Tuesday, June 27, 2006

Orang-Orang Indonesia: Sopir dan TNI Kita

(Patria Es Humanidad, Pt.7)

Hari keenam. Pagi-pagi Adefisan sudah mendatangiku di klinik dan memesanku untuk menemaninya out mission ke Sardjito. Urusan medical waste treatment itu. Rupanya mentang-mentang aku yang memuluskan jalannya di Sardjito dulu, dia pikir asal ada aku urusannya bakal beres (padahal dulu itu kan berkat dr.Suyudi yang terhormat! ;p).


Terserah deh. Tapi gara-gara itu, aku harus menunggunya mengurus izin di depan tenda CoC (Center of Command- kantor para pe
tinggi), satu jam di bawah mentari. Baru kusadari kenapa mas Kris, mas Wawan dan lainnya sungguh-sungguh meningkat pesat dalam hal derajat kehitaman kulitnya. Ini terik yang membakar!

Pic (from mbak Nur-USAID): CoC tent, on a less sizzling day

Steve Chonajki, bos bagian planning, menyelamatkan hariku dengan mengajakku mengobrol selama satu jam itu. Pembicaraan yang cukup beragam dan dalam, mulai dari filosofi hidup, pandangannya terhadap masa depan, sejarah melting pot Amerika, bahasa-bahasa dan tren anak muda. Dari dia kudapatkan juga info berharga bahwa medical set up ini akan sudah habis sama sekali pada tanggal 15 Juni. Dalam beberapa hari satu-dua kontainer logistik akan mulai diangkut balik.


Pic: cars galore just outside the stadium. IOM cars to transport patients and USAID cars for "command" and logistic errands

Akhirnya, dalam keadaan setengah terpanggang, mobil, sopir, marinir pengawal, satu TNI, dan Adefisan siap untuk berangkat. Melajulah kami ke Sardjito. Atau entah ke mana, sebenarnya, karena ternyata si sopir tidak tahu jalan menuju Jogja. Gila! AC mobil mati pula! Klop-lah kombinasi maut antara mobil ngadat, sopir naif, dan interpreter bego. Karena meskipun bolak-balik enam hari ini, aku tidak pernah mencoba menghafalkan rute jalan Bantul-Jogja. Aku kesal pada diri sendiri karena begitu tak bisa diandalkan, kesal pada AC yang nyaris membuat kami mati kepanasan, kesal pada sopir yang menyerahkan segala tanggung jawab kepadaku. “Hey i’m only an interpreter, okay!!”, ingin rasanya aku berteriak begitu. But well, he’s only a driver anyway.

“Kita tanya orang aja Mas. Nanti kalo udah sampe Jogja, insya Allah saya tahu jalan ke Sardjito.”, ujarku akhirnya.

Di luar itu, semua baik-baik saja. Petugas sampah medis yang sudah ku-sms sigap menanti. Urusan selesai dengan cepat, dan dalam perjalanan pulang dengan keajaiban AC mobil mulai bekerja. Kami kesasar satu-dua kali, tapi aku tertawa saja. Ortiz si Marinir Pengawal memanfaatkan
kesempatan itu untuk belanja rokok di warung pinggir jalan –lantas menyumpah-nyumpah karena baginya harga rokok di Indonesia jauh terlalu murah.

Sepanjang perjalanan pulang, dihadiahi pemandangan langit biru dan sawah menghijau, berulang-ulang Ortiz berkata, “I can live here, man. I can stay and live like a king.”. Ia dan Adefisan membahas harga-harga yang luar biasa murahnya (wajar bagi orang Amerika yang pendapatan perkapitanya 35 kali orang Indonesia), dan membanding-bandingkan gaji tentara di kedua negara. Aku tidak sampai hati menoleh ke belakang untuk melihat air muka personel TNI yang menyertai kami.

Pic (from USMC): A US Marine and a TNI: the political side of the disaster relief. Yet also the "social" side.

Di luar soal gaji, ada satu hal yang mendasar yang membedakan sistem militer Indonesia dan Amerika. Militer Amerika menerapkan sistem kontrak dalam keanggotaannya. Mereka digaji untuk mengisi posisi tertentu, dan setelah kontraknya selesai mereka bebas merdeka untuk memulai hidup baru. Steve misalnya, berencana terus di Marinir sampai 9 tahun lagi, dan kemudian menjadi polisi. Waktu kutanya apakah mungkin mulai karir di kepolisian ketika umurnya sudah 40-an, dia bilang bukan masalah. Dia tidak harus mulai dari akademi atau apa. Sedangkan di Indonesia, kalau mau jadi polisi harus masuk sejak usia muda, dan kalau masuk tentara sampai mati harus jadi tentara (yah, tepatnya sampai umur 55 sih..). Aku ingat pada kesempatan lain dr.Maria berkomentar tentang sistem ini, bahwa wajar kalau TNI kelihatan kurang antusias dalam bekerja. Ikatan dinas bisa menjadi kutukan juga.

Dan kutukan itu merambat sampai ke klinik kami! Berkali-kali aku dapati calon pasien kami adalah anggota TNI yang seharusnya berjaga! Ada juga yang repot-repot membawa istrinya untuk diperiksa. Seolah itu hal paling wajar di dunia, mereka petantang-petenteng di muka klinik, minta didahulukan padahal simbah-simbah dan puluhan pasien sungguhan telah menunggu sekian lama. Aku berwajah sedatar mungkin waktu berkata bahwa mereka harus mengantri juga.

Sopir yang kurang tanggung jawabnya, oknum TNI yang seenaknya, interpreter bego yang tidak tahu jalan dan tidak mahir bahasa Jawa, juga dokter nganggur yang kemarin menertawakan Nova. Tidak kusangka bahwa hari itu aku dipaksa banyak berpikir tentang orang-orang Indonesia.