I Love You, Mum..
Satu fakta yang mengerikan (buatku): rasanya seumur hidup ini aku belum pernah bilang “I love you, Mum.. ” tepat di hadapan wajah mulia ibuku.Ibu –aku memanggilnya Mama- adalah manusia yang paling aku sayangi di dunia, dan pun sekali saja belum pernah aku mengatakannya. *sigh* Aku pasti punya masalah dalam mengekspresikan cinta.
Fakta mengerikan ini mulai mencuat kala aku memperhatikan Andrew dan Diana, pasangan WNA yang menjadi klien tempat kerjaku. Mereka begitu penuh cinta. Bergandengan tangan, saling memeluk, saling menatap dengan mesra. Tampaknya bagi mereka menunjukkan rasa cinta –juga di depan umum- adalah hal yang sangat biasa, bahkan alami. Karenanya, kami yang melihat pun tidak merasa risih dengan pameran kasih-sayang itu. Kami bahkan menyukainya (mungkin sambil sedikit menahan rasa iri, ha-ha..).
Kenapa kebiasaan untuk mengekspresikan cinta secara terbuka ini menjadi semacam privilege orang-orang asing? Aku saja –yang biasanya cukup ekspresif- tidak fasih mengungkapkan cintaku pada orang-orang terdekat, apalagi mereka yang lebih introvert? Ketika membicarakan hal ini dengan Pristi, kami setuju bahwa sampai suatu poin (*1) mengekspresikan cinta secara terbuka adalah tindakan yang sangat sehat dan perlu. Jika demikian, kenapa tidak populer? Dalam pencarian ini, kami menabrak satu tembok klise: konstruksi sosial.
Mengekspresikan cinta secara terbuka bukanlah budaya Indonesia. Lebih khusus lagi, bukan budaya Jawa. Aku tidak berkesempatan mengalami hari-hari di mana adat begitu ketat (thank goodness!), namun beginilah Kartini menggambarkannya:
“Oh Stella, how i laughed when i read your question:’ Would your parents disapprove if you should embrace them warmly without their permission?’. Why, i have yet to give my parents, or my brothers and sisters, their first kiss! Kissing is not customary among the Javanese. Only children from one to three, four, five, or six years of age are kissed. We never kissed one another. You were astonished at that! But it’s true. “ (*2)
Sampai sekarang, ciuman sayang, kata-kata penuh kasih, dan ungkapan lugas bermakna “I love you” masih asing dalam kehidupan rata-rata keluarga di Indonesia. Jika kemudian hal ini diterapkan, maka (mungkin) artinya kita mengadopsi budaya asing, budayanya Stella Zeehandelaar.
Namun jika tidak, kita membuka kesempatan untuk terjadinya suatu petaka, bahwa cinta dianggap telah terejawantah hanya dengan limpahan materi semata. Tanpa hubungan, tanpa kedekatan, tanpa kepedulian yang nyata. Bahwa keluarga hanya sekadar ikatan di atas akta, yang mengatur siapa harus menghidupi siapa.
Aku pikir, aku akan mengikuti jalur yang ditunjukkan Andrew dan Diana. Cinta haruslah diekspresikan. Biar saja kalau itu dianggap tidak membumi di Indonesia; aku lebih menuruti kata hati. Aku ini sungguh-sungguh mencintai keluargaku, dan aku ingin mereka tahu.
I love you, Mum. I love you, i love you, i love you.
I love you, Dad.
I love you, mas Sandhy.
I love you, mas Titis.
I love you, Ade.
Kali ini pasti akan aku katakan. Dengan jelas, dengan riang. Khususnya pada Mama; betapa besar aku mencintainya. So just wait, Mum.. ^_^
Note:
(*1) Tentu saja ada batasan etika untuk unjuk cinta di depan umum
(*2) Surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar, tertanggal 6 November 1899. Aslinya ditulis dalam bahasa Belanda.