Sunday, December 07, 2008

Idul Adha yang Memuliakan

Komentar Papa selepas salat Id membuatku berpikir.

"Nggak bener ini", ujar beliau tentang fenomena bagi-bagi kupon daging kurban.
"Apanya, Pa?", tanyaku ringan.
"Pembagian kupon begini. Seharusnya kita yang datang pada mereka dengan membawa daging kurban. Bukan mereka yang harus datang untuk meminta".

Kami manggut-manggut. Papa menimang sejenak buku The Tao of Islam yang baru kemarin kuberikan.

"Idul Adha seharusnya memuliakan, bukan merendahkan", tandas Papa.


Pada kenyataannya, tidak banyak yang berpendapat bahwa pembagian kupon daging kurban itu merendahkan. Kebanyakan orang menerimanya sebagai sesuatu yang wajar, dan sesuai kewajaran, orang-orang datang mengerumuni barang gratisan.

Tetapi ibadah kurban tidak dimaksudkan sebagai sekadar bagi-bgi gratisan. Dan kewajiban setiap makhluk berakallah untuk mempertanyakan dan menimbang ulang suatu "kewajaran".

Manusia yang setia pada harkatnya, meskipun papa dan kekurangan, tidak akan tunduk begitu rendah sampai mau berebut jatah bersusah-susah. Aku selalu berpikir begitu setiap kali menonton tayangan berita di TV yang menampilkan gambar puluhan dan ratusan orang menyerbu pembagian sembako atau apa saja; saling menyikut dan mendorong dan menginjak saudara demi sesuatu yang tak seberapa. Merubung gula seperti serangga gila. Aku selalu berpikir, bukan seperti ini kodrat dan fitrah manusia. Aku selalu berpikir, si penderma yang mengkondisikan sekumpulan manusia ini berlaku seperti binatang belaka tentunya sunguh tidak beres moralnya.

Islam adalah agama yang mulia dan memuliakan. Aku tidak rela kalau Idul Adha pun dijadikan dalih untuk mengerdilkan fitrah manusia dan kemanusiaan.

Ini membuatku teringat pertanyaan yang dilontarkan Prof. Hasanu Simon, patron Pengajian Bubur Ayam di Pogung, Jogja, yang biasa kusambangi dulu. Beliau bertanya, "Mana yang lebih baik: orang miskin yang sabar atau orang kaya yang bersyukur?". Saat itu aku mesti berpikir keras sebelum menjawabnya.

Orang miskin yang sabar punya harga diri ke-Islam-an yang tinggi; percaya bahwa Tuhan sudah dan sedang memberikan yang terbaik baginya; yakin bahwa benda bukan ukuran kebahagiaan yang sebenarnya; dan tentunya tidak memuliakan daging kambing/sapi sebegitu tingi sampai merendahkan diri sendiri.

Orang kaya yang bersyukur percaya bahwa di mata Tuhan hanya ada ketakwaan; bahwa harta adalah titipan; bahwa kekayaan tidak membuatnya lebih tinggi daripada orang-orang miskin di luar sana. Dia tidak akan merendahkan mereka. Dia akan berbagi dengan tulus; dengan hati, bukan hanya dengan fulus.

Yang manapun tidak akan terlibat skema pembagian kupon daging kurban ini. Yang manapun aku rasa baik untuk menjadi. Tetapi tangan di atas lebih baik daripada tangan yang diberi, jadi begitulah jawabanku kala itu.

Aku percaya bahwa ketika semua orang miskin rela bersabar dan semua orang kaya senang bersyukur, yang dimaksud dengan kewajaran adalah "Islam yang memuliakan".

Dan aku percaya Papa akan mengiyakan.

Labels: