The Art of Being A Volunteer
(Patria Es Humanidad, Pt.4)Baik di Ruang Gizi RS Sardjito, maupun di Posko Realia, maupun di OR rumah sakit lapangan, prinsip yang harus dipegang seorang relawan tetap sama: the art of being a volunteer is how to make yourself useful.
Dalam situasi genting karena bencana, tidak ada orang yang akan terus-menerus mengawasi kita dan mengatakan apa yang harus kita lakukan. Hanya dengan niat untuk menjadi berguna kita akan bisa mengambil inisiatif. Aku yang seorang interpreter, yang secara definisi baru bekerja ketika dua pihak berbeda bahasa hendak bicara, tidak lagi ambil pusing dengan urusan job description. Bu Dyah dulu bilang, untuk menjadi interpreter dalam situasi bencana, tidak cukup dengan kemampuan bahasa saja. Lebih dari itu harus punya empati.
Benar sekali. Khususnya di OR, kemampuan bahasa semata tidak banyak gunanya di hadapan pasien yang merintih kesakitan atau gemetar ketakutan. Berkali-kali ketika aku mendekati pasien yang terbaring di tandu, tersenyum sambil menggenggam tangannya, tanganku balas digenggam kuat sekali. Berkali-kali aku harus menyeka air mata pasien yang sedang menunggu giliran operasi. Berkali-kali, persis sebelum operasi, tangan mereka mencengkeram bajuku dengan panik, sambil berkata, “Tapi mbak jangan pergi-pergi ya. Mbak di samping saya terus ya.” Dan aku, menggantikan anak yang berbakti, membelai dahi mereka, mendengarkan cerita mereka, menangis dan berdoa bersama mereka. Memakaikan selimut, meminumkan air, menenangkan sanak-saudara yang menyertai.
“What a daughter!”, komentar Menur, sesama interpreter, waktu melihatku membenahi selimut Bu Hariyanti. Well, the lady might have lost her daughter, too. Semua pasien OR adalah orang-orang yang sangat menderita. Berada di sana membuatku merasa sebagai makhluk paling beruntung di dunia. Karena itu, jika ada yang bisa aku lakukan untuk sedikit meringankan penderitaan mereka, aku akan melakukannya tanpa sungkan.
Para dokter OR ternyata menghargai manifestoku ini. Ketika seorang pasien yang telah diinjeksi morfin dibawa ke meja operasi, dengan tahu diri aku menyingkir dan menemani pasien lain. Apa yang bisa dilakukan seorang interpreter di samping meja bedah jika pasien sudah tak bisa diajak bicara? Namun belum sampai tiga menit, Sheggurd buru-buru keluar dari ruang bedah. “Elok, please come and console the patient.”, katanya. Aku terkejut, tapi segera masuk ke sana. Di dalam, orang-orang yang sudah aku kenal tersenyum padaku. Cmdr Cooper, Ayers, Cmdr Godinez, Lt. May, Adefisan. Cmdr Vilhauer menepuk-nepuk bahuku ketika aku mendekati pasien dan membisikkan doa di telinganya.
Itu saat-saat yang sangat membahagiakan, mendapati bahwa engkau diterima dan dianggap berguna. Cmdr Cooper menggodaku dengan bertanya, “Elok, have you been busy?” (sejak aku mengatakan padanya tentang “feeling useless” dia selalu menggodaku dan mencarikan kesibukan buatku). Hari itu aku mendampingi lima operasi. Ketika petang datang, aku sampai berpikir bahwa jika ini tak juga berhenti, aku akan menjadi pasien selanjutnya di meja operasi mereka.
Meja operasi! Betapa banyak kenangan dan kisah yang mengalir dari sana! Dan cerita dari meja operasi tidak selalu sendu. Misalnya suatu ketika Ayers memutar lagu anak-anak dari MP3 Player-nya, dan mengumumkan bahwa itu lagu favorit anak perempuannya yang baru 3 tahun. Atau Sheggurd berdansa-dansi sebelum operasi. Atau komentar Ayers ketika seorang bintang telenovela dari Spanyol datang berkunjung –diikuti serombongan kru TV-. “She’s hooottt!!”. Kadang Cmdr Davis merasa perlu menertibkan kelakuan itu dengan komentar tajam, “We have a wake patient here!”. Kadang kami menikmati kegilaan-kegilaan ini dengan gembira.
Pic: interpreters with some of the OR folks. I'm in orange, next to Cmdr Vilhauer. Menur's in black, next to Lt.May.
Di klinik dan X-Ray Room pun potongan-potongan cerita demikian banyaknya. Bagaimana dr.Choe berteriak “Tet'nus!”, dan paramedis tergopoh-gopoh datang untuk menyuntikkan vaksin immunoglobulin. Bagaimana Chief Snyder geleng-geleng tak sabar dengan pasien yang –berdasarkan pemeriksaan- sehat-sehat saja, tapi manja mengeluh pusing dan ini-itu. Bagaimana Teresa dengan susah-payah menghafalkan “selamat pagi, selamat siang, terima kasih, maaf”. Dan tentu saja ada dr.X, “the flirty doctor” yang sedikit pun tidak mau melepaskan kesempatan menepuk-nepuk punggung atau menyentuh lengan interpreter perempuan (entah dengan maksud apa).
Pic (from USMC): dr.Choe attending to a child with a bright smile. Always full of zest, especially for tetanus shots!
Juga Jeff “The X-Ray Man” yang baik hati, yang selalu berkata, “Tell her i’m so sorry, i know it hurts her, but i have to put her hand/elbow/foot that way”. Beberapa kali dia mengijinkan aku dan Pristi untuk menekan tombol X-Ray-nya. Prosedur menjauh 8 kaki, mengumumkan, “X-Ray!”, dan menekan tombolnya dalam-dalam sampai bunyi “bip” berhenti. “Can you feel the power?”, candanya. Pasien-pasien yang ada di sana pun turut tertawa. Mungkin mereka tidak benar-benar mengerti bahasanya, tetapi ketulusan dan kebaikan hati adalah Bahasa Buana. Aku dan Pristi sepakat bahwa empati lebih berharga daripada bahasa.
Pic: at the X-Ray Room: eloque, pristi, jeff, and the powerful machine!
Apakah aku interpreter yang baik? Entahlah. Tapi aku harap, aku adalah relawan yang baik, dan manusia yang baik. Amin.