Thursday, June 23, 2005

Gincu dan Pakaian Dalam

Salah karena tidak tahu bisa dimaafkan, salah karena bodoh mungkin akan dimaklumi, tetapi salah sekaligus mengaku intelek tentunya harus diganjar berat.

Aku bicara tentang mahasiswa. Bukan yang study-oriented dan hidup di perpustakaan, tetapi yang (sedikit) idealis dan turun ke jalan atas nama rakyat. Dengan kata lain, mahasiswa demonstran.

Aku pernah memuja golongan ini (*1). Pernah merasa mereka pilar-pilar masa depan. Orasi. Kepedulian. Idealisme. Perjuangan demi yang lebih baik. Aku pernah menatap orang-orang itu; aku bangga dan berdoa.

Aku pernah ada di antara mereka (*2). Long march. Petisi. Bunga-bunga kertas. Keyakinan. Menoleh dan menatap sekitar, dan bahagia karena aku tidak sendirian memperjuangkan yang ‘benar’.



Image hosted by Photobucket.com



Aku sedang menatap mereka juga sekarang (*3). Ban yang dibakar. Dan bendera, poster. Foto-foto. Keranda. Sumpah-serapah. Jalanan macet. Batu dilempar. Sumpah-serapah lagi.

Memuakkan.

Yang lebih memuakkan adalah penyimbolan yang mereka pakai. Pakaian dalam perempuan untuk anggota dewan perwakilan yang dianggap tidak berdaya dalam tugasnya (*4). Maksudnya apa, coba? Waktu aku menonton berita ini di televisi, aku benar-benar muak. Yang sedang dihina oleh para “mahasiswa intelek” itu bukan anggota dewan, tetapi kaum perempuan.

Jangan salah paham; aku bukan feminis (setidaknya bukan yang “tersesat” ;p). Aku harap aku tidak TERLALU sensitif dan emosional soal jender. Tapi lihatlah: pakaian dalam perempuan sebagai simbol ketidakbecusan. Bagiku ini artinya:

1. Ketidakbecusan diidentikkan dengan perempuan. Kalau mereka ingin bilang ke seluruh dunia bahwa orang-orang yang dikirimi pakaian dalam perempuan itu tidak pantas duduk di kurusi legislatif, sama saja bilang bahwa perempuan (juga) tidak layak untuk posisi itu.

2. Perempuan dilihat dan diposisikan sebagai obyek seks semata. Dari semua barang yang bisa melambangkan kewanitaan, kenapa yang dipilih adalah pakaian dalam (yang dekat sekali dengan wilayah seks)? Karena memang begitulah si perancang demonstrasi itu mengesensikan perempuan.

Makanya di awal tulisan ini aku bilang bahwa orang intelek yang bersalah seharusnya diganjar berat. Perancang demonstrasi itu adalah mahasiswa. Aku terkejut bahwa seperti itulah sikap dan cara pandang mahasiswa sekarang terhadap posisi dan peranan perempuan. Dan kita bukan bicara tentang mahasiswa sembarangan, tetapi mahasiswa aktivis perubahan.

Ikon pergerakan mahasiswa pada masa Orde Lama, Soe Hok-Gie (*5), juga pernah terlibat blunder serupa. Ketika 13 kawan seperjuangannya, yang lantas duduk enak di DPR-GR, dianggapnya mengingkari amanat perjuangan, Soe Hok-Gie mengingatkan. Ia mengirim gincu ke tiap-tiapnya. “..membuat diri kalian lebih menarik di mata penguasa dan rekan-rekan sejawat di DPR-GR..”, demikian kritiknya. Gincu sebagai simbol ketidakbecusan. Sebenarnya ini pun tidak sensitif-jender.

Itu tahun 1969. Terus terulang, lagi dan lagi, sampai tahun 2005, sekarang. Budaya tak-sensitif-jender ini mau dilanjutkan sampai kapan?

Aku mohon.. Seandainya harus berdemonstrasi, pakailah cara-cara yang baik. Dengan simbol-simbol yang baik. Jika niat dan caranya baik, insya Allah pintu langit akan terbuka untuk perjuangan kita.

Dan hormatilah wanita (*6). Mereka adalah ibu, kakak, adik, istri Anda. Hormatilah, seperti kami menghormati kalian juga, para pria!

Amin (*7).

Note:
*1: Maksud gw, tolong, thn ’98 siapa sih yang engga memuja mahasiswa demonstran?
*2: Jaman gw masih muda.. tapi sebenernya sih engga sering-sering juga..
*3: Nonton dr TV ato baca koran, gitu. Males nongkrongin demo ah. Panas :)
*4: Berita yang gw tonton minggu lalu ttg demonstrasi mahasiswa di suatu kota. Tapi cerita lama neh. Hampir basi. Rasanya gw dah sering bgt denger berita kek gini.
*5: Itu lho, yg ada di iklannya Kompas yg di TV itu. Soe Hok-Gie ambil bagian dlm gerakan mahasiswa melawan keotoriteran Soekarno. Ia memimpin senat mahasiswa UI, menulis di koran, dan merancang demonstrasi. Mati muda dalam pendakian Semeru, 1969. Heroic life and astonishing thoughts in between. Kisahnya bisa dibaca di “Catatan Harian Seorang Demonstran” (1983), ato “Soe Hok-Gie”-nya John Maxwell. Gw jg pgn nulis ttg dia kpn2.
*6: Bukti kalo gw bukan feminis: i said “wanita” instead of “perempuan”.. kekeke.. Feminis kan alergi bgt sm kata “wanita”.
*7: Akhirnya, gw dgn rendah hati mengakui bhw gw nulis ini dlm keadaan agak bete dan karenanya benih-benih “judgemental” gw mgkn tumbuh di mana-mana. Maaf. And may God forgive my sinful soul.

Thursday, June 09, 2005

Fajar

In the name of Allah, the Compassionate, the Merciful.

By the break of Day By the Nights twice five;
By the even and odd
And by the Night when it passeth away;-
Is there (not) in these an adjuration for those who understand?*

Aku menyaksikan fajar.
Awalnya langit sangat hitam, sangat pekat, seolah alam tidak sudi dikenali.
Lantas Fajar menggulung malam. Pendar-pendar jingga merembes menyalami cakrawala; seperti dari dasar bumi datangnya. Pelan-pelan mereka naik ke langit sebagai sebuah daya raksasa,- begitu megah dan indah. Aku mengerti mengapa banyak suku pada masa lalu memuja matahari sebagai dewa. Percintaannya dengan langit dan bumi adalah lukisan paling mempesona yang aku saksikan di kanvas semesta. Manusia tidak sanggup menciptanya, bahkan untuk sekadar merangkumnya dalam pesona yang sama. Fajar adalah hewan buruan yang tidak akan pernah bisa kau perangkap dengan kain dan cat warna; maka Maha Suci Tuhanku dan Maha Tinggi di Arsy-Nya.

Aku menyaksikan fajar, dan masa lalu datang menyerbu dalam setiap detak jantungku.
Seperti deja-vu. Sebuah fajar bertahun silam, ketika umurku masih belasan. Kami adalah anak-anak kota pantai.. mencintai debur ombak dan terbiasa memandang cakrawala.
Kami datang kepada laut untuk mengail ikannya; hanya segerombolan remaja yang ingin bermain-main belaka, pada suatu ketika. Lantas fajar datang kepada kami.

Itu fajar yang sangat indah. Sakral. Lelehan cahaya menggenang di permukaan laut dan melumuri kaki langit. Titik-titiknya bertebaran dalam kilauan yang ritmis, bagai berjuta peri kecil bersayap jingga menari di penjuru samudera dan udara, menyeru keagungan asma Sang Pencipta.
Aku adalah saksi, yang begitu dicintai-Nya sehingga diizinkan menatapi keajaiban ini.
Aku adalah hamba, tidak lebih dari titik kecil pigmen jingga yang menyusun warna sang surya.
Aku adalah pecinta, dan aku jatuh cinta kepada Semesta.


Image hosted by Photobucket.com


Hari ini rasa cinta itu diperbarui; semakin dalam dan semakin tinggi; kepada Tuhanku yang bertahta atas langit dan bumi. Allah Rabbul Izzati.
Maka tanganku menggerakkan pena, dan mataku menatap, dan jiwaku mencatat. Merasakan.
Kedamaian.

But ah! thou soul at peace!
Come back thou to thy Lord,- well pleased (thyself), and well-pleasing unto Him.
Enter thou, then, among My devotees!
Yea, enter thou My Heaven!**


* QS Al Fajr, 89:1-5, terjemahan oleh Yusuf Ali dan Pickthal.
** QS Al Fajr, 89:27-30, terjemahan oleh Yusuf Ali dan Pickthal.



Acknowledgements:
Thanx to S.B., yang rela menjemputku pagi-pagi buta demi fajar, dan duduk di sisiku dalam dingin beku.
Thanx to R.E., yang pernah ingin menatap fajar bersamaku.
Thanx to M.A., alasan semua ini mengada.
Dan segala puji bagi Allah, karena hatiku adalah milik-Nya.

Namaku Elok Fajarini. AKIRA.

Wednesday, June 01, 2005

In Love with Words


Pemusik membuat musik, Pelukis membuat lukisan, dan Penulis tentunya membuat buku. Lantas jika penulis tidak/belum membuat buku, tak layakkah dia disebut penulis?

Aku tertarik dengan definisi penulis dari Novita Estiti dalam bukunya, “Subject:Re”. Lewat tokohnya, Nina, yang sedang berbincang online dengan Yudha, Novita mengungkapkan ide yang kurang lebih begini:

“Aku belum menulis sebuah buku pun, tetapi aku selalu menganggap diriku penulis. Aneh ya?”

“Tidak. Karena penulis adalah orang yang mencintai kata-kata. Ini bukan tentang buku.”

Dengan sendirinya aku pro teori ini, karena kalau terbukti sahih, betapa akan mudahnya bagiku untuk mendapat predikat penulis. Tanpa perlu menelurkan buku, hanya dengan mencintai kata-kata.

Dan aku memang mencintai kata-kata. Aku sedang tergila-gila dengan puisi ini, misalnya:

She bewitched me
With such a sweet and genial charm,
I knew not when I wounded was,
And when I found it, hugged the harm.

Down hill; ah yes_ down hill, down hill I glide,
But such a hill!
One tapestried fall of meadow pride,
Of ladysmock and daffodil.

How soon, how soon adown a rocky stair,
And slips no longer smooth as they are sweet,
Shall I, with backward-streaming hair,
Outfly my bleeding feet?

<”She bewitched me..”, Thomas Burbidge, 1816-95>

Tapi mencintai kata-kata dan menghasilkan kata-kata adalah dua hal yang berbeda. Aku (pecinta kata-kata) dan Thomas Burbidge (penghasil kata-kata-yang-aku-cintai) tentu saja tidak bisa disejajarkan. Jika aku “penulis”, maka Mr. Burbidge “penulis yang derajatnya lebih tinggi”.

Adakah derajat kepenulisan? Apa parameternya_ , karya nyata? Apakah “penulis” yang membuat 1000 novel sampah picisan lebih hebat dibandingkan dia yang hanya menulis satu puisi indah saja? Atau, dibandingkan dia yang belum menulis apa-apa, tetapi mencintai satu puisi indah dengan sepenuh jiwa?

Hehehe.. bagusss.. aku malah merumitkan konsep sederhana Novita Estiti.

Derajat kepenulisan? Siapa yang peduli sih? Penulis sejati tentunya hanya ingin menumpahkan rasa cintanya kepada ide dan kata-kata, to hell with Nobel Sastra.

Aku mencoba begitu. Amin.

PS:
Kalo kutipan yang aku tulis di atas dicek di novelnya Estiti, yakin deh, engga mungkin persis sama. Bahkan (yg lebih parah ;p) mungkin ide tentang penulis sebagai pecinta dunia kata juga cuma interpretasiku sendiri atas naskah Estiti. Mohon dimaklumi, dan hidup dialektika! ;p