"Memprovokasi"
Aku benci sekali pada provokator. Iago dalam “Othello”-nya Shakespeare. Stephen Norton dalam “Curtain”-nya Agatha Christie. “Entah Siapa” dalam kasus Bojong di dunia nyata. Banyak “Entah Siapa” dalam kasus-kasus lain (yang biasanya juga berdarah-darah). Provokator memanipulasi fakta dan bermain-main dengan emosi manusia.Aku benci sekali dengan provokator, makanya aku kaget waktu sadar bahwa aku sendiri sudah “memprovokasi”. Korbannya adalah Pak David, direktur program ADS (Australian Development Scholarships) yang mampir belajar bahasa Indonesia di Jogja. Institusi dia menyediakan beasiswa S-2 dan S-3 di Aussie, yang oleh banyak pihak sangat dinanti-nanti.
Dengan sengaja, di sela-sela kelas, aku mempengaruhi Pak David untuk merevisi sistem seleksi beasiswa ADS. ADS terkenal hanya menyambut para cumlaude-ers, tanpa banyak cing-cong pada kasta-kasta lainnya. Padahal apa sih tujuan beasiswa ini diberikan? Untuk semakin memintarkan satu orang, atau untuk membawa sebanyak-banyaknya kemajuan? Jika Pak David sendiri tidak dapat menyangkal bahwa “secara moral, tentu yang kedua”, kenapa tidak lebih melirik orang-orang yang punya visi dan sikap mental positif, meski mungkin prestasi akademiknya tidak semeriah kasta cumlaude-ers?
Betapa akan lebih berguna jika ADS membantu mereka yang siap untuk berkembang (punya potensi, minat, visi), namun secara ekonomi terhambat.
Aku kaget waktu Pak David menjawab lugas bahwa faktor ekonomi tidak pernah menjadi pertimbangan serius di ADS. Mungkin dia balik kaget waktu aku berkomentar lugas bahwa itu tidak masuk akal.
Anyway, pada kelas terakhir sebelum bapak funkee itu kembali ke Jakarta, ia berkata, “Sebaiknya kamu mendaftar beasiswa.”
“IPK saya engga 4, Pak.”, jawabku sambil tertawa.
(Aku berkeras bahwa yang aku lakukan adalah “provokasi” dan bukan provokasi, karena setidaknya aku tidak memutarbalikkan fakta dan tidak licik mendewakan kepentingan pribadi. Amin.)