Monday, March 27, 2006

Sukses

(Macam-Macam Gagasan Orang)

Manusia saling mendoakan kesuksesan satu sama lain, betapa indah! Saat ulang tahun kita biasa menerima segepok ucapan selamat-semoga-sukses-dll. Saking klisenya kita tidak lagi berpikir apa “sukses” itu sebenarnya.

Apa coba?

Dalam salah satu kuliah umum, si pembicara menjlentrehkan serangkaian gambaran kesuksesan –hasil suveinya terhadap sekumpulan orang- seperti ini:
1. Bekerja di perusahaan multinasional
2. Menjadi manajer di perusahaan besar
3. Bekerja di perusahaan swasta
4. Menjadi PNS
5. Wirausaha

Sejujurnya poin 4 dan 5 agak meragukan, tetapi yang ingin dia tekankan adalah bagaimana orang melihat kesuksesan identik dengan uang. Dia ingin mengubah itu. Dia berkeras bahwa ini bukan dunia material semata. Tetapi kalau bukan tentang uang lalu apa?

Temanku –orang Selandia Baru- dua tahun berkarir di firma hukum besar di Auckland. Pada suatu pesta untuk melepas pengacara senior yang akan pensiun, sambil mabuk si pengacara yang dimaksud berpidato: “Aku menyia-nyiakan tiga puluh lima tahun hidupku. Aku manusia gagal.”. Meskipun ‘sukses’, istrinya meninggalkannya, dia tidak kenal anak-anaknya. Temanku tidak mau membuang tiga puluh lima tahun untuk menapaktilasi kisah yang sama. Dia keluar dan mencari pekerjaan yang lebih “bermakna”.

Aku pikir kita bisa belajar dari situ: bahwa ada hal-hal yang lebih penting daripada emas berlian, atau karir, atau nama besar. Mendengar ini, temanku W –orang Indonesia- berkomentar, “Wah, aku nggak setuju sama temanmu. Belum dicoba udah balik arah. Kalo aku sih pengen ngerasain dulu kayak apa bergelimang harta; menyesal kemudian nggak apa-apa. Pengalamannya itu yang penting.”. Aku tertawa. Definisi W tentang “sukses” adalah pengalaman dan petualangan seluas-luasnya sebagai manusia. Menarik juga.

Yang pasti dia akan mendapat tentangan keras dari lingkaran dekatnya. “Sukses” versi orang-orang yang cari-aman (mungkin 95% populasi dunia) adalah “to go steady with a nice girl/guy, save money, get married to her/him, and settle down to a nice steady job; day after day, year after year, world without end, amen *”. Hidup mengikuti pola yang sudah ada, kawin dan berbiak, serta mungkin sekali-sekali jalan-jalan ke luar negeri biar orang-orang iri.

Belum lama ini bosku mengeluhkan mentalitas perempuan-perempuan Indonesia. “Kok bisa ya, ultimate achievement yang ada dalam bayangan mereka sebatas menikah, mengurus anak. Potensi mereka jadi sia-sia.”. Definisi bosku tentang “sukses” ternyata bukan uang atau keamanan status sosial, melainkan pengembangan dan aktualisasi diri sepanjang usia.

Kok bisa gagasan orang berbeda-beda? Karena bicara tentang ‘sukses’ adalah bicara tentang utopia yang ingin dibumikan; bicara tentang sistem nilai dan cara pandang.

Aku jadi ingat salah satu tahap seleksi untuk mendapat pekerjaan ini. Kami ditanya, “Apa definisi anda tentang sukses?”. Orang yang di sampingku menjawab cepat, “Kebebasan finansial.” (entah apa artinya). Aku? Jawabanku kala itu sangat rancu. Kalau target saya tercapai, dan saya menikmati apa yang saya kerjakan, dan saya yakin yang saya kerjakan itu berguna, dan saya menjadi orang yang lebih baik, saya akan menganggap diri saya sukses.

Gagasanku masih belum berubah sampai sekarang. Kesuksesan itu bukan cuma tentang menjalani hidup yang berarti, tetapi juga yang bisa dinikmati. Dan satu lagi: kata Multatuli, “Tugas manusia adalah menjadi Manusia.” **.


* dari “Endless Night” oleh A. Christie

** dari “Max Havelaar”