Monday, July 10, 2006

Hari-Hari Terakhir

(Patria Es Humanidad, Pt.12)

107 dalam Empat Jam

Hari terakhir klinik.

OR hanya menerima pasien sampai jam sembilan pagi; mesin X-Ray sudah dikemasi. Tiba di stadion lima belas menit lebih awal, kami kaget mendapati dokter-dokter sudah bekerja. Tenda pelayanan medis didirikan di pelataran parkir. Persis di bawah matahari.

Ada rasa sedih, ada rasa kehilangan. Tenda klinik ini akan dibenahi pada jam 12 nanti, dan selesailah semuanya. Hari-hari ketika kami bekerja seperti mau mati akan berakhir di sini.

Kuhampiri seorang pasien yang aku tahu sudah diwanti-wanti untuk kembali ke OR hari ini. Kubawa dia ke dalam stadion, ke tenda OR, tempat kesayangan. Di dalam, Mueller sedang mengemasi berbagai barang. Yang biasanya ada empat tandu di ruang transit, pagi ini hanya ada satu. Rasanya pilu.

Pasienku sudah terbaring menunggu Cmdr Godinez ketika bahuku dipeluk dari belakang. Aku berbalik, mendapati Cmdr Vilha
uer berkata, “Look who’s here!” seraya memegangi kedua lenganku. Aku tersenyum padanya, “Yes, i’m here, Ma’am. And this is my last day..”, dan ia memelukku.

It’s sad to see you take down things..”, kataku, memperhatikan Mueller, Sheggrud, dan Adefisan yang sibuk menurunkan perlengkapan medis yang bergantungan di dinding. Mereka menoleh dan tersenyum maklum. “I know. Before noon we have to take down the tent, too.

Dan itulah pasien terakhirku di OR. Pembicaraan terakhir. Kerja sama terakhir.

Usai mengantar pasien, aku menyibukkan diri d
i tenda klinik dengan menjadi “asisten” Chief Snyder. Kami bercanda dengan Pristi juga, dan waktu berlalu begitu cepatnya. Beberapa kali kami terpaksa menolak pasien yang perlu rontgen atau prosedur bedah. Beberapa kali Chief Snyder berlari-lari mengejar anak-anak yang kabur takut disuntik tetanus. Ditangkap, dipeluk kuat-kuat sementara mereka meronta, dan jlub! imunisasi terlaksana! Kami tertawa-tawa melihat bagaimana seorang anak meninju Chief membabi-buta sampai kacamatanya jatuh, sedangkan Chief yang jagoan perang itu hanya bisa pasrah. Dr.Daily, dr.Santoyo, dan dr.Ferrara sibuk menangani sederetan pasien yang sudah antri. Panas mentari tidak kami pedulikan lagi.



Pics (from mbak Nur-USAID): 1.clinic tents: patients come swarming, 2.eloque, latu and tracey, 3.pristi, dr.Ferrara and Chief Snyder, 4.dr.Santoyo on duty :-)

Jam 11, garda depan ditutup. Jam 12, pelayanan medis ditutup. Dalam empat jam kami melayani 107 pasien dan mengimunisasi 120-an orang. Dr.Ferrara mengamati obat-obatan yang tersisa. Dimintanya kami membawa pulang dan sebisa mungkin membagi-bagikannya pada para korban, kare
na “otherwise we have to throw ‘em away”. Tentu saja yang boleh kami bawa hanya obat-obat nonresep seperti vitamin, zat besi, dan salep antiinfeksi. Mbak Lilis pun "berpesta", karena kebetulan dia kenal seseorang yang bisa menyalurkan obat-obatan itu kepada korban gempa.

Satu demi satu kami kembali ke dalam stadion. Masih empat jam sampai kami bisa pulang. Aku dan Pristi bergabung bersama para marinir untuk makan siang. MRE terakhir. Siang yang terasa panjang. Pandanganku menumbuk tempat tenda OR berdiri, tapi di sana sudah tidak ada apa-apa lagi. Hamparan kosong dengan tanah berwana merah. Dokter-dokter bedahnya pun sudah diangkut ke hotel Melia.

Di sekitarku, orang-orang sibuk bertukar alamat e-mail dan berfoto-foto. Aku coba turut larut dalam gelombang itu. Di kepalaku terngiang lagi, “the end is the beginning is the end”. Damn, i hate parting.

Pic: taking down the tents. Every beginning has its end?

The Very Last Day

Kami masih kembali ke stadion keesokan harinya. “It’s gonna be a slow day. Lotsa sitting around”, kata Lt.Woodard. Toh ada beberapa out mission dengan pasukan dokter, dan aku dan Pristi sudah bercita-cita untuk ikut misi ini.

Empat interpreter (aku, Pristi, Aulia, mas Bimo), empat mobil USAID, dua belas dokter, dua marinir pengawal (Ortiz –tentu saja!- dan Gonzales), tanpa TNI kali ini. Berangkatlah kami.


Aku semobil dengan dr.Choe dan Capt.Lane (bos besar kami), dan dari mereka kuketahui bahwa ini “misi belajar”. Mereka mendengar ada banyak kasus tetanus di Sardjito pasca gempa ini, sementara di Amerika, dalam setahun hanya ada 3-4 kasus saja, itu pun di pedalaman desa. Dokter-dokter militer ini belum pernah melihat kasus tetanus yang sesungguhnya, dan tak mau menyia-nyiakan kesempatan langka untuk “belajar”. Mereka memiliki kontak dari WHO dan USAID di Crisis Center Sardjito, maka muluslah rencana “kelas tetanus” mereka.

Dr.Sutaryo dan dr.Bambang menemui kami, dan lantas kami
digiring ke ruang ICU. Pasien-pasien di bangsal juga ditilik keadaannya, didampingi seorang dokter muda yang gugup dan kacau bahasa Inggrisnya. Di sinilah dilema seorang interpreter mengemuka. Di stadion, aku bisa menjalankan peranku dengan wajar dan luwes, karena para pasien adalah orang-orang sederhana yang tidak bisa bahasa Inggris sama sekali. Sekarang, ada dokter berpendidikan tinggi di hadapan mereka, yang meskipun melihat badge interpreterku, tetap memaksa berkomunikasi sendiri dengan para dokter Amerika. Capt.Lane tidak sabar dengan bahasa Inggris patah-patah itu dan memberi isyarat agar aku menerjemahkan, tetapi bagaimana bisa kalau dokter muda itu tidak mau menyampaikan idenya padaku? Ini tentang kesopanan dan harga diri. Ini tentang unggah-ungguh juga, dan aku meyesal bahwa Capt.Lane bukan orang Jawa.

Jangan-jangan dr.Sutaryo juga bukan orang Jawa! Kami tersentak waktu dengan lugas dia menanyakan sebenarnya dengan maksud apa para dokter Amerika mengunjungi rumah sakitnya. Rupanya tadinya dia mengira mereka adalah dokter-dokter dari Crisis Center WHO. Capt.Lane repot menjelaskan bantuan USAID dan sebagainya, namun dr.Sutaryo malah menuding preseden bantuan untuk Aceh yang dipotong sana dipotong sini. Aku bisa bilang mereka tidak siap dengan konfrontasi macam ini. Maksudku, mereka itu dokter di lapangan, bukan yang mengurusi keuangan. Lebih bagus kalau dr.Sutaryo menuding-nuding Rudy, hehehe.. (aku membayangkan uang bantuan dipotong un
tuk perbaikan stadion ;p)

Capt.Lane ketiban pulung untuk ikut rapat dengan orang-orang Crisis Center, sementara kami mengobrol di lobby untuk membunuh waktu. The Hyatt adalah tujuan berikutnya, rapat lagi dengan petinggi-petinggi USAID, dan sepanjang sore kami habiskan di sana.

Pic: pristi and eloque, taking advantage of our brief stay at the Hyatt. Nice postcard pic, eh? Thx 2 Chief Snyder!

Ketika kembali ke stadion, tempat itu sudah benar-benar bersih dari tenda. Semua personel diangkut ke Melia. Hanya Rudy dan Woodard yang tersisa. Entah kenapa, rasanya sedikit hampa.