Wednesday, June 21, 2006

Hari-Hari Pertama: an Out Mission

(Patria Es Humanidad, Pt.3)

Hari kedua berjalan lambat dan sepi di OR. Jam delapan pagi, "the OR Girl" sudah setor tampang dalam dinginnya ruang transit OR, bersama Mueller yang sibuk beres-beres. Tandu-tandu tidak lagi tergeletak di lantai, namun disangga kotak-kotak perbekalan medis mereka. Belum ada pasien. Toh aku harus tetap berjaga di situ. Aku mengisi waktu dengan membuat formulir-formulir dan kartu medis darurat. Cmdr Cooper muncul dan menyapaku, “How are you, Elok?”. “Good, but we’ve no patients here, and i feel so useless..”, jawabku sambil nyengir. Dia tertawa, dan berkata, “Not to worry, the time will come when we will be relying on your help!”.

And so i have to stay put? Tapi aku datang ke stadion ini untuk membantu korban gempa, bukan untuk leyeh-leyeh dalam tenda ber-AC. Maka aku bilang pada Mueller bahwa aku akan pergi ke klinik “to make myself useful” dan kembali ke OR menjelang siang. Begitulah juga pada hari-hari selanjutnya, pagi hari aku membantu di klinik atau di X-Ray Room, sampai ada pasien di OR di mana kemudian aku tinggal.


Pic (from USMC): Chief Snyder with a patient. Busybusybusy.

Pada hari ketiga ketika aku sedang membantu di klinik (ada dokter-dokter baru dari USNS Mercy dan Essex: dr.Amundson, dr.Ferrara, dr.Daily, dan dr.Santoyo), Lt.Fusilero membajakku untuk misi keluar. Bagus juga sebagai variasi. Aku tahu bahwa selain pelayanan medis di stadion, para dokter hilir-mudik dengan “out mission” mereka ke berbagai rumah sakit untuk kerja sama medis atau ke desa-desa untuk pengobatan keliling.

Waktu Fusilero menggiringku pada Rudy (officer bagian finansial) dan bukan pada salah satu dokter senior, aku sudah merasakan firasat buruk bahwa misiku nanti adalah misi logistik. Benar saja. Ini misi belanja. Mereka mau memungut berbagai spanduk “USAID” dan “US Marine Medical Assistance” yang sudah dipesan sebelumnya, sekaligus belanja peralatan dan persediaan medis yang sudah mulai menipis. Mengambil spanduk sih oke saja, tapi tahu apa aku tentang belanja alat-alat kedokteran?

Mbak Nia (interpreter Rudy) menyebut-nyebut Labora di Jl. Simanjuntak, maka ke sanalah kami menuju. Selanjutnya adalah info dari-toko-ke-toko. Aku tanya orang di Labora di mana kami bisa beli barang-barang yang belum kami dapatkan. Dengan cara itu kami menyambangi Alfa, Kimia Farma, Sumber Waras, beberapa toko bahan kimia, dan akhirnya New Diva. Masalah utama –selain kebegoanku dalam hal kedokteran- adalah perbedaan dunia kedokteran di Amerika dan Indonesia. Waktu Adefisan (paramedis di OR) minta Cidex, semua penjaga toko ternganga. Itu cairan yang dipakai di Amerika untuk membersihkan dan mencuci alat-alat operasi. Kita tidak punya. Kita pakai alkohol belaka. Adefisan geleng-geleng; dia berkeras mau Cidex.

Waktu Adefisan minta bovie pen dan penjaga toko tidak mengerti, aku harus menerjemahkan kata demi kata bagaimana Adefisan menggambarkan alat ini. Tetap tidak dimengerti. Dengan frustrasi Adefisan menoleh padaku, dan bekata, “You were at the OR, ma’am. You knew what bovie pen was, right? Please explain to her.” Akhirnya justru aku jelaskan pada Adefisan bahwa aku baru dua hari di OR, tidak terus-menerus memperhatikan jalannya operasi, dan sebelumnya belajar teknik kimia. Toh, kucoba bicara lagi pada penjaga toko sebisaku. Samar-samar aku ingat tentang bovie pen dari buku “Doctors” -Erich Segal (kubaca bertahun-tahun yang lalu). Dia mengerti sekarang, tetapi memang sedang tidak ada barang.

Belanja ternyata sangat melelahkan! Meskipun ada saat-saat menyenangkan juga. Dari lima orang yang meyertaiku, satu adalah paramedis, satu dari bagian planner, satu kontraktor (yang membayar semua belanjaan), satu marinir pengawal, dan satu lagi TNI. Ini perjalanan pertama mereka ke kota, dan mereka berseru, bersiul, tertawa setiap kali melihat McD, KFC, dan ikon-ikon khas Amerika lainnya. Waktu melewati Plasa Ambarukmo dan aku ceritakan bagaimana mal terbesar ini baru buka sekitar dua bulan, mereka termangu-mangu. “Grand opening, grand closing!”, komentar Scolby si kontraktor sambil mengamati lubang-lubang di dinding. Semua tertawa. Semua terlongong-longong juga ketika harus membayar 600.000 rupiah untuk empat spanduk US Marine. Baru setelah tahu bahwa satu dolar nilai tukarnya sekitar 10.000 rupiah, mereka nyengir sambil geleng-geleng kepala.

Misi itu diakhiri permintaan spontan Adefisan untuk mencari tempat untuk membuang sampah medis mereka. Setahuku sampah medis termasuk biohazard yang harus dibakar dalam incinerator, dan fasilitas itu hanya ada di rumah sakit. Langsung saja aku bawa mereka ke Sardjito untuk mengurusnya. Aku pikir, tentunya tidak masalah kalau sampah medis dari stadion dikirim ke Sardjito –mungkin setiap 3 atau 4 hari- untuk diolah. Sebenarnya aku tidak begitu tahu siapa yang harus ditemui atau di mana atau bagaimana untuk mengurus masalah ini, mengingat Sardjito sendiri sedang sibuk dengan pasien yang berkelimpahan. Tapi, hell, coba saja dulu.

Kami tiba di gedung administrasi, kusampaikan keperluan kami dan menunggu. Setelah lima menit, seseorang yang kelihatan penting menyebut-nyebut Dinas Kebersihan Provinsi dan bagaimana sebaiknya kami ikut untuk rapat bersamanya. What? Aku tegaskan sekali lagi bahwa ini tentang sampah medis, bukan sampah biasa. Dia bingung, dan aku mengekorinya masuk ruang yang ramai seperti habis pesta. Para marinir pun mengekoriku. Ditanyai lagi apa keperluan kami. Kujelaskan lagi. Seorang bapak berbaju batik yang kelihatan berwibawa mendengarkan pembicaraanku dan mendekat karena tertarik. Petugas yang bertanggung jawab sedang tidak di tempat, mohon menunggu lagi. Para marinir dipersilakan duduk. Aku dan Adefisan tetap berdiri untuk bernegosiasi dengan si bapak yang berwibawa. Seorang petugas muncul berlari-lari. Hal-hal teknis segera diputuskan di hadapan –atau tepatnya, di bawah pengawasan- si bapak berwibawa. Aku mencatat nomor HP si petugas sampah medis untuk jaga-jaga.

Ketika kami diajak meninjau langsung instalasi pengolahan sampah medis mereka –sambutan hangat yang tidak aku duga!- seorang ibu meminta nomor HP-ku dan membisikkan bahwa tentunya aku tahu bapak berwibawa tadi adalah dr.Suyudi, mantan Menteri Kesehatan? Stupid me! Kini aku yakin pernah menghafalkan raut mukanya dari lembaran menteri-menteri, namun tadi aku tidak ingat sama sekali. Aku nyengir geli. Tentu saja semua orang sangat ramah, petugas tergopoh-gopoh (bahkan menyuplai kami plastik berlabel biohazard GRATIS!), karena tuan besar dr.Suyudi berkenan langsung membantu kami.

Maka incinerator pun dilihat-lihat, dan janji dibuat, dan dengan itu Adefisan tersenyum lebar, “Mission complete!”. Aku terkulai di kursiku sementara mobil melaju. Kembali ke stadion. Sardjito di belakang kami. Aku mencuri-curi pandang ke arah Ruang Gizi. Hari-hari pertama pascagempa aku habiskan di sana. Apakah mereka masih butuh orang untuk membungkus hidangan? Ah, tapi setiap orang punya peran yang harus dijalankan..