Sunday, March 27, 2005

To Stand and Shout

Dia selalu merasa dirinya ada di puncak bukit. Orang2 terlalu kecil untuk terlihat. Dia terlalu kecil untuk dilihat.

Di puncak bukit, yang ada adalah angin dan langit. Luas tak berbatas.

Dan kesendirian.

Di puncak bukit, meski kita berteriak keras-keras, gemanya akan menerpa diri sendiri. Sekadar sebuah gangguan minor bagi sunyi. Di bawah sana, Kehidupan tidak peduli.

Karenanya berdiri dan berteriak di puncak bukit hanya menyisakan kesia-siaan. Ketika ada yang harus diteriakkan, semestinya dia turun dari bukit dan menghampiri dunia nyata. Berdiri dengan berani demi apa yang dianggap benar, dan berani pula berteriak agar didengar.

Karena bukankah itu tujuannya? Berteriak adalah agar didengar.

Dulu, lama sekali, dia bilang aku bodoh. Dia bilang aku tidak bisa menghargai langit.

Dia bilang, kadang2 berteriak adalah untuk berkomunikasi dengan diri sendiri, ketika nurani terlanjur tersumbat tuli. Berteriak adalah mencoba bicara pada hati. Dan ke puncak bukit dia sembunyi.

Hari ini, aku tahu aku bodoh.

Hari ini aku berdiri dan berteriak di puncak bukit. Agar hatiku jernih sadar, untuk terus meneriakkan yg benar.

Ketika (jika) aku turun nanti.

P.S.
Untuk berani mengambil sikap dan menafi kompromi, ternyata perlu energi aktivasi yang besar.
Semua orang tahu apa yg benar, tapi tak kunjung menemukan jalan untuk terus di jalur itu.
May God forgive my sinful soul..