Monday, June 19, 2006

Pada Mulanya adalah Gempa

(Patria Es Humanidad, Pt.1)


Ekspedisi Sewon

Jam setengah sembilan malam, aku baru saja pulang setelah seharian menjalankan Posko Realia. Telepon berbunyi: aku diminta datang lagi ke sana sekarang juga. Kasusnya seperti ini: US Marines Corp mendirikan rumah sakit lapangan di Sewon Bantul dan mereka butuh penerjemah selama rumah sakit beroperasi. Mas Kris (koordinator divisi interpreter) bilang, kemungkinan terburuk adalah bertugas penuh selama satu bulan (mulai besok), tanpa libur, dari pagi sampai petang. Ini adalah kerja relawan yang aku inginkan: berhadapan langsung dengan para korban, dengan tanggung jawab dan koordinasi yang jelas, dengan tantangan dan kesempatan belajar terbentang luas. Tetapi tiga puluh hari!

Mas Kris dengan tenangnya berkata, kalau tida
k sanggup, pintu keluarnya ada di sana. Aku tersenyum kecut, dan tetap duduk. Pembicaraan dilanjutkan. Beberapa poin ditegaskan. Kami akan bekerja sama dengan orang militer, jadi jangan manja. Harus asertif dan punya inisiatif. Siap-siap menghadapi korban yang hanya bisa bahasa Jawa. Siap-siap dengan matahari di atas kepala.

Sebelum pulang, aku sempatkan
untuk membuat glossary kecil bersama Pristi. Apa bahasa Inggrisnya cenut-cenut, ngetok-ngetok, pegel, kesemutan, atau anyang-anyangen? Baru kali ini aku menyesal tidak lebih fasih berbahasa Jawa! Dalam kekuatiran macam itu, malam pun berlalu.

Jam tujuh pagi, aku tiba di Realia dan siap berangkat ke medan laga. Aku merasa kuat karena dukungan semua orang. Sepatu kets itu pinjaman dari Nisa. Payung dari Umul, jas hujan milik Arko, tas ransel dari Nita. Bu Etik memelukku erat sebelum kami berangkat.
Maka ekspedisi ini pun dimulailah.

Stadion Bantul yang dibangga-banggakan sebagai stadion termodern dan termahal di Indonesia terhampar di hadapanku. Hijau yang cantik, dengan tenda-tenda mungil tentara di ujung sana. Marinir Amerika dan TNI tegap berjaga di gerbang muka. Tenda bedah sudah berdiri. Klinik memakai bangunan kamar ganti. Tenda Center of Command sedang dipasang. Kegiatan medis akan bermula tepat jam delapan.

Aku menengadah, menatap langit yang biru cerah. Dan menunduk, menatap tanah yang coklat basah. Ini adalah tanah yang lima hari yang lalu diguncang gempa. Aku berkata pada diri sendiri, lakukanlah yang terbaik kali ini. Patria Es Humanid
ad.


Mereka

Pic: briefing (from onAsia.com)

Mereka adalah III Marin
e Expeditionary Force Medical Assistance Team, tentara Amerika sekitar 135 orang jumlahnya. Sebagian besar didatangkan dari pangkalan di Okinawa: US Marine dengan Logistics Group-nya, US Navy dengan Medical Team-nya. Beberapa dokter didatangkan dari USNS Mercy dan Essex, kapal rumah sakit milik angkatan laut Amerika. Ada berita yang menyebutkan bahwa akan didatangkan personel dari Guam juga, tetapi kelihatannya rencana itu tidak terlaksana.

Bantuan kemanusiaan ini dikoordinasi US Embassy dan didanai USAID, maka kujumpai pula ti
m medis dari USAID Indonesia: dr.Sri, dr.Herman, dr.Bambang, dr.Krisin, dan beberapa perawat. Mereka bekerja sama dengan Commander Davis yang mengepalai tim medis US Navy, dan satu-dua paramedis dari US Embassy.

Dan tentu saja bekerja sama dengan para interpreter. Hari itu para interpreter berkekuatan 14 orang, tetapi akan segera bertambah dengan kedatangan personel USAID/US Embassy. Kami berkenalan dengan para dokter dan paramedis di klinik. Setelah briefing singkat –benar-benar singkat!- pekerjaan pun dimulai.


Sebuah Kerja Sama

Pic: Chief Snyder attending to a patient at the clinic

Dan bagaimana sebenarnya pelayanan medis ini dijalankan?

TNI mengawasi keamanan stadion, disertai beberapa Marinir yang kena giliran jaga. Sebuah tenda didirikan di gerbang muka, di mana dua paramedis dan beberapa interpreter bertugas mendata keluhan calon pasien, sekaligus sebagai penyaringan awal. Ada tiga kategori: yang berhubungan langsung dengan gempa, yang berhubungan tidak langsung dengan gempa, dan yang sama sekali tidak ada kaitannya. Mereka den
gan keluhan yang cukup beralasan segera diantar ke klinik oleh interpreter, dan di sana akan didata lebih teliti sebelum diperiksa dokter. Ada dr.Livingston, dr.Toone, dr.Choe, dr.Haines, Chief Snyder, dan semua dokter USAID. Mereka mendiagnosa dan memberi obat (didampingi seorang interpreter), kartu medis diisi dan disalin untuk Medical Report. Pasien yang perlu rontgen diantar (lagi-lagi oleh interpreter pendamping) ke X-ray Room, dan kasus-kasus gawat dibawa ke Operation Room untuk pembedahan.

Masalah utama pada hari-hari pertama ini adalah kami tidak tahu yang mana dokter, yang mana perawat, yang mana apoteker, yang mana paramedis. Jadi ketika mbak Boni kelihatan nganggur, Pristi mendekati untuk tanya apakah dia sudah siap menangani pasien lagi, dan dia tertawa karena menangani pasien bukan hak perawat seperti dia. Nah. Inisiatif juga tidak selamanya berguna. Lantas menghadapi orang-orang militer ini,
bagaimana kami harus menyapa? Sir, Ma’am, Doc, Commander, atau Chief? Meski kedengarannya masalah sederhana –tinggal tanya kan?- sepanjang hari pertama komunikasi semacam itu tidak mungkin. Pasien bejubel menanti di luar, sementara matahari terik sekali.

Seiring waktu, prosedur di klinik bahkan bertambah lagi dengan suntik vaksin tetanus. Tenda-tenda baru bermunculan di sekeliling klinik sehingga pasien dan keluarganya dapat menunggu tanpa kepanasan. Setelah hari ketiga “tumbuh” pula tenda Wound Care, di mana luka dijahit dan dibalut, nanah dibersihkan, perban-perban diganti. Sebelumnya semua itu dilakukan di bawah panas matahari.


Pic: Ayers, Sheggurd, and Waycaster at the Wound Care

Bagaimanapun, hari-hari pelayanan medis itu adalah hari-hari yang sibuk sekali.