Saturday, August 13, 2005

To Find the Bliss in Ignorance


Diskusi (atau apapun namanya) itu diakhiri dengan komentar Rini; -menggugat masyarakat yang terbuai ketaksadaran nasional. Aku yang lagi terburu-buru berujar ringan, “Ya engga pa-pa toh. Kan ada istilah ‘to find the bliss in ignorance’..”.

Yang kami bicarakan adalah penggunaan istilah ‘perempuan’ vs ‘wanita’ (*1). Tapi itu tidak penting.

Yang (buatku) lebih penting adalah ini: to find the bliss in ignorance. Berbahagia dalam ketidaktahuan.

Karena tidak tahu banyak tentang fisiologi pencernaan dan ilmu nutrisi, aku makan apa saja yang aku mau, dan aku bahagia. Sekarang setelah tahu, aku (harus) memilah-milah dulu, dan mengatur pola makanku (*2).


Image hosted by Photobucket.com

Tetap bahagia sih, tapi bertambah lagi yang harus dipikirkan. Bertambah pula kekhawatiran. Mungkin kadar kebahagiaanku berkurang.

Waktu masih kecil imut-imut, polos terhadap busuk dan carut-marutnya Indonesia, aku bisa bermain balon dengan bahagia. Murni bahagia. Sekarang? Tahu banyak justru membawaku kepada ketertundukan (*3).

Lantas seakan contoh-contoh ini belum cukup menjadi bukti, kehidupan menyajikan satu kasus lagi. Baru-baru ini.

Langit biru, angin bertiup damai, sinar mentari hangat membelai. Itu sebelum aku tahu. Kini, di tengah segala keelokan ini, di dalam hatiku menari-nari sebuah nyala Siwa: guilty conscience.

Karena sekarang aku tahu. Satu perbuatanku yang dimaksudkan untuk kebaikan justru berbalik menikam perasaan orang. Aku adalah pendosa (*3). Aku menjadi tidak bahagia.

Orang bilang ‘knowledge is power’.
Pengetahuan mendatangkan kuasa. Namun dalam ketidaktahuan, orang berbahagia.

Mana yang lebih esensial: kekuasaan atau kebahagiaan? Pengetahuan atau ketidaktahuan?

Semua orang di dunia ini tentunya ingin bahagia (*4). Hal-hal yang esensial selalu sangat sederhana!

Tetapi aku tidak menyesal bahwa sekarang aku tahu. Karena kebahagiaan sejati adalah kebahagiaan yang masih tetap di sana bahkan setelah kita tahu segalanya. Yang lain semu. Hari ini aku belajar hal itu.


Note:
*1: Aktivis pemberdayaan perempuan (notice: ‘perempuan’, bukan ‘wanita’!) selalu memakai kata ‘perempuan’ dan paling emoh dengan kata ‘wanita’. Rini berkeras bahwa ini bukan sekadar soal diksi.
*2: a.k.a Food Combining :)
*3: Ketertundukan dalam doa?, atau dalam keputusasaan?
Ah, itu pilihan!
*4:
I call sin all those deeds that make a fellow human being suffer.
*5: Yang lebih ingin kekuasaan, misalnya politisi busuk, mungkin tidak termasuk golongan ‘orang’ ya.. ;p