Saturday, November 04, 2006

Maaf (Bukan Barang) Obralan

(Lebaran Bits pt.2, Indonesian version)

Hari-hari ini saya jadi menyadari betapa murah dan remeh-temehnya sebuah maaf. Tentu saja ini hal lazim di Indonesia, apalagi sementara kemeriahan Idul Fitri masih di depan mata. Saking biasanya, tidak banyak orang yang keberatan dengan maaf obralan, dan tidak banyak pula yang menilik ada apa di belakang.


Biar saya yang memulai kampanye ini. Bukankah kita semua sudah kepayahan terus-terusan memaafkan orang? Bukankah aneh bahwa yang dimaafkan acapkali mengulangi kesalahan yang sama, dan minta maaf lagi, dan terus berputar dalam siklus konyol di mana kita kebagian peran sebagai si Pandir-nya? Bukankah lucu bahwa si Pandir di satu siklus ternyata berjaya menjadi si Buaya dalam siklus-siklus lainnya?


Ayolah, jujur saja. Memang ada orang-orang tertentu yag bisa kita "kadali" kan? Orang-orang yang dikerjai seperti apapun masih mau memaafkan kita. Yang kita bisa santai bersiul-siul meski terlambat janjian dengan mereka. Toh mereka tidak akan marah. Minta maaf sambil nyengir, bereslah. Sebaliknya ada juga orang-orang yang tergolong "garis keras" dan segalak satpam. Dengan mereka kita tidak berani macam-macam.


Apa bedanya? Sederhana: yang satu gampang memaafkan dan yang lain tidak. Tapi seringnya kita tidak sadar: dalam hati, kita (sedikit) memandang rendah mereka yang gampang dikadali. Dengan membalik premisnya, bisa disimpulkan bahwa kalau kita tidak ingin dipandang sebelah mata, jangan memberi maaf cuma-cuma.


Kenapa emas dianggap berharga? Karena langka; tidak banyak jumlahnya. Apa yang bisa dengan mudah diperoleh tidak akan benar-benar dihargai, ini kita mengerti. Untuk urusan maaf-memafkan pun setali tiga uang. Keras hatilah sedikit. "Dingin" sedikit. Jangan obral maaf pada yang tidak layak mendapatkannya. Maaf (dan permintaan maaf) seharusnya lebih suci, lebih khidmat, lebih tulus. Orang-orang yang minta maaf seenaknya saja, tanpa menunjukkan penyesalan sedikit pun, cuma bikin muak. Bayi juga tahu itu basa-basi belaka. Namun kita "ditekan" untuk menanggapi seperti ajaran PMP, alias memaafkan mereka dengan senyum lebar. Yang lucu, mereka juga tahu kita tidak sungguh-sungguh memaafkan. Tapi dalam panggung sosial, masalah sudah diselesaikan, kedua pihak berjabat tangan, cerita rampung dengan kemunafikan. Bung, malpraktek begini mesti berhenti!


Kampanye saya kira-kira akan begini bunyinya:

JANGAN MAAFKAN ORANG YANG TIDAK BISA MELIHAT KESALAHANNYA!
JANGAN MAAFKAN ORANG YANG TIDAK SUNGGUH-SUNGGUH MENYESAL!
JANGAN MAAFKAN ORANG YANG TIDAK BERUSAHA MEMPERBAIKI KEADAAN!
JANGAN MAAFKAN ORANG YANG TIDAK BISA MENGHARGAI MAAF!
JANGAN MAAFKAN ORANG YANG TIDAK MAU BELAJAR DARI KESALAHAN!

Bapak-bapak dan Ibu-ibu! Ayo turun ke jalan dan kita reformasi ini sosial punya aturan!


(Isi tulisan ini, tentu saja, adalah parodi. Mohon maaf bila ada bagian-bagian yang kurang berkenan untuk Anda. Dan saya tahu bahwa saya pasti akan dimaafkan, karena di mana-mana maaf memang murah, dan Anda bukan pengecualian. Ha ha.)