Wednesday, June 01, 2005

In Love with Words


Pemusik membuat musik, Pelukis membuat lukisan, dan Penulis tentunya membuat buku. Lantas jika penulis tidak/belum membuat buku, tak layakkah dia disebut penulis?

Aku tertarik dengan definisi penulis dari Novita Estiti dalam bukunya, “Subject:Re”. Lewat tokohnya, Nina, yang sedang berbincang online dengan Yudha, Novita mengungkapkan ide yang kurang lebih begini:

“Aku belum menulis sebuah buku pun, tetapi aku selalu menganggap diriku penulis. Aneh ya?”

“Tidak. Karena penulis adalah orang yang mencintai kata-kata. Ini bukan tentang buku.”

Dengan sendirinya aku pro teori ini, karena kalau terbukti sahih, betapa akan mudahnya bagiku untuk mendapat predikat penulis. Tanpa perlu menelurkan buku, hanya dengan mencintai kata-kata.

Dan aku memang mencintai kata-kata. Aku sedang tergila-gila dengan puisi ini, misalnya:

She bewitched me
With such a sweet and genial charm,
I knew not when I wounded was,
And when I found it, hugged the harm.

Down hill; ah yes_ down hill, down hill I glide,
But such a hill!
One tapestried fall of meadow pride,
Of ladysmock and daffodil.

How soon, how soon adown a rocky stair,
And slips no longer smooth as they are sweet,
Shall I, with backward-streaming hair,
Outfly my bleeding feet?

<”She bewitched me..”, Thomas Burbidge, 1816-95>

Tapi mencintai kata-kata dan menghasilkan kata-kata adalah dua hal yang berbeda. Aku (pecinta kata-kata) dan Thomas Burbidge (penghasil kata-kata-yang-aku-cintai) tentu saja tidak bisa disejajarkan. Jika aku “penulis”, maka Mr. Burbidge “penulis yang derajatnya lebih tinggi”.

Adakah derajat kepenulisan? Apa parameternya_ , karya nyata? Apakah “penulis” yang membuat 1000 novel sampah picisan lebih hebat dibandingkan dia yang hanya menulis satu puisi indah saja? Atau, dibandingkan dia yang belum menulis apa-apa, tetapi mencintai satu puisi indah dengan sepenuh jiwa?

Hehehe.. bagusss.. aku malah merumitkan konsep sederhana Novita Estiti.

Derajat kepenulisan? Siapa yang peduli sih? Penulis sejati tentunya hanya ingin menumpahkan rasa cintanya kepada ide dan kata-kata, to hell with Nobel Sastra.

Aku mencoba begitu. Amin.

PS:
Kalo kutipan yang aku tulis di atas dicek di novelnya Estiti, yakin deh, engga mungkin persis sama. Bahkan (yg lebih parah ;p) mungkin ide tentang penulis sebagai pecinta dunia kata juga cuma interpretasiku sendiri atas naskah Estiti. Mohon dimaklumi, dan hidup dialektika! ;p