Tuesday, August 16, 2005

Satu Tujuh Nol Delapan

I.
Mari kita pikirkan ekivalensi ekonomi dari 1400 rupiah:
Sebuah buku tulis 40 lembar.
Sebotol pepsi-twist 300 ml.
Tiga potong pepaya di warung EMB (tapi masih utang Rp 100).
Sewa 2 buku komik Elex Media Komputindo.
Enam potong gorengan yang segera habis disantap sambil menonton gosip selebriti.

Teman saya Uchi berkisah: di tempatnya Rp 1400 punya arti berbeda.
Bapak X yang baik hati dan sederhana, penghasilannya didapat dari menjual pemarut kelapa (aneh rasanya mendengar kata itu di jaman santan instan Kara).
Ini pekerjaan yang keras dan berbahaya, berurusan dengan logam dan godam dan alat pemotong yang sangat tajam.
Dalam sehari bapak ini bisa membuat tujuh pemarut kelapa. Masing-masing lantas dijual dengan keuntungan Rp 200.

Dan itulah: sungguh-sungguh ada tempat, masa, dan struktur sosial, di sini di depan mata kita, yang membuat Rp 1400 ekivalen dengan sehari kehidupan sebuah keluarga.
Bisa membayangkannya? Saya tidak.

Lupakan seorang Agnes Monica yang menghabiskan (kabarnya) Rp 2 miliar untuk pesta sweet seventeen-nya.
Mari kita pikirkan kisaran pemasukan dan pengeluaran yang lekat dalam kehidupan kita:
Gaji seorang teman saya di oil company Rp 8 JT sebulan.
Voucher prabayar kurang lebih Rp 100.000
Uang kos sebulan Rp 150.000
Gaji saya mengajar privat sejam Rp 10.000
Pizza delivery (medium size) Rp 50.000
Pada malam ketika kita bokek, satu porsi tempe penyet Rp 1500

There. Dengan Rp 1400 sehari, how could we survive?

Tetapi ini bukan tentang nominalnya, bukan tentang ‘benar-salah’ posisi kita. Baik bapak X maupun Si 8 JT sama-sama bekerja keras dan berusaha. Dalam dunia kapitalis ini, ada yang bisa merebut banyak peluang, dan ada yang hanya punya satu jalan. Bapak X termasuk yang belakangan.

Education, my friend, education. Kisahnya akan berbeda jika bapak X mempunyai bekal pendidikan. Mungkin di desanya sudah berdiri pabrik pemarut kelapa. Atau bahkan beliau menempuh jalan yang sama sekali berbeda, menjadi bankir misalnya. Dengan pengetahuan dan kreativitas, keluarganya akan lepas dari jerat budaya kemiskinan turun-temurun. Tetapi kita temui pendidikan telah menjadi ajang komersialisasi, -bagaimana bapak X dengan 1400 sehari akan pernah bisa membeli?

Untuk mewujudkan masyarakat (Indonesia) yang adil makmur, bangsa ini diproklamasikan sebagai bangsa merdeka, dan negara ini didirikan. Bangsa yang merdeka, seharusnya kumpulan individu yang merdeka.
Merdeka dari rasa lapar, rasa takut, kebodohan.

(Yah, mudah-mudahan lain kali ketika kita hendak dengan mudahnya meloloskan Rp 1400 ~atau lebih~ untuk hal-hal yang kontraproduktif, kita ingat kisah bapak X ini dan memikir ulang belanja kita. Sebab selamanya konsumerisme memacu kebobrokan bangsa. Terutama bangsa yang terlanjur banyak utang.)


II.
Sekarang tentang cinta.

Pernah saya tanya beberapa teman, “Cinta engga sih sama Indonesia?”.
Hampir semuanya terdiam sejenak, sebelum lantas merespon beraneka. Dalam diam yang sejenak itu, mungkin mereka berpikir tentang carut-marut sistem politik, kekacauan ekonomi, belitan birokrasi, dan korupsi yang melembaga. Mungkin juga tentang aksi terorisme dan harga diri bangsa yang kini tinggal sisa-sisa.

Kadang saya ganti pertanyaannya:
If you had a chance to leave this country for good, would you?
Well, meski muak dengan borok-borok bangsa ini, ternyata mereka tidak bersedia pergi.

Saya lantas teringat Pramoedya Ananta Toer, yang menolak menerima penghargaan sastra di luar negeri karena khawatir Negara tidak mengizinkannya pulang kembali.
Seperti Milan Kundera yang terbuang dari negerinya. Siapa yang bisa bilang Kundera tidak mencintai Ceko? Hanya saja, kadang cinta bertepuk sebelah tangan. Negara tidak suka jika kita berdiri di jalur yang berseberangan.

“Benar, konstitusi menjamin kebebasan berbicara; tapi hukum akan menghukum tindakan apa pun yang bisa ditafsirkan sebagai melecehkan negara. Siapa yang bisa mengatakan kapan negara bisa mulai berteriak bahwa kata ini atau kata itu melecehkannya?”, ungkap Kundera lewat mulut Mirek (The Book of Laughter and Forgetting). Ini berlaku umum di mana saja, sepanjang ingatan umat manusia. Maka karya-karya Pramoedya pernah dilarang terbit, dan Kundera dicabut kewarganegaraannya.

Hari ini tanggal 17 Agustus. Kita mendengar “kemerdekaan” di mana-mana diserukan.”Semangat patriotisme” menjadi jargon dan dielu-elukan.Tetapi: cintakah kita kepada Indonesia, dan bila iya, dengan cara apakah kita telah menunjukkannya?

Saya berpikir dengan ngeri, bahwa mungkin mereka yang paling dibenci Negara adalah sekaligus mereka yang paling tulus mencintai.


III.
God, bless the world and all that is therein.


(Ditulis dua tahun lalu di Jogja. Setelah segalanya, ternyata harapan dan doa saya masih sama.)