Wednesday, September 21, 2005

We Were

(Dream a Little Dream, Pt.2)

Image hosted by Photobucket.com


Dulu kami adalah perempuan-perempuan muda yang sederhana dan bahagia. Tinggal bersama di sebuah rumah kontrakan bernama Pondok Yasmin. Hari-hari kuliah begitu riang dan saat-saat lain selalu damai dan nyaman. Kami saling mencintai, dan bersama kami bermimpi.

Impian-impian yang sederhana.
Sebuah butik, karena D—h suka berdandan dan memadu-padan.
Sebuah pabrik susu, karena U—i sangat menyukai susu dan ingin menghubungkannya dengan Teknik Kimia.
Sebuah toko souvenir, karena F— gemar membuat pernak-pernik mungil.
Sebuah toko kue untuk I—y yang hobi memasak.
Sebuah yayasan pendidikan, karena Pi—t suka anak-anak dan ingin menjadi guru.
Sebuah armada taksi bandara, karena di kota asal mbak E—y ada sebuah bandara yang besar dan maju.
Sebuah toko buku, karena itu memungkinkan aku membaca dan menulis sepanjang waktu.
Lalu untuk R—i yang suka bisnis dan negosiasi, kami memikirkan posisi Marketing atau PR.
Untuk N—a yang amat cantik dan manis sikapnya, Customer Service akan menjadi pekerjaan sempurna.

Semuanya dengan nama Yasmin. Yasmin Enterprise. Yasmin Boutique. Yasmin Bookstore and Library. Kami akan membuka cabang di kota-kota lain, dan ketika keuntungan sudah cukup membumbung, rumah kontrakan ini akan dibeli menjadi milik kami. Sehingga kami bisa bersama untuk seterusnya. Karena kami sangat bahagia, dan ingin menjaga perasaan ini selamanya. Tidak perlu piala Miss Universe atau kerajaan bisnis Donald Trump, yang kami inginkan hanyalah ini saja.

Impian-impian sederhana dari gadis-gadis sederhana.

Apa jadinya impian-impian itu sekarang?
D—h masih suka berdandan dan memadu-padan, tetapi kini ia bekerja di sebuah perusahaan alat-alat berat.
U—i sudah lulus dan merasa muak dengan Teknik Kimia.
F— sedang mencari dunianya sendiri.
I—y menjadi guru SD. Mungkin ia masih suka memasak.
Pi—t menikah dan punya anak.
Mbak E—y menghabiskan hari-harinya dengan bermacam analisa kimia di lab. Tanpa argometer.
Aku bekerja part-time dan tidak pernah punya cukup uang untuk membeli semua buku yang aku inginkan.
R—i tidak bisa menunggu sampai Yasmin Enterprise berdiri, dan aktif di sebuah LSM sebagai ganti.
N—a masih secantik dan semanis dulu; sibuk menolak para pria yang merubunginya.

Melihat kami yang sekarang, semua impian itu terasa bodoh dan sia-sia. Tidak masuk akal. Omong kosong belaka. Hanya sekumpulan perempuan muda yang mengangankan utopia; bentuk lain dari memimpikan datangnya pangeran berkuda putih dari balik cakrawala.

Tapi, saat itu-, saat itu kami sungguh-sungguh bahagia dengan segala impian bodoh itu.
Jika aku boleh mengatakan, kami jauh lebih bahagia daripada sekarang.

* suavis laborum est praeteritorum memoria *