Friday, June 23, 2006

Kaki Pak Darmo

(Patria Es Humanidad, Pt.6)

Kaki Pak Darmo adalah kaki fenomenal. Aku ingat suatu hari di tengah operasi, tiga atau empat paramedis menyerbu masuk dengan kamera di tangan, khusus untuk mengambil gambar kaki Pak Darmo. Dr.Santoyo menyesal kehilangan kesempatan itu. Cooky (paramedis OR) dengan bangga memamerkan foto koleksinya padaku.

Pak Darmo bercerita, butuh dua orang untuk mengangkat batu dan reruntuhan yang menimpa kakinya. Dokter-dokter di OR geleng-geleng kepala; mereka tidak perlu bukti lain untuk percaya. Aku sendiri suatu kali diminta menerjemahkan Cmdr Godinez mengajari perawat rumah sakit setempat bagaimana prosedur untuk merawat luka parah itu. Yang biasanya aku bisa memalingkan muka selama operasi, kali ini luka menganga itu tersaji tepat di depan mata dan tak bisa aku hindari. Cmdr Cooper pasti melihat bagaimana berkali-kali aku menarik napas untuk menenangkan diri, karena siang itu dia memberiku sebatang chocolate cookie.

Hampir setiap hari kujumpai Pak Darmo di OR, dibawa untuk mengganti perban di kaki. Meski kedengarannya hanya perawatan sederhana, untuk kasus Pak Darmo, dokter-dokter harus memberikan anestesi dan injeksi morfin berkali-kali. Aku hampir selalu mendampingi semua prosedur itu. Kami mengobrol banyak, aku dan Pak Darmo. Ketika anaknya, Rohmi, datang menyertainya, kami pun berbagi cerita seperti teman lama.

Pada operasi kelima atau keenam, aku merasakan bahwa kondisi Pak Darmo lebih buruk daripada biasanya. Dia ketakutan. Aku yang awam ini pun melihat bahwa sepertinya tidak ada kemajuan. Cmdr Godinez bilang sendiri, “We could be doing this everyday for weeks, and still nothing changes. This is insane!”. Hatiku sakit. Aku menatap wajah Pak Darmo yang tengah bermimpi di bawah pengaruh obat penenang; bahkan dalam mimpi pun tidak dia temukan kedamaian. Aku menoleh pada Cmdr Cooper, tapi kehilangan kata-kata. Ia menunggu. “It’s just.. it’s just.. Oh, Sir- can it ever be cured?”.

Cmdr Cooper tidak segera menjawab. Ketika akhirnya bicara, yang dikatakannya adalah, “Right now it’s half-half. We might save the foot, or we might not. But so long as we have the chance, we’ll try our best to save it.”. Aku mengangguk. Aku percaya komitmen mereka. Tapi mereka tidak akan ada di sini selamanya.

Rohmi menyambutku di depan ruang bedah. “Gimana Bapak, mbak?”. Kuceritakan jalannya operasi. Ketika Cmdr Godinez menghampiri, Rohmi menggenggam tanganku, “Tanyakan dokternya, mbak, apa kaki Bapak harus diamputasi?”.

Maka aku bertanya. Jawaban Cmdr Godinez sama seperti Cmdr Cooper. Hanya dia menambahkan, bahwa seandainya kaki Pak Darmo diamputasi pun, itu yang terbaik baginya. Lebih baik kehilangan satu kaki daripada kehilangan nyawa.

Rohmi terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca, dan seraya ia memelukku air matanya mengalir deras. Aku balas memeluknya, menepuk-nepuk pundaknya, mencoba menentramkan hatinya. Di samping kami Cmdr Godinez menyampaikan betapa ia turut berduka, bahwa ia mengerti perasaan Rohmi, bahwa akan dilakukannya segala yang ia bisa. Aku membisikkannya pada Rohmi. Cmdr Cooper menghampiri kami dan mengangsurkan segulung tisu. Pak Darmo masih dalam mimpinya, terbaring di tandu.

“Bapak itu takut, mbak.. kalau harus diamputasi..”, kata Rohmi, dan air matanya mengalir lagi. Cmdr Cooper datang dengan sebotol air mineral. Aku mendudukkan Rohmi di kursi di sisi Pak Darmo. Seteguk air membuat Rohmi lebih bisa menguasai diri. Dia menyeka air matanya, dan membelai kepala ayahnya dengan pilu.

Bahkan setelah Pak Darmo sadar, yang pertama ditanyakan kepadaku adalah, “Sudah selesai kan mbak, operasinya? Sudah jauh lebih baik, kaki saya?”

Aku bisa bilang apa? Maka hanya kutekankan bagaimana dokter sudah membersihkan bagian yang infeksi dan mengobatinya. Namun Pak Darmo terus bertanya “jauh lebih baik?”. Aku tahu, dia sangat ingin diyakinkan bahwa kakinya akan bisa diselamatkan. Mataku berkaca-kaca, karena bukan kewenanganku untuk mengatakan “ya”.

Lt.May, mendapati Rohmi duduk termenung dengan mata merah, menanyaiku apakah Rohmi baik-baik saja. Kuceritakan apa yang terjadi dan apa kata Cmdr Godinez tentang kemungkinan amputasi. Lt.May spontan menghampiri Rohmi, berjongkok di sampingnya, dan menepuk bahunya dengan lembut. “Elok, tell her that i know how she feels, that this is hard time for everyone, and what is best for her to do right now is to keep being positive for her father’s sake.”. Maka kurangkul kedua lengan Rohmi sekali lagi, dan kusampaikan kata-kata Lt.May. Matanya kembali berkaca-kaca, namun ia mengangguk kepada Lt.May dan mencoba tersenyum sebisanya.

Itu terakhir kali aku melihat Rohmi dan Pak Darmo. Pada hari-hari terakhir, mereka sudah tidak menyambangi OR lagi. Mungkin karena pengobatan Pak Darmo sudah bisa ditangani perawat yang dulu dilatih Cmdr Godinez. Mungkin karena Pak Darmo memaksa pulang (dia selalu bilang tidak suka di rumah sakit karena jadi merepotkan orang). Mungkin dokter-dokter di rumah sakit lokal akhirnya memutuskan mengamputasi kakinya.

Pak Darmo dulu petani. Sawahnya luas, tapi anaknya tidak mau meneruskannya karena gengsi. Pak Darmo punya dua rumah, yang satu di dekat sawah. Itu dulu, sebelum gempa. Betapa dalam beberapa detik hidup orang bisa berubah.

Bagaimana dan sedang apa Pak Darmo kini, aku tidak tahu. Dan setiap teringat kaki Pak Darmo, aku hanya bisa berdoa. Yaa Allah, ringankanlah bebannya! Yaa Allah, tenangkanlah hatinya!

Note:
Pics, anyone? I dunno if i'd post any pics for this. At any rate i'm still waiting for Cooky to send his. I don't have pics of the wounds, nor of myself -and others- on duty; we simply didn't have time for such a leisure!