Hari-Hari Pertama: the OR Girl
(Patria Es Humanidad, Pt.2)Tanpa bermaksud mendiskriminasi (persis kukutip kata-kata mas Kris), interpreter perempuan ditempatkan di bawah naungan klinik dan yang laki-laki dikorbankan untuk gosong akibat mondar-mandir dari gerbang. Pagi pada hari pertama itu pun aku menyibukkan diri di klinik bersama Pristi, mbak Lilis, Menur, dan Aulia. Pristi dan mbak Lilis sudah nyaman di bagian administrasi medis, sedang kami yang tersisa terbang kesana-kemari menjadi interpreter dokter yang mendiagnosa. Ketika dr.Glass dari US Embassy ingin ada data tekanan darah juga, aku didaulat untuk menjadi juru periksa. Seorang paramedis mengajariku caranya, dan entah benar entah salah kudapati diriku dengan stetoskop dan pengukur tekanan darah, memeriksa setiap pasien dewasa. Seandainya mereka lebih waspada, mereka pasti akan curiga dengan gerakanku yang kurang luwes dan senyumku yang ragu-ragu (meski maksudnya untuk menentramkan, ha ha..). Belum lagi bahasa Jawaku yang terbata-bata dan compar-campur tidak jelas. Pristi dan Menur mengajariku beberapa kalimat praktis seperti “Amit nggih Bu, badhe kula periksa”, dan “Monggo ditenggo rumiyin teng jawi nggih Pak”.
Menjelang siang, Lt.Fusilero (“komandan” para interpreter kala itu) mendatangi klinik dengan buru-buru. “Can i have one interpreter to stand by the OR, please? We have three patients waiting for surgery and no interpreter.”. OR –alias Operation Room- memang baru saja didirikan dan pasien-pasien itu pun rujukan dari rumah sakit setempat di Bantul. Kulihat Aulia dan Menur sedang sibuk, sementara Pristi dan mbak Lilis tidak mungkin meninggalkan mejanya. “OK, i’ll go.”, kataku pada Fusilero. Dia pun menggelandangku ke tenda OR.
Pic (from USMC): Operation Room
Aku ditinggalkan dengan tiga pasien terbaring di tandu, tanpa tahu apa yang harus aku lakukan atau siapa-siapa yang ada di tenda menyeramkan itu. Initiative be damned!, kataku pada diriku sendiri. Kok mau-maunya aku meninggalkan posku yang aman sejahtera di klinik untuk berjaga di OR, di mana semua Navy kelihatan sibuk dan aku seperti anak hilang. Apa yang bisa aku lakukan di sini?
Aku memandang sekelilingku. OR adalah tenda bedah yang terdiri dari dua ruangan. Ruangan pertama untuk transit pre-op dan post-op (sebelum dan sesudah operasi), dengan perlengkapan medis tergantung di dinding-dindingnya. Ruang kedua adalah ruang operasi itu sendiri, dengan banyak instrumen elektronik canggih yang berbunyi bip-bip-bip sepanjang waktu. Eric Tausch, sang humas, menyombong bahwa peralatan medis di tenda ini adalah yang termodern bahkan di seluruh Jogja (dikutip VoA). Keren, memang. Tenda ini dilengkapi air conditioning system yang menyatu dengan desainnya. Hari itu baru AC di ruang bedah yang sudah berfungsi, sedang ruang transit masih mengandalkan angin alami dengan semua pintu terbuka lebar (keesokannya ruang transit sudah sedingin kamar hotel sampai-sampai orang berduyun-duyun mengungsi kemari untuk ngaso dari panas matahari).
Apapun kekuatiran dan ketidaknyamanan yang aku rasakan ketika terdampar di OR, langsung menguap demi mendapati tiga pasien yang tergeletak tanpa daya di lantai, beralas tandu belaka. Seorang lelaki setengah baya dengan kaki kiri bengkak dan dibalut demikian tebalnya. Perbannya bernoda kekuning-kuningan dan bau tak sedap menguar dahsyat, sudah jelas kakinya kena infeksi tingkat tinggi. Seorang lelaki tua lain, entah sadar entah tidak dengan mata terpejam, tangan kanannya dibalut penuh, perbannya basah dan lengket oleh cairan dari lukanya. Seorang perempuan muda dengan balutan di mana-mana, terutama di daerah dada. Bodoh sekali kalau tidak tahu apa yang bisa aku lakukan di sini, sementara mereka terbaring menderita.
Aku dekati mereka satu-satu, menanyakan nama, umur, asal, dan luka mereka. Aku yakin data semacam ini akan berguna, di klinik kami mendata hal yang sama. Sesudah berkenalan dengan mereka, aku mulai mengajak mereka bicara pelan-pelan, khususnya perempuan muda itu, karena dia amat ketakutan. Betapa tidak. Jika kita kehilangan rumah dan sanak keluarga akibat gempa, kemudian tiba-tiba dibawa ke tenda dengan orang-orang berambut pirang berkeliaran, sementara tubuh kita begitu sakit dan masa depan tampak begitu suram, siapa yang tidak takut? Aku genggam tangannya, dan aku tahu dia sedikit lega karena ada orang Indonesia di dekatnya. Namanya Siti Nuriyani, 25 tahun. Tulang dadanya patah akibat tertimpa rumah, dan satu tube ditanamkan untuk mengambil cairan (darah, getah bening, air, entah apa) dari dadanya. Tube itu menimbulkan infeksi di dalam. Pinggulnya pun retak, luka bruise tidak tehitung lagi. Lebih dari itu, dia kehilangan bayinya dalam bencana ini, namun sang suami belum sampai hati menyampaikan kabar duka (aku ketahui kemudian dari suaminya).
Pic (from Cmdr Godinez): Cmdr Godinez, Siti, and her husband
Lt.Ayers (waktu itu aku belum tahu namanya) mendatangiku dan minta informasi tentang pasien-pasien ini. Aku keluarkan catatanku barusan, berikut medical record dari rumah sakit lokal yang memberi rujukan. Sementara Siti dioperasi, aku menemui wartawan-wartawan asing yang datang meliput. Tentu saja bukan untuk memberi press release atau apa, hanya sekedar memberi tahu informasi tentang pasien dan membantu mengejakan nama mereka. Wartawan-wartawan itu lantas menyerbu ruang bedah dan jepret sana jepret sini. Aku menemani Pak Darmo dan Pak Mohadi (dua pasien lain) dan mengobrol tentang keluarga mereka. Sekali-sekali Mueller (paramedis) menyela dan aku membantunya memasang infus atau remeh-temeh lainnya.
Satu hal yang tidak kuduga sebelumnya adalah bahwa semua operasi dilakukan sementara pasien dalam keadaan sadar. Commander Cooper menjelaskan bagaimana repotnya prosedur bius total, karena mereka harus memantau pernafasan pasien dsb. Karena itulah dia memintaku ikut masuk ke ruang bedah, sehingga Surgical Team bisa berkomunikasi dengan pasiennya. Aku pikir, gila! Aku tidak yakin bisa menjadi interpreter tepat di samping meja bedah. Tetapi tidak ada waktu untuk merasa ngeri, Pak Darmo dibawa masuk dan aku pun mendampingi.
Awalnya aku tidak tahu di mana aku harus berdiri (bahkan itu!) sampai-sampai aku bertanya pada Ayers di mana posisi yang tidak akan mengganggu kerja para dokter bedah (pada operasi-operasi selanjutnya, aku sudah punya pos yang memang “di-booking” khusus untukku di sisi pasien). Operasi pertama itu aku tidak akan pernah lupa. Pak Darmo dibius lokal dari pinggul ke bawah, dan betapa repot Ayers menyuntikkan anestesi lewat tulang belakangnya. Commander Davis memimpin operasi. Perban kekuningan itu digunting, sementara tanganku mengarahkan wajah Pak Darmo supaya tidak perlu melihat kengerian itu. “Ngobrol sama saya aja ya Pak.”, kataku sambil menggenggam tangannya. Tanganku yang lain mengelap peluh di dahinya dengan tisu basah (padahal ruang bedah sedingin itu!). Cmdr Cooper ada di kepala meja dengan jarum suntik berisi morfin berjejer di sisinya.
Pic (from Reuters-CNN): attending to my first surgery, i (in red) was utterly shocked!
Cmdr Davis adalah Navy Surgeon berpengalaman, dan tim bedahnya adalah tim yang sering dikirim ke medan perang. Dia sudah biasa melihat luka akibat terjangan peluru, bom, atau ranjau. Namun melihat luka di kaki kiri Pak Darmo itu, dia menyumpah-nyumpah. Itu luka yang sudah ditangani rumah sakit lokal pascagempa: dijahit untuk menghentikan pendarahan dan sebagainya. Ketika jahitan dibuka, yang dia dapati adalah batu kerikil, serpihan bata, pecahan kaca di dalam lukanya, beserta nanah berlimpah-limpah. Ini cerita tentang lima hari pengembangbiakan kuman. Aku menyaksikan bagaimana Cmdr Davis mengorek luka itu untuk tuntas membersihkannya dari debris, daging busuk, dan nanah, bagaimana Pak Darmo meronta akibat sakit yang tak tertahankan, dan bagaimana Cmdr Cooper dengan tenang menginjeksikan morfin, lagi dan lagi, setiap kali Pak Darmo meronta kian menjadi. Aku tidak tahu tenaga apa yang membuatku masih sanggup berdiri, menggenggam tangan Pak Darmo kuat-kuat, memastikan infusnya berjalan. Sampai suatu poin, Pak Darmo tidak bergerak-gerak lagi. Wajahku pucat menatap Cmdr Cooper. “He’s kinda dreaming right now. It’s a very vivid dream, he won’t remember anything, though he might mumble something.”. Namun bahkan dalam tidur di bawah pengaruh morfin, Pak Darmo masih meringis kesakitan setiap kali Cmdr Davis menyikat lukanya kuat-kuat.
Dokter-dokter bedah militer ini benar-benar tiada ampun terhadap infeksi. Luka bernanah akan disikat kuat-kuat sampai semua bekas nanah bersih tak bersisa. Sikat bedah sebenarnya punya dua sisi, brush dan sponge. Tanpa ragu, sisi brush yang mirip sikat cuci baju itu dihantamkan pada luka yang kena infeksi. Sruk-sruk-sruk, berkali-kali. Cairan pencuci luka mengandung bleach semacam Byclean konsentrasi rendah. Bayangkan betapa sakitnya. Tanpa morfin, pasien akan berteriak gila dan melompat lari dari meja operasi, kata Cmdr Davis. Pada beberapa operasi berikutnya, Lt.May menggodaku dengan berkata bahwa aku tidak beruntung, sebab pasien di bawah pengaruh morfin tidak akan ingat apapun, sedangkan aku melihat dan mengingat semuanya. Dia benar juga.
Wajahku pasti sepucat mayat. Warna merah darah dan bagaimana Cmdr Davis menangani luka Pak Darmo bukan pemandangan yang nikmat untuk disaksikan. Cmdr Cooper yang lembut hati menanyaiku apakah aku baik-baik saja. “I can’t say i like the sight, but i’m fine.”, jawabku sambil mencoba tersenyum. Dia berusaha mengalihkan pikiranku dari pemandangan itu dengan mengajakku berkenalan –secara formal aku belum kenal siapapun di OR- dan membicarakan macam-macam. Terakhir kulihat, Cmdr Davis sedang menyumpalkan segulung perban obat ke dalam cekungan luka di kaki Pak Darmo. Si pasien sendiri masih bermimpi. Setelah luka itu dibalut, operasi pun selesailah. Namun belum selesai bagiku dan para dokter bedah, karena berikutnya giliran Pak Mohadi.
Pic (from onAsia.com): "daily life" at the OR. Ayers and Cmdr Cooper (facing camera).
Prosedur yang sama lagi. Kali ini Ayers yang mengurus morfin dan anestesi. Infeksi gila-gilaan akibat penanganan seadanya lagi. Cmdr Davis menyumpah-nyumpah lagi. Aku di sisi Pak Mohadi melakukan apa yang aku bisa, menentramkan dan menenangkannya. Ketika semua berakhir, Ayers berkata, “Thank you so much Elok, for your help.”. Aku kehilangan kata-kata. Aku menatapnya dan akhirnya berujar, “I wish i could do more.”. Hanya itu saja.
Menjelang sore, ketika kupikir aku sudah boleh bernapas lega, datang satu pasien darurat. Gadis muda, baru 18 tahun umurnya. Dia sesak napas dan keluarganya panik. Aku lihat sendiri bagaimana dadanya kembang-kempis, turun-naik dalam usaha menghirup udara. Cmdr Cooper menanganinya segera. Tabung oksigen, infus, inhaler. Aku membantunya duduk tegak agar obat dapat disemprotkan lewat mulutnya. Dalam beberapa menit keadaannya membaik, dan aku membantu menerjemahkan diagnosa dokter pada keluarganya.
Itu kasus trauma. Selama berhari-hari Yunita hidup dalam suasana tertekan dan mencekam pascagempa. Sore itu ia mendengar suara gemuruh, dan dipikirnya rumah tetangga ambruk, dikiranya gempa datang lagi menghampiri. Panik! Tangan dan kakinya mulai kejang dan ia tak bisa bernafas. Dokter dan semua paramedis yang mendengar cerita ini menggeleng-gelengkan kepala karena berempati.
Sebelum meninggalkan tenda OR, sang ibu memelukku dan berbisik terima kasih. Aku menyampaikannya pada dokter-dokter dan paramedis di sana. Betapa tersentuh mereka, satu demi satu menghampiri sang ibu, dan dua orang berbeda bangsa berpelukan dalam rasa haru. Aku tidak akan melupakan pemandangan itu. Patria Es Humanidad, sekali lagi. Kebangsaan yang sejati adalah kemanusiaan.
Maka berakhirlah hari pertama kerja relawanku di rumah sakit lapangan ini. Dalam perjalanan pulang ke Jogja -lelah luar biasa!- aku mengingat lagi semua darah dan nanah itu, semua senyum tertahan ketika mengatakan “tidak apa-apa” padahal sakit luar biasa, semua tangan yang aku genggam. Dan aku ingat hari-hari di dapur umum Sardjito, membungkus bubur sumsum sambil merasa bodoh. Bukankah ini yang aku inginkan saat itu: melakukan sesuatu yang lebih berarti? Aku tersenyum sendiri oleh kepongahanku dulu. Be careful what you wish for, Elok!
Pic: Eloque the OR Girl in my "place" during surgery. We could only take narcissistic pics like this out of hours.