Thursday, April 13, 2006

Hasrat Ingin Dicintai


Melaju sepanjang Jalan Kaliurang sementara lampu-lampu mulai benderang, aku menatap Pristi yang memegang kemudi di sampingku.
“Ini malam Minggu?”, aku bertanya.
Dia mengiyakan dengan tenangnya.
“Ini malam Minggu! KENAPA AKU SAMA KAMUUUUH?”.

Dulu juga begini. Aku berjalan menyusuri pantai permai kala matahari terbenam. Langit jingga keemasan dan angin sepoi membuai; sebuah latar sempurna untuk adegan cinta a la telenovela. Lantas aku menoleh pada si dia di sisiku dan aku dapati … Pristi! Entah siapa yang lebih merasa sial atas kesia-siaan panorama itu; dia atau aku.

Tapi serius nih: malam minggu tanpa janji! Dan waktu aku periksa, di HP-ku tidak ada SMS sama sekali. Meet eloque- single and freaky.

O God! Kenapa engga ada seorang pun naksir akuuuh?”, ratapku (pura-pura) merana. Pristi cengar-cengir geli, sudah biasa lihat aku mendramatisasi suasana.

Sampai mobilnya tak lagi terlihat, dan malam semakin pekat, HP-ku tetap sunyi-senyap. Malam minggu itu aku berkalang tumpukan buku.

****

Oke, sekarang kita bicara fakta. Meski menikmati kejombloanku dalam kegembiraan, ternyata ingin juga aku punya satu atau dua fan. Bahkan yang individualis sepenuh hati pun masih memendam hasrat untuk dicintai. Kenapa?

Aku memikirkan dua alasan.

Pertama, karena butuh pengakuan. Pembuktian diri ini manusiawi. Insan yang menyadari bahwa waktunya di alam raya hanya sekejap mata, sedangkan Bumi dibanjiri lima miliar makhluk serupa, tentunya menyimpan renjana agar keberadaannya diakui unik dan berarti. Pengakuan atas ego ini mungkin berbentuk penghargaan terhadap hasil karya (maka kejarlah karir, saudara-saudara!), atau mungkin pula ketertarikan lawan jenis (maka jangan sungkan berdandan maupun pamer kekayaan!). Bukankah dunia ini sederhana?

Alasan lainnya, karena butuh cinta. Sembunyi ke manapun, menyangkal seperti apapun, manusia tidak bisa imun terhadap virus bernama cinta. Kelahiran setiap jiwa adalah wujud cinta-Nya. Dari Tuhan kita belajar mencinta. Kata Robert Frost, “Love is the irresistable desire to be irresistably desired.”. Ketika mencintai, kita menuntut dicintai balik. Ketulusan? Bohong besar. Kalau cinta itu tulus, manusia tidak perlu kelenjar air mata.

Yang bersangkut-paut dengan cinta memang seringkali bohong besar. Mungkin konsep ini –berikut segala romantika idaman gadis-gadis muda- hanya ilusi belaka; mitos yang dieksploitasi sedemikian rupa. Sementara Don Juan dan Casanova –dan para penerus mereka- mengumbar janji-janji surga bersepuh kata-kata cinta, 30% dari kebudayaan di dunia malah tidak pernah bersentuhan dengan istilah “cinta”. Sementara Shakespeare membandingkan sang pujaan dengan keelokan musim panas, para ilmuwan menemukan bahwa timbulnya cinta dipicu oleh hormon -oksitosin misalnya- dan feromon semata. Selamat tinggal, “pertemuan yang ditakdirkan”. Selamat tinggal, “pasangan jiwa”. Inilah wajah sebenarnya dari cinta: otak termanipulasi kimiawi stimulan dan seluruh dunia turut menjadi bulan-bulanan.

Paling tidak, aku turut menjadi bulan-bulanan.
Untuk apa aku (pura-pura) merintih nestapa di depan Pristi, dan lantas menjustifikasi diri dengan mengusung teori eksistensi dan teologi, jika ternyata hasrat ingin dicintai tidak lebih dari permainan hormon, sama halnya siklus menstruasi?

Dan yang lebih parah, aku tulis di blog, seperti ini. Konyol, ah!

Catatan:
Telaah ilmiah yang aku kemukakan itu berdasarkan segi biologisnya, jadi lebih dekat ke sisi Eros dari cinta. Ada juga telaah dari kacamata psikologis, dengan “hubungan” sebagai pusatnya. Ini menarik juga.