Harga Diri Identitas
“Memangnya kenapa kalau di luar negeri (keadaannya) nggak begitu? Ini kan Indonesia. Di Indonesia memang begini. Banggalah jadi orang Indonesia!”
Komentar (kritik?) seperti ini saya terima berkaitan dengan dua tulisan saya; yang satu tentang sistem desimal dan yang lain tentang uang yang kumal.
Banggalah sebagai orang Indonesia, katanya. Baik sistem desimal yang berbeda dengan standar universal maupun uang yang lusuh-kumal adalah bagian dari identitas keindonesiaan kita. Tidak perlu susah-susah diubah.
Begitukah?
Yang bicara di sana adalah harga diri identitas. Saya selalu berpikir dua (bahkan tiga, empat, sepuluh) kali sebelum mengedepankan kebanggaan atas eksklusivitas ini. Hati-hati!
Karena harga diri identitas, sejarah dunia mencatat daftar panjang gesekan antarras. Karena harga diri identitas, tumpahlah darah di Poso dan Maluku Utara dan Sambas. Karena harga diri identitas, sampai hari ini perempuan di berbagai penjuru dunia masih tertindas. Karena harga diri identitas, kampanye pemilu rusuh oleh pendukung partai yang bentrok keras.
Identitas itu penting, tapi benarkah harus dipentingkan? Cara pikir eksklusivisme telah memecah-mecah kesadaran akan identitas yang lebih besar sekaligus mendasar: identitas sebagai manusia dan sebagai makhluk Tuhan.
Harga diri identitas itu penting, tetapi tentunya bukan untuk dinomorsatukan. Ini sudah bukan zaman “right or wrong, my country”. Ada yang lebih mendesak daripada harga diri identitas, yaitu perbaikan. Kalau ada yang bisa diperbaiki, perbaikilah. Selama lebih besar manfaat daripada mudlaratnya, kenapa ditunda?
Saya mencintai Indonesia. Kecantikannya, kemurniannya, kesederhanaannya. Saya pun marah jika Indonesia disumpah-sumpah. Karenanya jangan sampai kita memberi alasan bagi orang lain untuk meyumpah-nyumpah kan? Kalau ada yang bisa diperbaiki, perbaikilah.