Aku Nggak Iri sama Orang Cantik
N--- cantik sekali. Penggemarnya menyemut mengerubungi dia setiap hari. Fan Club-nya mungkin sudah ada –dan kehabisan kartu anggota.
Kami berteman. Dia bercerita: tidak banyak sesama cewek yang suka-rela berteman dengan dia. Dia mengeluh: beberapa cewek bahkan memusuhinya.
Bisa dimengerti. Semanis apapun sifatnya, berteman dengan cewek cantik memang lebih sering bawa penyakit. Bayangkan jalinan yang susah-payah dibangun dengan cowok idaman berantakan gara-gara sang pangeran jatuh cinta pada pandangan pertama –dan lantas beralih hati- pada si cantik yang barusan kita kenalkan sebagai “teman”. Salah siapa? Kalau menurutku, salah kita yang naksir cowok dangkal. Nggak berharga.
Dan itulah kenapa aku nggak iri sama orang cantik. Justru mereka kasihan sekali. 99% dari para penggemar yang berkerumun itu cuma melihat fisik. Apa yang ada di hati kita, di otak kita, di mimpi kita, sekadar pelengkap penggembira. Menjijikkan. Dikerumuni serangga-serangga seperti itu, diganggu sepanjang hari (telepon, sms, tamu), dipandang hanya sebagai komoditi. Meladeni cowok-cowok dangkal itu cuma buang-buang waktu kan? Tapi toh ada standar kesopanan yang harus dipenuhi. Tamu yang datang harus setidaknya ditemui. Bayangkan betapa jadwalku bakal terganggu, dan betapa ritme hidupku akan diatur faktor luar, jika aku cantik.
Tentu saja aku pernah ingin cantik. Bagaimanapun juga ini dunia yang memuja segala yang memanjakan mata. Jika kamu cantik, kamu diberkahi dengan beberapa hak istimewa. Tapi sudah sejak lama aku berubah pikiran* (entah karena semakin dewasa, atau karena sadar bahwa usahaku sia-sia belaka, ha-ha!). Karena Tuhan memang Maha Adil; bersama fasilitas yang menyertai kecantikan, diturunkan pula satu-dua “kutukan”. Untuk apa digemari karena cantik, tapi hanya dicintai sebatas kulit? No, Miss, i don't envy you.
*daripada jadi cantik, aku lebih ingin hati yang murni
Anda Berbahasa Indonesia?
(Menyambut Pembahasan RUU Bahasa)
Syahdan, kekayaan kosakata bahasa Indonesia hanya sekelas gerundang; sepanjang sejarah tercatat bagaimana ia menadah kata-kata dari bahasa lain. Sebut saja “adil” (Arab), “handuk” (Belanda), “gereja” (Portugis), atau “komunikasi” (Inggris).
Naga-naganya menyitir kata asing telah menjadi andalan, terutama kala didapuk menghadapi istilah-istilah khusus. Ambil contoh jika kita berkelana di dunia maya; entah sekadar menelusuri laman-lamannya atau untuk mengunduh dan memunggah sesuatu. Sulit rasanya mengindonesiakan tampilan yang terlalu canggih itu.
Karena prasangka bahwa gagasan khas manca selalu berada di luar cakupan bahasa Indonesia, kita lantas lebih kenal impeachment daripada permakzulan, real estate daripada lahan yasan, country club daripada janapada, anthology daripada bunga rampai.
Hasilnya? Coba pindai sebentar berbagai acara di televisi untuk mendengar ceracau orang Indonesia. Serasa menikmati es campur, dengan sepenggal kata bahasa Inggris di sini dan di sana.
Lantas akankah bahasa Indonesia muncul sebagai penyintas dalam ranah bahasa yang terimbas kesejagatan? Jika para penggunanya sendiri lebih suka mengandalkan kelenturan bahasa Indonesia untuk menyerap dan menjerap kata-kata bahasa asing, dan bukannya mencari padanan kata yang penad, maka kita berhak merasa ragu.
Saya percaya bahwa berbahasa sesuai kaidah tidak berarti mengajangi penyampaian maksud secara mangkus dan sangkil. Ini sebuah wacana untuk “orang Indonesia” yang kadung lumus bahasanya. Tidakkah menyedihkan bahwa Anda harus menilik senarai di bawah ini untuk benar-benar memahami isi tulisan ini? (hehehe..padahal ditulis dalam bahasa Indonesia..)
Catatan:
Tulisan ini 100% bebas kata serapan.
Terima kasih kepada sekondan saya, Pristi.
Senarai (glossary)
Gerundang : tadpole
Laman : website/webpage
Mengunduh : to download
Memunggah : to upload
Permakzulan : impeachment
Lahan yasan : real estate
Janapada : country club
Bunga rampai : anthology
Pindai : to scan
Penyintas : survivor
Ranah : domain
Kesejagatan : globalisation
Menjerap : to adsorb
Penad : relevan
Mengajangi : to shade over
Mangkus : effective
Sangkil : efficient
Wacana : discourse
Lumus : smeared, soiled
Sekondan : partner
PLAYING AROUND, GIRLS?
When it comes to playing around (which of course is my leisure!), I am obliged to warn my fellow females: BEWARE! TIME DOES FLY! Sad but true, ladies, we, unlike men, are not privileged to spend as much time at will to play around with our early lives.
For lads, coming of age doesn’t necessarily mean that they must start leading ‘responsible’ lives (standards may vary in accordance with local custom and social norms). Sure, fussy surroundings will encourage all sorts of establishment -good, steady job, a house to settle in, a nice girl to marry, little babies to raise-, but whether lads are stupid (or smart; depending on your perspective) enough to nod and finally succumb or not, it is for them to decide. They might not wish domestic affairs to thwart the prime of their lives, -not so much when they have all the money and all the possibilities. Fine. Keep being stupid (or smart; it depends, really) till they well pass their forties or fifties. Fine. Perhaps the ages will have left traces on them when they finally wish to settle down. Fine. They can still find pretty girls –money does provide things- who will bear their children. Or if this is about searching for soul mates or finding the perfect spouses, well, the male members of the society definitely posses a considerable length of time for a thorough choosing. And while at it, why not enjoy it? Life is good.
Try and apply the same rule to the female members of our society? Sorry, you can’t. Biologically speaking, this whole business of child-bearing, -which to some is the very essence of marriage and life in general- has its deadline. Over thirties, procreation will be hampered by their own XX-chromosomes. Girls might crave to suck the marrow of Life, to lark about, to play around, but they can’t be stupid (or smart; again, your decision) like that forever. Nature will find its way; it won’t care whether the ones by their selves are the long-searched perfect matches or mere toyboys. Even if some do have the cheek to go on the frivolous, reckless lives, an old lady of fifties and a handsome lad of twenties must make a scene (perhaps money can’t buy all things after all; or perhaps you could put the blame on our wonderful, gender-biased society, ha ha).
So what am I attempting to say?
I’m not saying that it is unfair. Men and women are different and we must accept and respect it. Women struggle all the way to deputize a better -manlike, sometimes- role in the society; that is true. Yet, ladies, please don’t be intoxicated as you pursue the equality to whatever men have and do. Lads play around; let them. They can. YOU can as well, but still there are confining repercussions, and you SHOULD know.
Hence if you feel like playing around, girls, halt for a moment and decide your priorities first. Then live on and be content.
(Thanks to Hanayashiki Fuyo for the matter-of-fact judgment and to W for enduring my lengthy blabber. The picture is Alex’.)
Harga Diri Identitas
“Memangnya kenapa kalau di luar negeri (keadaannya) nggak begitu? Ini kan Indonesia. Di Indonesia memang begini. Banggalah jadi orang Indonesia!”
Komentar (kritik?) seperti ini saya terima berkaitan dengan dua tulisan saya; yang satu tentang sistem desimal dan yang lain tentang uang yang kumal.
Banggalah sebagai orang Indonesia, katanya. Baik sistem desimal yang berbeda dengan standar universal maupun uang yang lusuh-kumal adalah bagian dari identitas keindonesiaan kita. Tidak perlu susah-susah diubah.
Begitukah?
Yang bicara di sana adalah harga diri identitas. Saya selalu berpikir dua (bahkan tiga, empat, sepuluh) kali sebelum mengedepankan kebanggaan atas eksklusivitas ini. Hati-hati!
Karena harga diri identitas, sejarah dunia mencatat daftar panjang gesekan antarras. Karena harga diri identitas, tumpahlah darah di Poso dan Maluku Utara dan Sambas. Karena harga diri identitas, sampai hari ini perempuan di berbagai penjuru dunia masih tertindas. Karena harga diri identitas, kampanye pemilu rusuh oleh pendukung partai yang bentrok keras.
Identitas itu penting, tapi benarkah harus dipentingkan? Cara pikir eksklusivisme telah memecah-mecah kesadaran akan identitas yang lebih besar sekaligus mendasar: identitas sebagai manusia dan sebagai makhluk Tuhan.
Harga diri identitas itu penting, tetapi tentunya bukan untuk dinomorsatukan. Ini sudah bukan zaman “right or wrong, my country”. Ada yang lebih mendesak daripada harga diri identitas, yaitu perbaikan. Kalau ada yang bisa diperbaiki, perbaikilah. Selama lebih besar manfaat daripada mudlaratnya, kenapa ditunda?
Saya mencintai Indonesia. Kecantikannya, kemurniannya, kesederhanaannya. Saya pun marah jika Indonesia disumpah-sumpah. Karenanya jangan sampai kita memberi alasan bagi orang lain untuk meyumpah-nyumpah kan? Kalau ada yang bisa diperbaiki, perbaikilah.
..hujan..
Jogja hujan lagi. Dingin. Basah.
Reaksi pertamaku selalu saja tentang jemuran (betapa domestik!). Adakah pakaian yang sedang dijemur? Adakah yang berbaik hati mengangkatkannya sebelum terlanjur kuyup lagi?
Namun hujan punya segunung makna. Selaksa kenangan.
Ia ada di sana ketika aku berlarian sebagai kanak yang kegirangan. Ia menyuguhkan genangan becek berlumpur yang kala itu tak segan kuinjak dan kutendang. Ia adalah saksi murninya kepolosan; kebahagiaan.
Lama kemudian kanak yang ceria itu tumbuh menjadi perempuan yang duduk di tepi jendela. Menatapi hujan. Menatapi bagaimana butir-butirnya bermesraan dengan dedaunan. Menatapi, tetapi tanpa geliat gairah untuk turun dan merasakan.
Ke mana menguapnya kekaguman kepada Dunia, dan semangat untuk merasai segala?
Jogja hujan lagi. Dingin. Basah.
Aku sungguh ingin kembali kepada masa lalu, ketika hujan bagiku bukanlah pengganggu, melainkan keajaiban, petualangan, dan kegembiraan.
Aku tidak ingin berpikir tentang jemuran.
PS:
Ada harga yang harus dibayar untuk tumbuh dewasa. Ada banyak kompromi. Dan ada sesuatu yang mati.