Tuesday, February 28, 2006

Disillusionment

Aug 21, 03
“Menangislah dengan keras, agar bisa tertawa esok pagi.”, kata D.
Aku hanya mencebil kesal. Tetapi benar, itu yang ingin aku dengar. Karena yang aku perlukan adalah memang menangis dengan keras.
Kini aku melihat siapa yang peduli kepadaku, siapa yang ada untuk menadahi air mataku.
Sky tidak ada.
Dia hanyalah ikon di langit. Dia tidak menemaniku saat aku butuh, atau mengumpulkan serpihanku saat aku luruh.



***

Itu ditulis tiga tahun yang lalu.

Waktu membacanya, yang muncul di benakku adalah satu kata: disillusionment. Kita manusia selalu-selalu-selalu hanya melihat yang ingin kita lihat. Terlalu kecil dan bodoh untuk merengkuh kesejatian segala sesuatu. Langit itu tidak selamanya biru. Waktu akhirnya kita tahu, kita terluka. Kecewa.

Tidak apa-apa, karena kekecewaan adalah pil pahit untuk bangkit. Mungkin seluruh dunia ini sekadar ilusi, tapi setidaknya jangan terperangkap ilusi yang kita ciptakan sendiri. “Boleh jadi engkau membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi engkau menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu*”.

Dengan kata lain, sudah tahu bodoh maka jangan sok tahu. Kebenaran tertinggi terletak pada Rabbul Izzati.

***

Yang tadi itu kalau mencoba mencari hikmah tingkat tinggi.

Kalau sekadar membaca “Kini aku melihat siapa yang peduli padaku, siapa yang ada untuk menadahi air mataku.”, aku tergelitik satu pesan moral lagi: hubungan jarak jauh biasanya cuma ilusi. Kadang-kadang ada yang berhasil bertahan, tetapi akuilah: ada saat-saat di mana “kehadiran” tidaklah tergantikan.

Tidak perlu sok romantis kan? If you can’t be with the ones you love, love the ones you’re with. Hidup ini masih indah.

*QS 2: 216


(To Djoq, who remains a dear friend.)

Thursday, February 23, 2006

Bro's Birthday

To my brother Sandhy on his birthday: a picture by a a fat-headed amateur (e.g. his little sister ;p). My best wishes, brothers!

Sunday, February 19, 2006

Lifetyme Lurner

Aku bodoh sekali; tidak tahu apa-apa.

Umurku 24 tahun, belum lulus S-1, belum pernah pergi lebih jauh dari Sangatta di Kalimantan. Iya kan? Jelas tidak mungkin aku tahu macam-macam.

Socrates dulu mengatakan hal yang sama: “Hanya satu hal yang aku tahu, yaitu bahwa aku tidak tahu apa-apa.”. Dia mati minum racun cemara. Aku yang seperti ini tentunya jauh-jauh-jauh lebih tidak tahu apa-apa daripada dia. Porositas otakku mungkin mendekati satu. Tetapi –dipaksa atau sukarela- aku tidak akan minum racun cemara.

Sebab aku gembira bahwa aku hidup. Meski bodoh, aku masih bernafas dan masih (relatif) muda. Definisi kemudaan, menurut Miranda Risang Ayu, adalah keingintahuan yang menggebu terhadap segala sesuatu. Meski bodoh, aku masih bisa terus belajar dan belajar.

Ini benar. Aku suka belajar. Sementara alam semesta terbentang begitu luas, masa kita puas hanya dengan langit yang itu-itu saja? Ketika pagi menyajikan berjuta kemungkinan dan kesempatan, masa kita rela terjebak dalam rutinitas yang sama? Apakah tidak terpikir bahwa sesuatu yang baru mungkin (pasti!) menyenangkan? Apakah tidak ingin tahu dan mencoba?

Dan itulah selalu masalahnya: “ingin” dan “akan” tidak sama dengan “sedang”. Banyak orang mengaku pembelajar, ingin tahu segala macam, merencanakan selusin petualangan, tetapi tidak beranjak seinci pun dari kursi nyamannya. Mereka menunggu Hal-Hal datang kepada mereka. Atau mereka menganggap “belajar” adalah sesuatu yang “besar”: mahal dan makan waktu. Maka lain kali saja kalau sudah senggang dan ada uang.

Orang-orang ini bersekolah, bekerja, menikah, berbiak, dan mati dalam sebuah kaleidoskop satu gambar. Hambar. Mungkin mereka punya alasan; punya keterbatasan. Yang tidak aku mengerti adalah: karena sudah susah-susah hidup dan mengais makna, kenapa tidak sekaligus MENCOBA menjadikannya penuh warna?

Aku pun sebenarnya belajar hal-hal yang bodoh saja. Misalnya, tiga tahun yang lalu aku mulai belajar bahasa Korea. Setahun yang lalu aku belajar menulis blog. Empat bulan yang lalu belajar main bowling. Dua bulan kemudian ikut kelas kecantikan. Minggu lalu aku menelaah paten terbaru pengilangan minyak bumi. Minggu ini aku mulai latihan beladiri. Besok pun dunia masih indah bagi para penjelajah. Dan suatu ketika aku akan belajar main biola.

Belajar tidaklah susah. Variasi itu sunnah alam semesta. Bukankah dalam awan kuantum pun tiap-tiap elektron bergerak mengikuti orbit yang selalu berubah? Belajar hal yang baru itu indah, sehingga buatku bodoh adalah suatu berkah.

Inilah aku, si bodoh itu.
Full name : Elok Fajarini Nur
Occupation : Lifetyme Lurner



* aku meminjam pembahasaan “lifetyme lurner” dari Yuhki, yang –mungkin- meminjamnya dari orang lain juga
* itu gambar sampul buku kedua manga “Nodame Cantabile” karya Ninomiya Tomoko –a superb work!

Thursday, February 09, 2006

Mental Inlander

(Harga Diri Identitas Pt.2)

Pernah jalan-jalan bareng teman yang kebetulan bule? Khususnya di tempat di mana bule adalah pemandangan langka.

Kurang-lebih inilah yang akan terjadi: orang-orang yang berlalu-lalang menoleh, menatap terpesona (pada si bule, tentu), mulai berbisik-bisik dan terkikik-kikik, kalau punya nyali akan ber-“hello, mister, how are you?”, dan kalau bawa kamera mungkin akan menodong foto bersama. Bahkan tiba-tiba muncul kertas dan pena disertai kalimat sakti “minta alamat mister dong!”.

Lebih parahnya, anda mungkin akan didaulat memotretkan mereka yang asyik berpose bersama si bule. Dan sementara semua kehebohan ini berlangsung, si bule menatap anda dengan pandangan “what the hell is goin’ on here?”, sedangkan anda cuma bisa angkat bahu. Mau diapakan lagi; mental inlander.




Gejala ini tampaknya bisa dilabeli xenophilia; saya mengerti bahwa segala yang asing dan baru tentunya menarik dan menggiurkan. Tapi rasanya xenophilia kita agak kelewatan ya. Seorang teman Kanada berkomentar (setelah dia jadi selebritas baru yang tak habis-habisnya dipotret orang di Borobudur) bahwa di Kanada pun saya akan memaksa orang-orang menoleh sekilas –dengan jilbab dan wajah Asia ini-, tapi “menoleh sekilas” sama sekali lain dengan mengajak foto bersama. “Ini bukan tentang xenophilia.”, tandasnya.

Mungkin juga. Toh bule sudah jadi tontonan sehari-hari di layar televisi. Kepala pirang yang bercokol di atas postur Asia juga sudah jamak di mana-mana. Mau hidung mencuat ke langit, operasi plastik pun bisa. Kenapa “pemujaan” ini tak kunjung usai juga?

Inferiority-complex? 350 tahun diinjak-injak para menir dan noni berhidung bangir rupanya mengguratkan cacat permanen pada DNA kita, sehingga di mata kita semua yang “londho” seolah makhluk setengah dewa? Apakah kerendahdirian pribumi terhadap superioritas Barat terpatri menjadi kenangan kolektif yang diwariskan dari generasi ke generasi? Atau ini ekses dari negara yang meski sudah 60 tahun merdeka namun tidak maju-maju juga; hutangnya membumbung dan eksistensinya didikte peradaban yang lebih superior (i.e. Barat), setidaknya secara ekonomi dan budaya?

Tidak perlu pusing-pusing memikirkan alasannya. Lebih baik santai luruskan kaki dan nonton acara gosip selebriti. Mari kita simak bagaimana pesohor lokal kita berduyun-duyun menggaet bule. Mari kita dengarkan bahasa mereka yang belepotan. “Yahh.. rencananya belum fiks, tapi paling nggak wiken ini lah. Nanti kita kip in tach kok.”, cerocos biduan cantik itu.

Saya nyengir lebar. Memang benar, mental inlander itu tidak tergantung kulit luar.