Putih
Nggak mudah lho untuk jadi putih.
Di Yasmin, kami memelihara beberapa pasang sandal yang kami namakan “sandal kamar mandi”. Itu sandal jepit setia yang tahun demi tahun berevolusi warnanya; kini sudah mencapai stadium kehitam-hitaman. Atas pertimbangan ekonomi, daripada membeli yang baru, kami putuskan untuk memutihkannya saja.
Kerja keras tanpa ujung pun dimulai. Metode pertama yang dicicipi para sandal jepit malang itu adalah sikat dan detergen; tanpa hasil. Berikutnya mereka menjalani perendaman dengan Bayclin selama 30 jam; tanpa hasil. Kepalang basah (nggak rela beli yang baru setelah terlanjur bersusah-susah), sandal-sandal tua dan buluk itu kami benamkan dalam larutan air kaporit konsentrasi tinggi. Tidak tanggung-tanggung: 5 hari!
Hasilnya sepadan, sih. Sandal-sandal kami kini bebas-kuman dan bersinar putih. Tapi itulah: ternyata untuk menjadi putih itu tidak mudah. Perlu usaha keras, makan waktu, dan butuh tekad yang sangat kuat.
Beralih ke usaha memutihkan sesuatu yang derajat sosialnya lebih tinggi daripada sandal jepit: wajah. Lupakan dulu polemik tentang Mitos Kecantikan ya; saya tahu “putih” tidak seharusnya identik dengan “cantik”. Tetapi tatkala seseorang memutuskan ingin berwajah lebih putih, kita harus menghormati pilihannya kan.
Dan bagaimana metode untuk memutihkan wajah? Masker Bengkoang, satu tube sekitar Rp 25 ribu. Moisturizer yang mengandung whitening agent dari merek ternama, satu pot sekitar Rp 70 ribu. Rangkaian produk perawatan wajah lainnya: Facial Foam, Foundation, Two-Way Cake, Milk Cleanser, Toner, Relaxing Cream, Skin Nutrient, Sunblock, dsb, semua dengan embel-embel “whitening”, kalau ditotal bisa sampai ratusan ribu. Itu belum disertai perawatan rutin di salon lho. Facial, lulur, mandi susu, dan (mungkin) spa. Ini ratusan ribu juga.
Lebih mahal usaha memutihkan wajah daripada memutihkan sandal ya. Tapi ada yang sama: perlu usaha keras, makan waktu, dan butuh tekad yang sangat kuat.
Masih soal putih-memutihkan. Hari-hari ini, dunia kita sedang dipenuhi ajakan untuk memutihkan sesuatu yang derajat moralnya lebih tinggi daripada wajah: hati.
Pada hari Idul Fitri kita akan kembali suci, katanya. Putih tak ternoda dosa-dosa. Segala kesalahan dilebur dan dimaafkan. Makanya kita menanti-nanti hari itu dengan antusias; karena “putih” adalah status idaman setiap orang, baik untuk sandal jepit, wajah, maupun hati.
Tetapi semestinya kita belajar dari kasus memutihkan sandal jepit dan wajah tadi kan? Bahwa itu tidak bisa instan. Bahwa ada harga yang harus dibayar. Bahwa itu perlu usaha, makan waktu, dan butuh tekad yang sangat kuat.
Aku menertawakan orang-orang yang tanpa usaha apapun take it for granted bahwa dia akan kembali fitri pada Idul Fitri. Ke laut aja! Kalau puasa masih bolong-bolong, ketinggalan shalat karena keasikan belanja, tilawah sedikit pun nggak pernah, masih enggan infak dan sedekah, kok bisa-bisanya berharap hati berhasil diputihkan? Ini sih sandal jepit yang direndam air kran.
Ramadhan adalah deterjen dan kaporit dan masker bengkoang dan apapun-itu. Pertama-tama harus ada kesadaran, kemauan, dan tekad untuk menjadi lebih baik. Menjadi putih. Tanpa itu, kaporit berikut sandal jepitnya akan terlantar selamanya. Hitam.
Kalau malas memutihkan? Sandal jepit baru bisa dibeli, wajah bisa dioperasi plastik seperti Jacko. Hati? Mungkin ada juga yang jual. Di pasar gelap. Milik orang yang sudah mati. Tapi belum tentu putih lho. Hehehe..
******* fin
Saya ber-husnudzan bahwa gegap-gempita menyambut Idul Fitri adalah karena orang antusias untuk kembali ke status fitri. Tapi, selalu ada kemungkinan bahwa semua ini hanya soal perayaan. Orang ingin merayakan sesuatu, apapun itu. Ingin pesta, ingin belanja. Aduh, dangkal ya.
At any rate, i’m wishing u all a blessed and glorious Eid-ul-Fithr, fellaz. All in white. :-)
It's All in Your Head
Sejak setahun lalu, seorang teman menyebut saya succubus. Katanya para pria bergelimpangan di sekitar saya. Saya yang naif dan kuper pun mengais informasi tentang succubus lewat Google. Hasilnya adalah tulisan merah besar memenuhi layar monitor: WARNING! CATEGORY: RED. ACCESS DENIED. Waktu itu saya sedang magang di perusahaan minyak asing yang memang sistem IT-nya ketat. Oleh penyaringnya, succubus dinilai berkonotasi seksual dan bukan untuk konsumsi orang kantoran.
Menurut Oxford Advanced Dictionary, succubus artinya “a female evil spirit, supposed to have sex with a sleeping man”.
Sedang versi Wikipedia: "In medieval legend, a succubus (plural succubi; from Latin succubare, "to lie under") is a female demon which comes to men, especially monks, in their dreams to seduce them and have sexual intercourse, drawing energy from the men to sustain themselves, often until the point of exhaustion or death."
Benar-benar tidak masuk akal. Nyuwun pangapunten, biar begini saya adalah perempuan berjilbab yang -insya Allah- cukup berakhlak. Kok succubus? Saya protes keras. “Tiada asap tanpa api!”, kilah si teman, meski bagi saya “jauh panggang dari api” lebih cocok (alias Jaka Sembung bawa golok). Bahkan penampilan saya pun datar saja -bagaimana mungkin saya dianggap penggoda yang membuat segerombolan pria berlutut di depan saya? Terutama karena memang gerombolan semacam itu sama sekali tidak ada.
Masalahnya, si Keras Kepala itu ngotot dengan pendapatnya. Menarik, bagaimana ternyata Anda sungguh-sungguh hanya melihat apa yang ingin Anda lihat.
Bahwa semuanya tergantung kepala Anda, saya temukan lagi kala makan malam dengan beberapa teman asing. Kami disuguhi penampilan musik panggung yang menyenandungkan lirik lawas “bagaikan air di daun keladi...”. Ketika mendapati artinya dalam bahasa Inggris, cowok-cowok itu ngakak. “Gilaaaa, seksual banget!”, kurang-lebih begitulah komentar mereka. Seksual dari Hong Kong? Susah-payah saya dan Pristi menjelaskan betapa polos lirik itu sebenarnya. Bisa jadi ini sekadar selusur Cross-Cultural Understanding yang kurang licin. Namun ritual ngakak itu terulang kembali ketika mereka mendapati judul lagu “Pengalaman Pertama”, -bahkan kian menggila.
“An innocent song?”
“Definitely.”, jawab saya dingin.
Maka terkonfirmasilah ketidakberesan otak mereka: ketika kepala diset dalam kerangka tertentu, segala hal dikesani sesuai pola itu. It’s all in their heads.
Apa lagi yang mungkin cuma sebatas kesan di otak? (Mungkin) Tuhan! Setidaknya itulah yang diungkapkan Danah Zohar dan Ian Marshall dalam teori Spiritual Quotient-nya. Bahwa keberadaan tuhan bermula dari kesadaran ketuhanan yang terpusat pada bagian otak yang disebut God Spot. Titik Tuhan ini terpatri (hard-wired) pada otak seluruh umat manusia, dan bisa distimulasi jika perlu. Hasil stimulasi itu adalah pengalaman spiritual (ketuhanan) yang maha dahsyat. Ironis, padahal yang terjadi hanyalah sedikit percikan aliran listrik statis dalam otak. Sinyal-sinyal listrik buatan itu menciptakan tuhan dan konsep ketuhanan. God is all in your head.
Nah, sebelum ribut memprotes tulisan ini, saya tegaskan lagi: itu adalah teori Zohar dan suaminya. Mungkin benar, mungkin tidak: wallahu’alam.
Lepas dari perdebatan tentang eksistensi Tuhan, saya setuju bahwa pada dasarnya segala sesuatu dalam dunia kita hanyalah kesan di otak semata. Kata pepatah, hanya yang bisa dilihat dan disentuh yang sungguh-sungguh ada. Namun bahkan apa yang terlihat dan tersentuh hanyalah interpretasi sinyal-sinyal listrik yang diangkut sel-sel neuron menuju otak kita. Adakah jaminan bahwa otak tidak akan berkhianat? Bagaimana bisa tahu bahwa otak kita bekerja dengan standar yang benar? Seumur hidup ini kita hanya berkesempatan mencicipi kinerja satu otak saja; tidaklah mungkin kita membuat perbandingan dan menarik kesimpulan. Keyakinan sederhana bahwa warna yang didefinisikan sebagai “biru” oleh otak kita adalah warna yang sama yang dicerap sistem sensori orang lain dan disebutnya “biru”, tidak akan pernah sampai pada kita sepenuhnya. Kesepakatan atas nama itu (dan segala sesuatu) hanya mengambang di permukaan. Semua realitas yang kita percayai mungkin tidak lebih dari ilusi pribadi: nyata, tetapi hanya untuk kita.
Dengan menyadari bahwa otak kita selalu bermain-main di wilayah kesan, asumsi, dan subyektifitas, ada baiknya mulai sekarang kita lebih membumi dalam berpendapat. Berpikir dulu sebelum berkoar. Sebab, apa yang kita sangka baik belum tentu Baik. Apa yang kita anggap benar belum tentu Benar. Saya bukan succubus, lagu-lagu Indonesia berlirik naif, Tuhan benar-benar Ada. Iya atau tidak, it’s all in your head.
But please, don’t be intoxicated by the exuberance of your own verbosity..
(To my “arbitrary-minded” friends: Dewa, Virus, Hamish, Michael, and many thanx to Alex, whom i miss much-much-much)