Thursday, February 09, 2006

Mental Inlander

(Harga Diri Identitas Pt.2)

Pernah jalan-jalan bareng teman yang kebetulan bule? Khususnya di tempat di mana bule adalah pemandangan langka.

Kurang-lebih inilah yang akan terjadi: orang-orang yang berlalu-lalang menoleh, menatap terpesona (pada si bule, tentu), mulai berbisik-bisik dan terkikik-kikik, kalau punya nyali akan ber-“hello, mister, how are you?”, dan kalau bawa kamera mungkin akan menodong foto bersama. Bahkan tiba-tiba muncul kertas dan pena disertai kalimat sakti “minta alamat mister dong!”.

Lebih parahnya, anda mungkin akan didaulat memotretkan mereka yang asyik berpose bersama si bule. Dan sementara semua kehebohan ini berlangsung, si bule menatap anda dengan pandangan “what the hell is goin’ on here?”, sedangkan anda cuma bisa angkat bahu. Mau diapakan lagi; mental inlander.




Gejala ini tampaknya bisa dilabeli xenophilia; saya mengerti bahwa segala yang asing dan baru tentunya menarik dan menggiurkan. Tapi rasanya xenophilia kita agak kelewatan ya. Seorang teman Kanada berkomentar (setelah dia jadi selebritas baru yang tak habis-habisnya dipotret orang di Borobudur) bahwa di Kanada pun saya akan memaksa orang-orang menoleh sekilas –dengan jilbab dan wajah Asia ini-, tapi “menoleh sekilas” sama sekali lain dengan mengajak foto bersama. “Ini bukan tentang xenophilia.”, tandasnya.

Mungkin juga. Toh bule sudah jadi tontonan sehari-hari di layar televisi. Kepala pirang yang bercokol di atas postur Asia juga sudah jamak di mana-mana. Mau hidung mencuat ke langit, operasi plastik pun bisa. Kenapa “pemujaan” ini tak kunjung usai juga?

Inferiority-complex? 350 tahun diinjak-injak para menir dan noni berhidung bangir rupanya mengguratkan cacat permanen pada DNA kita, sehingga di mata kita semua yang “londho” seolah makhluk setengah dewa? Apakah kerendahdirian pribumi terhadap superioritas Barat terpatri menjadi kenangan kolektif yang diwariskan dari generasi ke generasi? Atau ini ekses dari negara yang meski sudah 60 tahun merdeka namun tidak maju-maju juga; hutangnya membumbung dan eksistensinya didikte peradaban yang lebih superior (i.e. Barat), setidaknya secara ekonomi dan budaya?

Tidak perlu pusing-pusing memikirkan alasannya. Lebih baik santai luruskan kaki dan nonton acara gosip selebriti. Mari kita simak bagaimana pesohor lokal kita berduyun-duyun menggaet bule. Mari kita dengarkan bahasa mereka yang belepotan. “Yahh.. rencananya belum fiks, tapi paling nggak wiken ini lah. Nanti kita kip in tach kok.”, cerocos biduan cantik itu.

Saya nyengir lebar. Memang benar, mental inlander itu tidak tergantung kulit luar.