The Future is Overrated*
Aku ingat Andrew dan aku jadi malu sekali.
Kami berdebat tentang masa depan Indonesia. Tentang korupsi yang membudaya. Aku tahu, tidak banyak yang bisa dibanggakan dari mentalitas umum negeri kita, tetapi harga diriku juga tidak mengizinkan orang asing dengan enaknya menghina-hina.
Masih ada harapan. Selalu. Aku bilang begitu.
Andrew memamerkan wajah skeptisnya. “Budaya KKN di Indonesia tidak mungkin dihentikan dan sangat sulit dikurangi.”, tegasnya.
“Pesimis sekali ya?”, balasku.
“Bukan pesimis, tapi realistis.”
Masih ada harapan. Selalu. Maka aku ceritakan kepadanya realita yang aku kenal: teman-temanku yang shalih dan shalihah, yang idealismenya tinggi, yang tidak keberatan bersusah-susah berusaha membangun dan memberdayakan bangsanya. Teman-temanku aktivis muda di berbagai bidang, yang sedang –dan terus-menerus- berjuang.
Nanti ketika tongkat kepemimpinan Indonesia ada di tangan mereka, kita bisa percaya bahwa negara dikelola dengan bermartabat. Saat itu kita lihat, benarkah KKN tidak sanggup dibabat.
Andrew nyengir.
Katanya, tunggu sampai mereka terjun ke dunia yang sesungguhnya; ketika tidak lagi bisa bermanja pada jadwal akademik dan kiriman uang orangtua. Saat itu kita lihat, benarkah idealisme mereka hebat.
Ini menyebalkan.
Ini menyebalkan, bahwa mungkin Andrew benar.
Seorang temanku -yang aku anggap baik- menerima uang bulanan dari ayahnya, hanya kali ini karena kesalahan bank debitnya tercatat dua kali. Tanpa memastikan berapa sebenarnya yang dikirimkan, ia melonjak gembira melihat uangnya bertambah dua kali lipat dari biasa. Ia menghabiskannya berfoya-foya. Ketika bank menyadari kesalahan ini dan meminta uang itu kembali, temanku tidak terima. Menurutnya bank yang salah, dan karenanya bank juga yang harus menanggungnya. Daripada mengganti uang itu, ia memilih memasrahkan rekeningnya dalam kondisi saldo minus, dan membuka rekening baru di bank lain.
Dia (mungkin) lupa bahwa ketika menandatangani perjanjian pembukaan rekening, telah tercantum klausul bahwa meskipun banklah yang melakukan kesalahan transfer, pemilik rekening tetap harus mengembalikan uang yang bukan haknya itu. Ini hukum, dan dia telah setuju. Lagipula, bukankah benar-benar dia sendiri yang memakai uang itu? Aku tidak mengerti. Orang intelek, tahu agama, tahu moral; tidak seharusnya dia lari.
Temanku yang lain: anak baik, aktivis organisasi rohani, dari luar kelihatan seperti orang suci. Dengan enaknya dia menyarankan “jalan belakang” (yaitu dengan menyogok porter) ketika ada yang kuatir kelebihan bagasi di bandara. Si Orang Suci tidak sedang bercanda. Dia tahu pasti bahwa maskapai penerbangan punya aturan, dan dia menganggap wajar untuk melanggarnya.
Aku jadi ingat Andrew dan aku malu sekali.
Masih ada harapan? Mungkin. Tapi sepertinya oleh para optimis masa depan Indonesia terlalu dibesar-besarkan. The future is overrated.
*Judul lagu dari Arkarna dalam albumnya “Fresh Meat”