Tanggal Merah untuk Rasul
Waktu aku kecil, ada ritual tahun baru yang menyenangkan. Segera setelah ayahku membawa pulang segepok kalender baru, aku menggelarnya. Dengan khusyuk aku periksa tanggal merah pada setiap bulannya, lantas bersorak gembira dan mereka-reka rencana.Besok adalah salah satu tanggal merah itu. Tanggal merah untuk Rasul.
Aku yang telungkup menekuri tanggal merah di kalender, bertahun-tahun lalu, tidak pernah mempertanyakan makna di balik perbedaan warna itu. Dulu aku tidak peduli mengapa pemerintah memandang perlu -berlawanan dengan prinsip produktivitas- untuk membuang satu hari kerja atau satu hari belajar demi sebuah peringatan atas sesuatu yang terjadi jauh pada masa lalu; yang terkubur oleh waktu. Aku bertanya-tanya kini: benar bahwa pada hari Senin, 22 April 540 A.D, Muhammad bin Abdullah dilahirkan. Lantas apa? Sesudah 1466 tahun matahari, untuk apa tanggal merah itu?
Yang menarik adalah, sebenarnya kelahiran Rasul bukanlah peristiwa besar dalam sejarah Islam. Tak dapat disangkal bahwa dampaknya besar (bagaimana bisa Yang Mulia Rasul mengubah peradaban manusia jika beliau tak pernah dilahirkan?), tetapi yang lebih dikenang dan sering didaras adalah peristiwa turunnya wahyu pertama, "Iqra". Umur Rasul 40 tahun kala itu. Dalam Al-Qur'an disebutkan, bahwa Muhammad itu ".. dhallan fa hadaa..": sesat, sampai ketika diberi hidayah. Jadi kelahiran "Rasul" adalah Lailat Al-Qadr di Gua Hira, bukan 12 Rabiul Awwal Tahun Gajah di bawah bebatuan Abu Kobeis, Mekah. Ini berbeda dengan Nabi 'Isa, yang telah menjadi Nabi sejak kelahirannya. Jika umat Kristiani merayakan hari Natal, mereka punya alasan. Umat Islam pun silakan merayakan kelahiran Muhammad, tetapi sebaiknya setelah memahami alasannya pula.
Untuk merayakan dan memuliakan Rasul, tanyalah kepada diri sendiri, apa hakikat Rasul sebenarnya? Berbagai kitab telah mencatat jawabannya:
1. Rasul adalah manusia seperti kita.
Karenanya beliau memungkinkan untuk ditiru.
2. Rasul bukan manusia biasa, melainkan al-Musthofa (pilihan)
Karenanya beliau layak dan patut untuk ditiru.
3. Rasul itu ma'sum (terjaga) dari kesalahan; tidak pernah berbuat salah.
Karenanya beliau wajib ditiru.
Tiga syarat telah terpenuhi: memungkinkan, pantas, dan wajib. Bagi kaum Muslimin beliau adalah uswatun khasanah; suri tauladan yang harus diikuti dan dicontoh jika mendambakan kemuliaan di Surga.
Waktu kecil, aku menelan semua ini dengan serta-merta. Aku yang sekarang pun meyakininya, demi imanku kepada Tuhan dan Rasul dan kitab-Nya. Tetapi seorang teman -yang adalah freethinker- mencetuskan pertanyaan sederhana: "Meniru, mengikuti, mencontoh Rasul. Kapan kamu akan jadi diri sendiri dalam bertindak? Di mana posisi karakter individu dalam ranah Islam?". Di hadapan pertanyaan itu aku terdiam.
Benar, aku masih harus banyak belajar. Mungkin untuk itulah esok ditanggalmerahkan. Untuk merenungi hakikat manusia dan agama, hakikat Rasul dan tujuan kelahirannya.