Thursday, September 15, 2005

Hamish

(Dream a Little Dream, Pt.1)


Hamish seorang jurnalis. Akhir tahun ini dia akan memulai posnya di Kuala Lumpur, di bawah bendera sebuah jaringan stasiun berita internasional ternama.



Image hosted by Photobucket.com

Pada suatu siang yang aneh, dalam situasi di luar rencana, dia bertanya kepadaku tentang rencanaku dalam hidup. Aku: mahasiswa Teknik Kimia tahun kesekian yang belum lulus-lulus juga, malas menulis skripsi, dan sibuk bekerja part-time demi membiayai hidup yang sederhana.

“Would you like to go overseas?”, he asked.
“Sure. I’d love traveling the world.”
“As a chemical engineer?”
“Not necessarily. To tell the truth, i hate chemical engineering. Oh well, not really, but at least sometimes i feel that way.”
“But then, why did you study Chemical Engineering in the first place?”

And so the story went.

Hamish tidak mengerti bahwa pilihan jurusan bukanlah apa-apa dalam hidup seorang pelajar di Indonesia. Aku akan mempersalahkan sistem pendidikan, -dan mempertanyakan budaya- , sebagai akar masalahnya. Sampai akhir masa SMU, kebanyakan pelajar belum mengenal dunia dan belum punya bayangan tentang Hidup yang sesungguhnya. Mereka dicekoki dalam sistem pendidikan yang mementingkan angka di atas segalanya, yang memuja sektor formal, yang menganggap “dokter” dan “insinyur” adalah cita-cita yang “harus dan seharusnya”. Bahwa kalau nilai IPA-mu bagus, tidak ada alasan untuk belajar sastra.

Tahu-tahu kita sudah tercebur dalam dunia yang dirancang orangtua kita. Rancangan yang disesuaikan untuk memuaskan pandangan masyarakat. Pandangan yang berdasarkan konstruksi budaya. Budaya yang –entah bagaimana- meski kerdil namun tetap dipelihara.

Tahu-tahu kita besar tanpa mempunyai mimpi pribadi. Apa yang kita sukai hanya berhenti pada taraf hobi, tanpa sempat tumbuh menjadi sesuatu yang sungguh-sungguh diperjuangkan. Lihat aku: cinta sejatiku adalah menulis. Mimpiku menjadi penulis, jurnalis, atau apapun yang mengizinkanku menorehkan kata-kata. Toh kini aku (masih) belajar Teknik Kimia.

Maka pertentangan merambat ke permukaan. Idealisme versus pragmatisme. Impian versus kenyataan. Apa yang diinginkan dan apa yang tersedia.

Maka kompromi adalah jalan tengahnya. Sampai suatu ketika, impian pun tergerus dan menjadi hampa.

Dalam hidup rata-rata pemuda Indonesia, selalu ada suatu masa ketika mereka merasa ragu dengan dunia dan masa depan mereka. Ketika mimpi yang tinggal sisa-sisa itu mencoba menyeruak ke alam kesadaran dan menuntut si pemilik-hidup untuk membuat keputusan.
Akankah impian direlakan, atau akankah ada cukup keberanian untuk menyeberang jalan.

Aku bertanya kepada Hamish siang itu, kepada rambutnya yang pirang dan matanya yang biru.

“Have you ever had doubts about your path in life? Your job, your plans? Like, a feeling that you don’t belong there..”.

Dia menatapku sekilas. Diam sejenak.
“As long as i recall, i never wanted to be anything else but a journalist.”.

Dia menoleh untuk menatapku lagi, dan tersenyum.
“I love my job. I enjoy it. I really love it.”.

Di sanalah ia, Hamish sang jurnalis, duduk di sampingku. Pria yang sedang dan selalu menjalani mimpinya. Wajahnya bercahaya. Pasti efek sinar matahari, pikirku sambil berucap kepadanya, “That’s cool.”. Tetapi mungkin ia tidak mendengar bisik lemah itu. Karena aku terlalu sedih. Terlalu terluka. Terlalu iri.


Bahwa segala sesuatu terjadi karena sebuah Alasan, aku percaya. Semesta membawa Hamish kepadaku saat itu, dan membuat kami berbincang tentang mimpi. Ada sebuah Alasan di balik ini. Mungkin untuk membuatku mengingat lagi hal-hal yang esensial. Bahwa seperti Hamish, mimpiku belum habis.

Sekarang? Sekarang Hamish telah kembali ke negaranya, melanjutkan hidup dan mimpinya. Orang datang dan pergi; bisa jadi aku tidak akan pernah melihatnya lagi. Kecuali mungkin di masa depan, di layar televisi, ketika ia berkata, “This is Hamish M--------, reporting for World News..”.

Dan aku akan tersenyum kala itu, karena aku pun akan sedang menggenggam mimpi kecilku.
If God permits.

* sors et sua cuique ferenda *