Hak untuk Tidak Membalas
“Yah_ , dia SMS terus sih, tapi engga aku balas. Bukannya engga sopan, memang aku lagi engga punya pulsa.”, jawabku waktu Rini dan Nisa (dua karib serumah) bertanya tentang salah satu perjodohan konyol yang melibatkan seorang mas-mas engineer.Rini dan Nisa riuh rendah menertawakan keproletaranku.
“Engga pa-pa, nanti paling-paling pulsanya diisiin..”, hibur Nisa. Mas-mas yang ini memang dari perusahaan OFS, jadi lumayan borju. Tapi ide Nisa bikin alisku naik satu senti.
“Aku engga mau pulsaku diisiin.”, ujarku.
“Lho kan enak, mbak. Lagian cuma 100 ribu, apa sih artinya buat dia?”, balas Rini.
“Tapi Rin, kalo kita dibeliin pulsa, kita jadi terikat sama dia.”
Menerima pulsa dari orang lain artinya kapanpun, di manapun, sedang apapun, dalam mood yang bagaimanapun, kita punya kewajiban moral untuk menjawab teleponnya dan membalas SMS-nya. Ini konsep yang tidak bisa aku terima. Aku punya hak untuk tidak membalas. Aku tidak mau kehilangan hak itu demi Rp seratus ribu.
Waktu De*a, temanku, menelepon dan protes keras tentang SMS-nya yang tidak aku balas, aku tertawa jail, “Sori De, lagi miskin pulsa.”
“Kuisiin ‘po?”, tanya De*a.
“Matur tengkyu, engga usah.”, (meski aku yakin dia engga punya ‘tendensi’ apapun).
“Kenapa? Ngga pa-pa kan?”
“Aku menikmati keproletaranku, kok. Beserta hak untuk tidak membalas.”
“Apa tuh?”, tanya dia, clueless.
Aku membiarkan dia tetap clueless. Nanti dia juga tau sendiri, menjadi proletar bukan berarti membiarkan diri kita terbeli. Hidup indepedensi! ^_^
PS:
Tapi engga punya pulsa itu engga enak ya.. Huhuhu..