Tuesday, October 25, 2005

Putih

Nggak mudah lho untuk jadi putih.

Di Yasmin, kami memelihara beberapa pasang sandal yang kami namakan “sandal kamar mandi”. Itu sandal jepit setia yang tahun demi tahun berevolusi warnanya; kini sudah mencapai stadium kehitam-hitaman. Atas pertimbangan ekonomi, daripada membeli yang baru, kami putuskan untuk memutihkannya saja.

Kerja keras tanpa ujung pun dimulai. Metode pertama yang dicicipi para sandal jepit malang itu adalah sikat dan detergen; tanpa hasil. Berikutnya mereka menjalani perendaman dengan Bayclin selama 30 jam; tanpa hasil. Kepalang basah (nggak rela beli yang baru setelah terlanjur bersusah-susah), sandal-sandal tua dan buluk itu kami benamkan dalam larutan air kaporit konsentrasi tinggi. Tidak tanggung-tanggung: 5 hari!

Hasilnya sepadan, sih. Sandal-sandal kami kini bebas-kuman dan bersinar putih. Tapi itulah: ternyata untuk menjadi putih itu tidak mudah. Perlu usaha keras, makan waktu, dan butuh tekad yang sangat kuat.

Beralih ke usaha memutihkan sesuatu yang derajat sosialnya lebih tinggi daripada sandal jepit: wajah. Lupakan dulu polemik tentang Mitos Kecantikan ya; saya tahu “putih” tidak seharusnya identik dengan “cantik”. Tetapi tatkala seseorang memutuskan ingin berwajah lebih putih, kita harus menghormati pilihannya kan.

Dan bagaimana metode untuk memutihkan wajah? Masker Bengkoang, satu tube sekitar Rp 25 ribu. Moisturizer yang mengandung whitening agent dari merek ternama, satu pot sekitar Rp 70 ribu. Rangkaian produk perawatan wajah lainnya: Facial Foam, Foundation, Two-Way Cake, Milk Cleanser, Toner, Relaxing Cream, Skin Nutrient, Sunblock, dsb, semua dengan embel-embel “whitening”, kalau ditotal bisa sampai ratusan ribu. Itu belum disertai perawatan rutin di salon lho. Facial, lulur, mandi susu, dan (mungkin) spa. Ini ratusan ribu juga.

Lebih mahal usaha memutihkan wajah daripada memutihkan sandal ya. Tapi ada yang sama: perlu usaha keras, makan waktu, dan butuh tekad yang sangat kuat.

Masih soal putih-memutihkan. Hari-hari ini, dunia kita sedang dipenuhi ajakan untuk memutihkan sesuatu yang derajat moralnya lebih tinggi daripada wajah: hati.

Pada hari Idul Fitri kita akan kembali suci, katanya. Putih tak ternoda dosa-dosa. Segala kesalahan dilebur dan dimaafkan. Makanya kita menanti-nanti hari itu dengan antusias; karena “putih” adalah status idaman setiap orang, baik untuk sandal jepit, wajah, maupun hati.

Tetapi semestinya kita belajar dari kasus memutihkan sandal jepit dan wajah tadi kan? Bahwa itu tidak bisa instan. Bahwa ada harga yang harus dibayar. Bahwa itu perlu usaha, makan waktu, dan butuh tekad yang sangat kuat.

Aku menertawakan orang-orang yang tanpa usaha apapun take it for granted bahwa dia akan kembali fitri pada Idul Fitri. Ke laut aja! Kalau puasa masih bolong-bolong, ketinggalan shalat karena keasikan belanja, tilawah sedikit pun nggak pernah, masih enggan infak dan sedekah, kok bisa-bisanya berharap hati berhasil diputihkan? Ini sih sandal jepit yang direndam air kran.

Ramadhan adalah deterjen dan kaporit dan masker bengkoang dan apapun-itu. Pertama-tama harus ada kesadaran, kemauan, dan tekad untuk menjadi lebih baik. Menjadi putih. Tanpa itu, kaporit berikut sandal jepitnya akan terlantar selamanya. Hitam.

Kalau malas memutihkan? Sandal jepit baru bisa dibeli, wajah bisa dioperasi plastik seperti Jacko. Hati? Mungkin ada juga yang jual. Di pasar gelap. Milik orang yang sudah mati. Tapi belum tentu putih lho. Hehehe..

******* fin

Saya ber-husnudzan bahwa gegap-gempita menyambut Idul Fitri adalah karena orang antusias untuk kembali ke status fitri. Tapi, selalu ada kemungkinan bahwa semua ini hanya soal perayaan. Orang ingin merayakan sesuatu, apapun itu. Ingin pesta, ingin belanja. Aduh, dangkal ya.

At any rate, i’m wishing u all a blessed and glorious Eid-ul-Fithr, fellaz. All in white. :-)