasus itu selesai begitu saja.

Dari cerita Theresa aku membuat beberapa mental note:
1. Pelecehan seksual masih menjadi perkara enteng yang dianggap “iseng-iseng berhadiah”.
2. Entah bagaimana, it’s taken for granted bahwa ekspatriat punya standar moral yang lebih rendah dan karenanya layak dilecehkan seenaknya (which, I’m telling u, is NOT!).
3. Padahal tentu saja pelaku pelecehanlah yang punya standar moral serendah-rendahnya.
4. Harus dilakukan sesuatu terhadap peleceh-peleceh ini sebelum lebih jauh mempermalukan bangsa dan negara (jika alasan moral dan etika saja tidak cukup untuk menggerakkan hati kita).

Theresa tersenyum ketika aku minta maaf untuk kedua orang kurang ajar itu. (Dan sebenarnya kenapa aku harus melakukan itu sih? *sigh*)

Sunday, March 27, 2005

To Stand and Shout

Dia selalu merasa dirinya ada di puncak bukit. Orang2 terlalu kecil untuk terlihat. Dia terlalu kecil untuk dilihat.

Di puncak bukit, yang ada adalah angin dan langit. Luas tak berbatas.

Dan kesendirian.

Di puncak bukit, meski kita berteriak keras-keras, gemanya akan menerpa diri sendiri. Sekadar sebuah gangguan minor bagi sunyi. Di bawah sana, Kehidupan tidak peduli.

Karenanya berdiri dan berteriak di puncak bukit hanya menyisakan kesia-siaan. Ketika ada yang harus diteriakkan, semestinya dia turun dari bukit dan menghampiri dunia nyata. Berdiri dengan berani demi apa yang dianggap benar, dan berani pula berteriak agar didengar.

Karena bukankah itu tujuannya? Berteriak adalah agar didengar.

Dulu, lama sekali, dia bilang aku bodoh. Dia bilang aku tidak bisa menghargai langit.

Dia bilang, kadang2 berteriak adalah untuk berkomunikasi dengan diri sendiri, ketika nurani terlanjur tersumbat tuli. Berteriak adalah mencoba bicara pada hati. Dan ke puncak bukit dia sembunyi.

Hari ini, aku tahu aku bodoh.

Hari ini aku berdiri dan berteriak di puncak bukit. Agar hatiku jernih sadar, untuk terus meneriakkan yg benar.

Ketika (jika) aku turun nanti.

P.S.
Untuk berani mengambil sikap dan menafi kompromi, ternyata perlu energi aktivasi yang besar.
Semua orang tahu apa yg benar, tapi tak kunjung menemukan jalan untuk terus di jalur itu.
May God forgive my sinful soul..

Tuesday, March 08, 2005

The "Fuel Oil Price" Thing

Eh, kok pada engga setuju BBM naik sih? Aku bukannya pecinta SBY yah, tapi kalo harga 1 liter BBM kurang lebih sama kayak 1 liter Aqua, justru ada yg salah sama negeri ini kan?

OK, aku bisa liat kok segala 'bolong'-nya kebijakan kenaikan BBM ini:

- Pertamina blom diaudit, tp pemerintah udah buru2 naekin harga minyak..
- Blom jelas subsidinya lari ke mana (dicurigai ke kantong pejabat.. yah kalo cuma 10-20% sih ada lah.. ;p)
- Propaganda dari mana tuh kalo yg menikmati subsidi BBm selama ini cuma orang2 kaya?
- Harga2 naek gila2an tuh.. padahal gaji datar2 aja..
- Mahasiswa jadi "terpaksa" bikin demo kan? Jadinya jalanan macet kan? Produktivitas menurun kan?
- Kabarnya nelayan dan pedagang jadi kesulitan mencari nafkah. Supir mogok. Omset pasar2 (terutama yg tradisional) berkurang drastis. Mo cari apa2 susah.
- Orang miskin pada mati (ketabrak metromini, kurang makan, dsb, kayak ditulis dlm subjek "Logika bla-bla-bla" itu..)
- Dsb

Tapi:
Semua itu adalah tentang CARA, SISTEM, dan KENDALI ATAS SISTEM. Bukan tentang esensi. Kalo engga ada korupsi (baik di Pertamina maupun di proyek bagi2 subsidi)? Kalo engga ada orang yg ambil keuntungan dengan naikin harga barang2 konsumsi (Logikanya, efek kenaikan BBM kan indirect thd harga barang. Kok BBM naik 29% trus harga barang ikut naik 20-30%? Dari Hong Kong??? ;p)? Kalo mahasiswa bisa berpikir jauh ke depan dan bukan cuma ngeliat kepentingan sesaat? Kalo semua orang memilih berusaha bertahan, berusaha lebih produktif, dan berusaha lebih keras, daripada bekoar-koar engga jelas? Kalo kompensasi subsidi sungguh2 sampai pada yg berhak?

Lagipula:
Aku kenal seorang supervisor program2 kesehatan dari Bank Dunia. Namanya Ellen. Dia bikin penelitian ttg program jaminan asuransi keluarga miskin. Itu program Bank Dunia. Ellen bilang selama ini program itu masih mungut premi dari orang2 miskin, tapi sekarang engga lagi. Dengan uang kompensasi subsidi BBM, keluarga miskin dapat asuransi gratis. Sungguhan. (And she said that was just the beginning of even bigger projects..)
Aku cuma bisa bilang: AMIN!

Lagipula:
Peradaban Indonesia saat ini adalah peradaban yang dibangun di atas pilar-pilar minyak bumi. Oke, kita punya banyak sumber energi lain: matahari, geothermal, angin, biogas, hidrogen, simply all. Tapi nyatanya, masyarakat belum siap dengan itu semua. Struktur dan infrastrukturnya belum ada. Dan pemerintah juga kliatannya setengah-setengah. Jadi kalo minyak habis, ato jadi sangat langka, gimana dong? Padahal, bayi juga tau kalo minyak bumi tuh engga terbarukan.
Ketika harga 1 liter BBM kurang lebih sama dgn harga 1 liter Aqua, orang jadi foya-foya kan? Kita bicara tentang budaya meremehkan penggunaan BBM, karena harganya kemurahan. Aku banyak ngobrol sama orang2 (terutama diplomat dan aktivis NGO) dari UK, US, Aussie, Kanada, Swedia, Finlandia, bahkan South Africa. Semua geleng2 kepala dgn harga BBM yg begitu murahnya dan bagaimana dgn seenaknya kita menggunakannya. Apakah 70 triliun harga yg terlalu mahal untuk "membeli" sebuah mental attitude? Kalo misalnya kita bisa "menukar" sikap antikorupsi seluruh bangsa dgn 70 triliun saja, mau engga? Kayaknya mau ya?
Aku pikir itu 70 triliun bukan harga yg terlalu mahal. Kita bicara tentang masa depan umat manusia.

Lagipula:
Kalo jumlah motor ato mobil yg beredar di jalanan jadi berkurang, aku justru sangat bahagia. Polusi (udara, air, suara) berkurang dan kualitas lingkungan meningkat. Kenapa engga? Biar hemat BBM, naik sepeda aja. Sehat. Sekali lagi, kenapa engga?

Jadi,
Secara esensi aku setuju dgn kenaikan harga BBM. Biar deh aku dibenci mahasiswa dan orang miskin (dan orang kaya juga, sebab kata propaganda, merekalah yg justru bakal menderita ;p). Aku pikir sekarang kita tinggal ngawasin Cara-nya aja. Sistem-nya. Dan Kendali atas Sistem-nya. Supaya berfungsi dengan transparan, efektif, efisien. Suapaya engga ada kebocoran ato apapun juga. Amin.

Aku lagi ngomongin Negeri Utopia kali ya? Indonesia sih mana mungkin bisa gitu ya? ;p
Tapi, seperti Lao Tse bilang, "A journey of thousand miles begins with a single step.". Sekarang waktunya untuk mulai melangkah. Ke Negeri Utopia. Mulai dari diri sendiri, mulai dari yg kecil, dan mulai sekarang.

"Hope is like a road in the country. In the beginning there wasn't even a road, but when many people step on it, the road comes to existence." (Lin Yu Tang)

Dengan banyak doa dan istighfar, semoga akalku dilapangkan dan hatiku dimurnikan,
-eloque

Sunday, March 06, 2005

Finding Friends

Life is full of surprises, katanya. Tipe Sanguinis macam aku tentu aja suka bgt dgn segala yg berbau kejutan. Termasuk kejutan2 dr komunitas blogger.

Aku mulai tertarik sama blogging sejak baca "Subject:Re"-nya Novita Estiti. Trus temen2 di milis alumni majalah Entropi (majalahnya Teknik Kimia UGM) mulai kasak-kusuk juga. Kliatannya asik, i must admit, tapi kuatirnya aku engga ada waktu buat "memelihara" sebuah blog. Sampai suatu ketika mas Bondie (dikenal dgn nama Bondan Caroko) cerita tentang betapa bahagianya dia di komunitas blogfam. Aku pikir, well, seengganya ini layak dicoba. Dan sejarah per-blog-anku pun berubah selamanya.


Ternyata ada Djoqo juga di sini. Ada Echoy. What a surprise, ada orang2 yg aku kangenin.. old friends..

(All the same, i can't wait to find 'new friends' as well..)

Segalanya membawa kejutan yg menyenangkan. Aku tau aku bakal terus meluangkan waktu buat 'memelihara' blog-ku. Engga ada kekhawatiran lagi.
Thanx, m'Bondie.. :)