VJ-VJ MTV
Aku dan Rini sedang menikmati brunch. Di layar TV, VJ Daniel dan VJ Evan ngoceh tidak jelas.“Garing! Cut the craps, you blockheads!”, lontarku bete. Rini nyengir.
“Mbak, menurutmu VJ-VJ MTV itu merasa punya beban moral engga ya?”
Pertanyaan Rini membuatku merenung sejenak. Bukan rahasia bahwa “generasi MTV” selalu dianggap ikon negatif dalam masyarakat, apalagi masyarakat yang masih (sedikit) menghargai budaya Timur. Panji-panji visi MTV yang sangat Amerika (hedonis-kapitalis-permisif-konsumtif) tetntunya dibawa juga oleh para VJ-nya. Mereka menjadi aktor yang mem-promote kemerosotan moral bangsa. Apakah mereka merasa punya beban moral? Apakah bagi mereka budaya MTV adalah kemerosotan moral?
“Kalo mereka engga sevisi sama MTV, engga mungkin dong mereka apply jadi VJ?”, jawabku. Rini mengiyakan.
Meskipun tentu saja tidak tertutup kemungkinan bahwa ada VJ yang masuk MTV dengan niat untuk ‘memperbaiki’ dari dalam. Aku teringat seorang cewe berjilbab yang nekat ikut VJ Hunt. Dia jadi bahan tertawaan di milis kaum urban.
“Cewe berjilbab, gitu loh! Masuk MTV? Get real!”
“Positive thinking aja, mungkin dia Islam moderat or something..”
“But still, ha-ha-ha-..”
Begitulah bunyi-bunyi komentar nyinyir mereka. Yah, mungkin memang ada hal-hal yang tidak bisa disatukan, seperti Islam dan MTV atau minyak dan air. (Wait! Minyak dan air bisa disatukan menggunakan emulsifier; aku belajar tentang ini di kampus!)
Seandainya emulsifier untuk Islam dan MTV telah ditemukan, tetap saja aku kuatir mbak-mbak berjilbab itu akan terlibat perang ideologi yang tidak seimbang. Dia sendiri melawan sebuah -isme global, seperti David melawan Goliath. Dalam cerita memang pada akhirnya David-lah yang berjaya, tetapi hidup tidak selalu seindah idealita.
Maka mungkin menyingkirkan cewe-cewe berjilbab (dan mungkin cowo-cowo berjanggut lebat?) dari MTV adalah sebuah kebijaksanaan.
Kembali ke pertanyaan Rini tentang beban moral para VJ MTV, aku mengajukan hipotesis sederhana.
“Menurutku, VJ-VJ itu sama kayak psikopat.”.
Psikopat tidak punya beban moral atas pembunuhan-pembunuhan sadisnya. Dia tidak merasa kalau itu salah. Dia hidup di luar nilai-nilai dan norma. Mungkin begitu pula VJ MTV. Mereka hidup di dunia di mana gaya mereka dianggap keren, mereka memulai tren. Kalaupun mereka mendengar komentar miring, paling-paling hanya dianggap ocehan iri terhadap posisi mahadewa ini. Apakah VJ Daniel akan peduli?
(Di layar TV, VJ Daniel masih ngoceh sambil menyibak rambutnya yang dicat pirang menyala.)
“Kalo gitu kenapa masih kita tonton?”
Well, that’s a good question. Kami mungkin judgmental, karena perspektif kami dibatasi nilai-nilai Islam yang kami percayai. Mungkin engga adil kalo aku langsung bikin dikotomi “MTV vs My World”, coz in fact such thing doesn’t exist (yet). Tapi setidaknya pasti ada juga nilai-nilai universal yang masuk ke daerah ‘irisan himpunan’ antara MTV dan Islam. Harus ada.
“Aku engga ngarepin VJ sok suci di MTV, Rin. Tapi mestinya mereka bisa cari yang kayak Jamie Aditya, kan?”.
Dan langsung dipotong gelombang protes dari Rini. Serumah sudah tau aku naksir Jamie. “Tendensius!”. Aku tertawa keras-keras.
Tapi, serius!, menurutku seharusnya MTV memang mencari mereka yang seperti Jamie. Yang benar-benar ‘think globally, act locally’. Yang tidak malu menyanyi jayus, “lirikan matamuuuuh.. menarik hatiiii..”
Tentu saja Jamie bukan orang suci. Tapi aku tidak keberatan menonton lebih banyak Jamie di MTV. Dan mengkompromikan dikotomi.(?)