Friday, December 23, 2005

Money Laundry

Indonesia butuh money laundry! Money laundry dalam arti sebenar-benarnya!

Akuilah, uang Indonesia –baik yang koin dan terutama yang kertas- JOROK! Kotor, kumal, lembab, berbau tak sedap, dan dijamin menjadi peternakan kuman. Teman saya Andrew, yang berpaspor Singapura dan berstandar hidup jauh lebih tinggi dari rata-rata orang Indonesia, nyata-nyata ogah memasukkan uang rupiah ke dalam dompetnya.

Sekarang bukalah dompet Anda dan dapati sendiri seberapa kumal uang di dalamnya. Di dompet saya, misalnya, ada beberapa lembar uang ribuan dalam kondisi memalukan. Semakin besar nilai nominalnya biasanya kondisinya semakin terhormat. Jarang kita temukan pecahan seratus ribu yang bau ikan.

Bicara tentang ikan, dulu saya sempat menduga hanya uang keluaran pasar ikanlah yang lusuh, lembab, dan amboi aromanya. Ini ternyata pikiran penuh prasangka, karena dari kafe-kafe ternama (dan mahal) di Jogja pun uang kembalian yang “kurang elegan” disodorkan.

Jadi urusan uang buluk ini sebenarnya tentang apa? Mungkin sikap mental bangsa Indonesia yang kurang menghargai uang. Tapi tunggu, ini jadi absurd, karena bangsa dengan sejarah korupsi semegah Indonesia tentunya mengahargai uang di atas segalanya; pun di atas nilai moral dan rasa keadilan.

Atau, secara teknis kita bisa menuding Bank Indonesia sebagai empunya uang. Mungkin mutu kertas dan logam koin kurang baik (korupsi lagi?). Mungkin terlalu lama pasukan Dewa Hermes itu dibiarkan bertualang dari tangan ke tangan.

Bagaimanapun, uang buluk mungkin bukan melulu hal buruk. Dia bercerita tentang perputaran uang yang cepat; bukankah secara ekonomi itu progresif? Semakin buluk uang yang beredar di masyarakat, semakin banyak transaksi bisnis yang telah berlangsung. Malah bisa jadi ini juga pertanda tingkat inflasi menurun, karena kelihatannya uang yang beredar adalah yang itu-itu saja.

(Terlalu optimistis dan sepihak memang –misalnya, pertumbuhan ekonomi tidak hanya diindikatori peredaran uang fisik dong!- tapi hal-hal seperti ini membantu melegakan hati ketika disodori uang kembalian yang lusuhnya nggak ketulungan..)

Jadi bagaimana? Kita relakan saja bahwa sudah dari sananya uang Indonesia jorok? Kita adopsi saja filosofi Ibu Dyah –bos saya- bahwa masih ada hal-hal adiluhung yang perlu diurusi Negara daripada remeh-temeh seperti uang bau ikan yang toh tidak berbahaya? Kita kampanyekan kebiasaan mencuci tangan dengan produk pembunuh kuman (lihat lagi kondisi uang yang setiap hari Anda pegang kalau mau tahu alasannya)?

Atau, merujuk pada kalimat pertama, kita bangun money laundry saja? :-D

(To Jeng Pristi, my squeamish –yet beloved!- friend)

Monday, December 05, 2005

Bicara Angka

Yuhki, cowok Jepang-Amerika itu, mengerutkan kening dan terbata-bata membaca sederetan angka desimal di hadapannya. Dia kandidat PhD dari Harvard University. Dia benci kelihatan bodoh. Dia menyumpahi sistem desimal Indonesia. Mungkin karena dia benci kelihatan bodoh. Mungkin karena sistem desimal Indonesia memang pantas disumpahi.

Lihat ini:
8,500

Orang Indonesia membacanya delapan koma lima nol nol (yang matematikanya bego membacanya delapan koma lima ratus). Maksudnya delapan setengah.

Orang Inggris, Australia, Singapura, dan atau Amerika-yang-sangat-hebat-itu membacanya eight thousand and five hundred. Maksudnya delapan ribu lima ratus.

Delapan setengah versus delapan ribu lima ratus tentu bukan urusan yang rampung dengan gurauan “cincai lah..”.
Mana yang benar? Tergantung tempat. Di Indonesia, jelas yang pertama. Di negara-negara lain di seluruh dunia, yang kedua.

Mungkin Yuhki berhak menyumpah-nyumpah, demi entah berapa jam yang telah dihabiskannya untuk memperbaiki data numerik keluaran BPS. Mengganti setiap koma menjadi titik, sesuai standar universal untuk pengolahan data berupa angka. Ironisnya, data itu sudah berbentuk dokumen Excel ketika tiba di tangannya.

Bagaimana pegawai pemerintah bisa sebodoh itu, memasukkan angka pada lembar kerja Excel dalam format desimal yang tidak standar? Betapa memalukan, kerena itu bukan hanya menunjukkan tingkat intelektualitas orang Indonesia, melainkan juga fakta bahwa data itu tidak pernah benar-benar diolah.

Kebodohan macam ini harus diakhiri; sistem desimal Indonesia harus diubah. Janganlah hal ini dianggap gurem yang bisa diabaikan. Matematika adalah bahasa universal yang (seharusnya) melampaui batas teritorial maupun budaya. Meski sulit tetapi tetap harus dimulai; justru karena akan makan waktu lama maka harus dimulai sekarang juga. Yuhki memasukkan ini ke otak saya.

Saya tidak suka disumpah-sumpah. Saya tidak suka negara saya disumpah-sumpah. Namun dalam kasus ini saya menelan harga diri demi sesuatu yang lebih berarti: perbaikan.

Jadi siapa yang akan bergabung bersama saya menuntut reformasi sistem desimal Indonesia? Karena kita bisa.

***
(Tentu saja untuk Yuhki, sebagai pemenuhan janji.)