Aku Nggak Iri sama Orang Cantik
N--- cantik sekali. Penggemarnya menyemut mengerubungi dia setiap hari. Fan Club-nya mungkin sudah ada –dan kehabisan kartu anggota.Kami berteman. Dia bercerita: tidak banyak sesama cewek yang suka-rela berteman dengan dia. Dia mengeluh: beberapa cewek bahkan memusuhinya.
Bisa dimengerti. Semanis apapun sifatnya, berteman dengan cewek cantik memang lebih sering bawa penyakit. Bayangkan jalinan yang susah-payah dibangun dengan cowok idaman berantakan gara-gara sang pangeran jatuh cinta pada pandangan pertama –dan lantas beralih hati- pada si cantik yang barusan kita kenalkan sebagai “teman”. Salah siapa? Kalau menurutku, salah kita yang naksir cowok dangkal. Nggak berharga.
Dan itulah kenapa aku nggak iri sama orang cantik. Justru mereka kasihan sekali. 99% dari para penggemar yang berkerumun itu cuma melihat fisik. Apa yang ada di hati kita, di otak kita, di mimpi kita, sekadar pelengkap penggembira. Menjijikkan. Dikerumuni serangga-serangga seperti itu, diganggu sepanjang hari (telepon, sms, tamu), dipandang hanya sebagai komoditi. Meladeni cowok-cowok dangkal itu cuma buang-buang waktu kan? Tapi toh ada standar kesopanan yang harus dipenuhi. Tamu yang datang harus setidaknya ditemui. Bayangkan betapa jadwalku bakal terganggu, dan betapa ritme hidupku akan diatur faktor luar, jika aku cantik.
Tentu saja aku pernah ingin cantik. Bagaimanapun juga ini dunia yang memuja segala yang memanjakan mata. Jika kamu cantik, kamu diberkahi dengan beberapa hak istimewa. Tapi sudah sejak lama aku berubah pikiran* (entah karena semakin dewasa, atau karena sadar bahwa usahaku sia-sia belaka, ha-ha!). Karena Tuhan memang Maha Adil; bersama fasilitas yang menyertai kecantikan, diturunkan pula satu-dua “kutukan”. Untuk apa digemari karena cantik, tapi hanya dicintai sebatas kulit? No, Miss, i don't envy you.
*daripada jadi cantik, aku lebih ingin hati yang murni