Disillusionment
Aug 21, 03“Menangislah dengan keras, agar bisa tertawa esok pagi.”, kata D.
Aku hanya mencebil kesal. Tetapi benar, itu yang ingin aku dengar. Karena yang aku perlukan adalah memang menangis dengan keras.
Kini aku melihat siapa yang peduli kepadaku, siapa yang ada untuk menadahi air mataku.
Sky tidak ada.
Dia hanyalah ikon di langit. Dia tidak menemaniku saat aku butuh, atau mengumpulkan serpihanku saat aku luruh.
***
Itu ditulis tiga tahun yang lalu.
Waktu membacanya, yang muncul di benakku adalah satu kata: disillusionment. Kita manusia selalu-selalu-selalu hanya melihat yang ingin kita lihat. Terlalu kecil dan bodoh untuk merengkuh kesejatian segala sesuatu. Langit itu tidak selamanya biru. Waktu akhirnya kita tahu, kita terluka. Kecewa.
Tidak apa-apa, karena kekecewaan adalah pil pahit untuk bangkit. Mungkin seluruh dunia ini sekadar ilusi, tapi setidaknya jangan terperangkap ilusi yang kita ciptakan sendiri. “Boleh jadi engkau membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi engkau menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu*”.
Dengan kata lain, sudah tahu bodoh maka jangan sok tahu. Kebenaran tertinggi terletak pada Rabbul Izzati.
***
Yang tadi itu kalau mencoba mencari hikmah tingkat tinggi.
Kalau sekadar membaca “Kini aku melihat siapa yang peduli padaku, siapa yang ada untuk menadahi air mataku.”, aku tergelitik satu pesan moral lagi: hubungan jarak jauh biasanya cuma ilusi. Kadang-kadang ada yang berhasil bertahan, tetapi akuilah: ada saat-saat di mana “kehadiran” tidaklah tergantikan.
Tidak perlu sok romantis kan? If you can’t be with the ones you love, love the ones you’re with. Hidup ini masih indah.
*QS 2: 216
(To Djoq, who remains a dear friend.)