Kasihan Nova
(Patria Es Humanidad, Pt.5)Aku ingat Nova, perempuan mungil yang baru 4 tahun umurnya. Kakinya luka dan infeksi, sehingga dokter harus membiusnya untuk dapat menyikat nanah bersih-bersih. Dia manis sekali, buah hati ayahnya tercinta. Selama operasi, aku menghibur sang ayah yang berduka berkaca-kaca. Beberapa kali Cmdr Godinez keluar dari ruang bedah untuk menjelaskan kemajuan mereka pada sang ayah.
Operasi pun selesai, dan pelan-pelan kesadaran Nova kembali. Meski dilimpahi permen dan coklat dari dokter-dokter di sini, Nova merengek minta pulang. Aku menggandeng tangannya keluar tenda, mengajaknya duduk di dekat Provision Tent. Para marinir muda yang bergerombol di sana ramai-ramai menawarkan snack mereka pada Nova. Saat itulah tiba-tiba Nova muntah. Aku terkejut, berseru mulai dari oh no, oh my, oh man, sampai sweet baby. Kuambil tisu dari kantongku dan mulai menyeka mulutnya.
Pic (from mbak Nur-USAID): provision tent, just across from where Nova threw up.
Beberapa paramedis berlari mendekat dengan kardus dan tisu basah. Nova muntah lagi, di kardus kali ini. Setengah panik kubersihkan kaki dan tangannya –yang terkena muntahan- dengan tisu basah. Ada dua dokter Indonesia di sana, dan mereka tidak melakukan apa-apa. Komentar mereka –sambil tertawa- justru, “Gila, perhatian banget dokter-dokter sana. Kalau kita sih paling kita diemin aja.”.
Nova digendong kembali ke OR. Aku mengikuti dengan kardus di tanganku, kalau-kalau dia muntah lagi. Nova mulai menangis dan meraung minta pulang, kedinginan di dalam OR yang ber-AC. Aku mengambilkan selimut, sementara ayahnya memeluknya sambil menangis. Nova anak pertama dan satu-satunya. Istrinya terluka parah juga akibat gempa. Sementara ayah dan anak itu sama-sama menangis, aku diam menunduk. Tidak ada interpreter lain di OR, kedua orang ini tidak bisa kutinggalkan. Tapi hari telah menjelang petang, mas Kris telah menungguku berjam-jam karena urusanku di OR belum kelar juga sementara semua interpreter lain sudah selesai bekerja.
Lt. May mendekat, mengeluarkan dan membuka dompetnya untuk menunjukkan dua foto perempuan-perempuan mungil pada ayah Nova. Dia memintaku menerjemahkan, “They’re my daughters. This one is 8 and she’s 6. Tell him, i know how he feels. Tell him i know this is really hard for him, but we’ll do our best for his little angel. We have our own little girls, too.”. Dan aku menyampaikannya.
Betapa berbeda! Betapa berbeda dengan dua dokter Indonesia yang sedang mengaso tadi! Kini aku sungguh mengerti, untuk menjadi dokter tidak cukup dengan kemampuan medis saja. Lebih dari itu harus punya empati.
Kasihan Nova. Tangisnya tak kunjung reda. Lt. May mengatakan bahwa saat ini Nova pasti merasa pusing dan mual, mungkin pandangannya berkunang-kunang dan berbayang. Itu pengaruh normal dari obat yang diterimanya selama operasi tadi. Berapa lama sampai Nova pulih? Mungkin satu jam, mungkin dua.
Seorang interpreter lain muncul entah dari mana dan menyatakan bersedia menunggui Nova. Aku sedikit lega. Sayangnya dia adalah interpreter yang dicurigai bahasa Inggrisnya. Misalnya ketika Cmdr Godinez berkata, “Basically she’s alright. We’re just waiting for the effect of the medicine to wear off. Fusilero is setting up transport for them, so when the little girl’s ready they can go home right away.”, rekanku ini menerjemahkannya menjadi, “Bapak jangan kuatir, obatnya sedang diambilkan, sekarang sedang dalam perjalanan. Nanti begitu obatnya siap, Bapak sama Nova bisa pulang.” What the heck-? Pelan-pelan kuajak bicara sang ayah untuk memperbaiki informasi ini.
Kasihan Nova, aku tinggalkan sebelum pulih kondisinya. Tapi bagaimanapun aku harus pulang (that’s exactly why i hate being dependent!) dengan mas Kris. Kejadian ini sering menjadi guyonan di antara teman-teman: berapa pasien yang telah menjadi korban salah terjemahan dari interpreter yang kurang kompeten? Salah dosis obat, salah diagnosa? Goodness, sebenarnya ini bukan buat bercanda. Aku membuat catatan pribadi, bahwa sebagai relawan pun profesionalitas harus dijunjung tinggi.
Di atas segalanya, kasihan Nova!