Wednesday, August 03, 2005

Aura Kaya

Aku ini proletar sejati (*1). Dari sumsum tulang sampai rongga jiwa. Aku makan di angkringan dan lebih suka jalan kaki di bawah terik matahari daripada buang uang untuk (bahkan) bis kota.

Tapi sekarang ini aku dan Tiessa sedang mencari cara untuk terlihat kaya. Jangan melecehkan ya! Ini topik serius, dan kami mendiskusikannya dengan cukup saintifik. Coba: sebenarnya bagaimana mekanismenya sehingga begitu kita melihat orang, kita bisa menggolongkan strata sosialnya. Yang ini kaya, yang itu sedangan, yang di sana miskin, yang itu muka kampung. Apa sih dasar klasifikasi ini? Mungkin jika formulanya telah didapat, aku dan Tiessa bisa juga berjalan dengan aura kaya memancar dari tubuh kami berdua. :)

Sekali lagi, ini topik serius, bahkan mungkin bisa diajukan sebagai judul skripsi anak-anak sosial. Karenanya diskusi ini pun meluas dan beberapa teman lain (*2) memperkaya pencapaian aku dan Tiessa.

Ada yang berteori bahwa aura kaya terbangun oleh lingkungan. Ini seperti sajak Jewel, “Maybe if i’m surrounded in beauty, someday i’ll become what i see..”. Orang yang sejak bayi keluar-masuk restoran mewah dan ke mana-mana diantar BMW tentu saja secara alami dari jarak 100 meter pun sudah menguarkan bau-bau orang borju. (*3)

Image hosted by Photobucket.com


Secara singkat inilah hasil diskusi kami:

Orang akan terlihat kaya jika (atau karena):

1. Berpakaian bagus
Makanya temanku selalu bilang, “Harga engga pernah bohong.”. Ternyata baju mahal memang kelihatan mahal. Aku yang modis (MOdal DISkon) ini pun terpaksa nyengir pahit.

2. Ada sesuatu yang berkilau
Perhiasan, aksesoris, apapun deh. Baik yang asli maupun palsu (toh orang awam tidak tahu bedanya).

3. Make-up
Kenapa tampang salon identik dengan kaya? Karena cuma orang yang kelebihan duit yang bisa sering-sering nyalon. Bahkan mereka yang pergi dengan alasan “kesehatan” (bukan “kecantikan”) pun setidaknya sudah tidak lagi memikirkan urusan perut atau uang sekolah anak-anak, sehingga bisa mengalihkan perhatian ke tingkat kebutuhan yang lebih tinggi. Gender bukan masalah. Aku kenal juga seorang cowo yang sempat-sempatnya ke salon untuk merawat wajah.

4. Tas dan sepatu
Total coordinate, sodara-sodara! Kalau kamu benar-benar kaya, urusannya tidak akan berhenti hanya di baju yang “kelihatan” mahal, tetapi juga barang-barang pelengkap seperti tas dan sepatu. Mix-n-match sampe mabok! Inilah perbedaannya dengan yang hanya pura-pura kaya.

5. Bahasa tubuh
Bahasa tubuh orang kaya berbunyi “I’m filthy-rich, i don’t give a d*mn about the world, i can buy YOU, move out of my way!”. Bahasa tubuh orang miskin berbunyi “Oh, i can’t afford any of these, and everyone seems so rich, i’ll be in a trouble, i don’t belong here!”.

Ini poin terpenting dari semuanya. Di sebuah kafe, kami sempat mendapati seorang cewe yang penampilannya seperti bangun tidur, tapi sekali pandang saja kita tahu dia borju. Ini karena dia kelihatan terbiasa menyuruh-nyuruh orang dengan penuh kuasa.

Image hosted by Photobucket.com


Dengan semua poin ini, di mana posisiku? Aku tidak punya baju mahal, tidak punya perhiasan, tidak suka make-up, bersepatu dan tas kumuh, dan secara umum bersikap miskin. Nil out of five. Skor sempurna. Sambil tertawa aku menerima bahwa proletar sejati mungkin tidak ditakdirkan beraura kaya.

Sampai di sini mungkin ada yang bertanya-tanya: Memang apa pentingnya punya aura kaya?

PENTING! Tiessa punya pengalaman buruk di sebuah toko. Pramuniaga di situ dengan baik hati menyarankannya melihat-lihat ke bagian lain yang lebih murah, “Cuma 14 ribuan kok, mbak..”.

Tiessa was utterly cross, i’m telling you. “Apa aku kelihatan kayak orang yang cuma kuat beli barang 14 ribuan? Apa segitu hargaku di mata dia?”. Tapi dia urung mengata-katai pramuniaga itu, karena kuatir dia sendirilah yang memberi alasan untuk penilaian macam itu.
Karena dia tidak kelihatan kaya.

Oh-ya-tentu-saja, secara PPKn situasi di atas harus diterima dengan lapang dada, dan usaha supaya terlihat kaya sama sekali absurd. Tapi lain kali alamilah sendiri sebelum berani-berani menghujat Tiessa (dan menghujatku juga, hehehe..).

Kemudian tiba-tiba aku terpikir bahwa dorongan “supaya kelihatan kaya” macam itulah yang membuat istri-istri pejabat membiarkan (jika tidak membujuk) suaminya korupsi. Oh, shame..! (*4)


Note:
*1: Proletar = oposit borjuis
Tentang ini, aku ingat bagaimana Whisnu bilang aku seharusnya malu menyebut diri proletar, dengan segala konsumerisme hedonistik-ku. Tapi aku berkeras. I worked my butt off for every single penny i spent, quite unlike any spoiled kids relying merely on their parents’ monthly allowance to waste for fun. Jadi aku ini proletar kelas pekerja. Titik.
*2: Give the credits to Pristi, Rini, Adi, and G.T.
*3: Tidak genetis, tetapi tidak bisa instan. Belakangan aku banyak menyambangi resto dan kafe, tapi tetap saja mu-kam (muka kampung).
*4: But i now u wouldn’t go that far, Tiesz. You, who lives by the rule.. ;p

Image hosted by Photobucket.com


Readers, if u find Tiessa and me undoubtedly silly for even thinking about how to look rich, then i congratulate u. This was actuallly written as a kinda “moral boost”: have a good laugh, but then ponder, will u?