It's Not Worth It
Suatu petang di Yasmin. Aku berceloteh riang, “Eh tau engga, kalo kalo kita disuit-suitin pas lagi jalan, itu termasuk pelecehan seksual loh. Bisa dibawa ke pengadilan.”“Tau.”, Ina mengangguk.
“Masa sih? Aku baru tau!”, Uchi antusias. Yang lainnya ikut mendengarkan.
Dan memang begitulah, sodara-sodara! Aku engga akan berpanjang-panjang menuliskan rujukan produk hukumnya. Yang jelas, asal bisa menghadirkan dua saksi, orang iseng yang bersiul menggoda kita pun bakal jadi terdakwa.
“Jadi, begitu disuitin, tengok kanan-kiri, cari dua orang lagi. ‘Pak, Bu, jadi saksi ya! You, lowly creature, you shall be in jail!’. Gitu.”, aku terus berceloteh.
“Tapi besoknya muncul di koran: ‘Pelecehan Seksual terhadap Mahasiswi oleh Tukang Bangunan’. Kesannya kan kayak apaan aja. Yang hancur nama baik kita, padahal cuma disuitin sedikit..”, potong Ina dengan cengir jailnya.
“Mana munculnya di koran sebangsa Merapi, lagi.. Hehehe..”, sambung seseorang.
“It’s not worth it.”, Ina menandaskan, sementara seisi Yasmin hiruk-pikuk tertawa-tawa.
Aku ikut tertawa, karena menurutku hal itu memang bakal jadi lucu. “Ternoda” karena disuitin. Tapi kalau Ina tau bahwa “it’s not worth it”, dan aku tau, dan Tukang Bangunan juga tau, lantas apa gunanya undang-undang indah yang niatnya untuk melindungi hak-hak perempuan itu? Tukang Bangunan akan terus menyuiti cewe-cewe manis, dan cewe-cewe manis akan terus diam. Again and again and again, seperti sudah mencapai kesetimbangan.
Oh, damn. If only it’s worth it..
(Maaf buat semua Tukang Bangunan untuk generalisasi yang sangat menghina ini. But you gave me reasons to.)