Sunday, January 07, 2007

Sitkom Dua Jam

(How to Spend Two Hours in a Bad Fashion -Indonesian version)

Masing-masing pihak tidak bermaksud melucu, tapi mereka terjebak dalam satu situasi yang lucu, itulah sitkom.

Minggu lalu aku jadi bintangnya. Sitkom versi dunia nyata.

Syahdan aku punya beberapa teman –mantan senior di universitas- yang kadang kirim-kiriman imel. Lokasi mereka tersebar di seantero Indonesia dan bola dunia. Suatu ketika mereka mengabari rencana mereka untuk bereuni di Jogja. Pada posisi ini, aku hanya bisa berkata, ”Oh bagus! Ayo kita ketemuan!”.

Dan memang bagus kalau bisa ketemuan kan? Aku selalu senang pergi makan malam dengan teman, saling bercerita tentang banyak hal, dan berbagi pandangan tentang hidup dan dunia.

Dalam kasus ini, kondisi ideal diganggu beberapa fakta:
1. Aku sebenarnya tidak terlalu kenal mereka
2. Mereka bawa teman yang belum pernah aku lihat seumur hidup
3. Dunia kami jauh berbeda

Hasil dari ”percobaan” atas nama keramah-tamahan ini,
Mereka: sibuk bicara dengan topik mereka sendiri, dengan bahasa mereka sendiri, komunikasi yang dikatagorikan para ahli sebagai ”full of contexts”.
(Wajar, karena ini reuni mereka, tentunya mereka ingin bicara tentang dunia mereka, tanpa bermaksud membuat-)
Aku: tersudut di pojok, berusaha menyimak, berusaha mengerti, kehilangan kata-kata dan memutuskan membiarkan mereka dengan topik mereka.

Sambil bertanya-tanya apa sebenarnya yang sedang aku kerjakan di sana, aku menyadari kebodohan situasi ini dan tidak bisa berhenti nyengir gila.

Semua pihak bermaksud baik. Mereka tidak ingin dianggap mengabaikan aku sementara mereka mampir ke Jogja. Aku tidak ingin dianggap mengabaikan mereka sementara mereka mampir ke Jogja. Jadi dibuatlah janji bertemu. Yang sedikit kami lupakan adalah: mereka tidak benar-benar perlu dan ingin bertemu denganku, aku idem ditto, dan bahwa keramah-tamahan tidak seharusnya justru menghancurkan keakraban.

Aku akan bilang ini dengan terus terang: keberadaanku di sana sedikit-banyak mengganggu acara mereka. Dan waktu dengan sok tuanya ada yang menceramahiku soal hidup, aku hampir-hampir berdiri dan pergi, jika bukan karena mengingat norma kesopanan yang harus dipatuhi.

Jadi dua pihak yang sama-sama ”tertekan” terpaksa duduk dan tertawa bersama sampai waktu yang sepantasnya. Lucu kan? Terlalu banyak yang ditahan-tahan dan dikorbankan atas nama kesopanan dan keramah-tamahan.

Izinkan aku belajar dari pengalaman ini. Lain kali ada yang mengabarkan kunjungan mereka, tanggapanku akan berhenti pada ”Oh bagus!” saja.