Orang-Orang Indonesia: Beliau Minta Tas Segala
(Patria Es Humanidad, Pt.8)Tiba kembali di stadion! Belum sepuluh meter dari tempat parkir mobil, di gerbang muka aku dibajak Rudy. “Elok! Are you free?”. Lantas tanpa ba-bi-bu dia memintaku untuk menjadi penerjemah dalam pertemuannya dengan birokrat lokal yang akan datang tiga menit lagi. Mbak Dede dari USAID yang seharusnya mendampinginya hari itu terjebak di OR. Aku pikir lebih baik aku kembali ke OR dan menggantikan mbak Dede –toh sebenarnya itu tugasku- tetapi oh no! Mbak Dede persis di tengah operasi. Maka kembalilah aku pada Rudy dan tertawa penuh kemenanganlah dia, “I told you! You didn’t believe me. You just hated me.” Giliran aku nyengir, “No Sir, i was just thinking that if you were used to Dede then it was best to get her.”
Namun si birokrat keburu datang sebelum Rudy sempat menerjemahkan smirk-nya dalam kata-kata. Birokrat ini (sebut saja Pak Joko) dari Pemda Bantul, entah kantor apa, aku hanya melihat sepintas name tag-nya. Rudy langsung mengajak Pak Joko masuk, dan bicara tentang “melihat kerusakannya”. Kerusakan apa, aku masih meraba-raba sambil menerjemahkan sebisanya. Pak Joko bicara tentang “lapisan-lapisan tanah” dan “pasir yang tidak boleh tercampur”. Setelah tiga menit, baru aku bisa menebak arah pembicaraan mereka, dan wajahku yang sudah gosong seharian jadi bertambah suram.
Ini tentang stadion kebanggaan Bantul, tempat rumah sakit lapangan berdiri. Ini tentang bagaimana hujan sederas apapun tidak akan membuat lapangannya banjir, karena ada lapisan karpet di bawah struktur tanah, dan batu-batu dan pasir dan sebagainya. Ini tentang aktivitas para marinir dengan alat-alat beratnya –mendirikan tenda, mengangkut mesin-mesin medis- merusak lapisan karpet itu dan memporakporandakan struktur tanahnya. Ini tentang keharusan ganti rugi untuk memperbaiki semua kerusakan ini. Singkatnya, ini tentang uang.
Pak Joko mau bilang –kalau diterjemahkan menjadi bahasa yang paling lugas dan sederhana: stadion ini rusak gara-gara usaha KEMANUSIAAN Anda menolong orang-orang BANTUL yang saudara bukan teman bukan, dan saya tahu Anda sudah menghabiskan jutaan dollar, tapi di mana TANGGUNG JAWAB Anda terhadap stadion ini?
Pics: The accused of the so-called damage: tents, boxes, skytrax..
Rudy mangut-mangut dengan wajah serius. Aku tertunduk dalam-dalam. Sepertinya Rudy sadar suaraku makin lama makin pelan. Dia menepuk bahuku dengan gaya menenangkan, seraya berkata “I’ll go get my lawyer!” *smirk*
Selama Rudy menghilang di balik tenda CoC, tiada hentinya Pak Joko mengoceh soal “Saya sudah bilang, kalau pakai stadion ini nanti stadionnya rusak. Kok mereka nggak mau pake pelataran parkirnya aja?”, seolah-olah dia tidak melihat bahwa pelataran parkir sudah sesak oleh puluhan mobil USAID dan IOM, juga oleh mobil-mobil tangki air dan dua kontainer obat-obatan. Lantas, "Ini harusnya rumputnya disiram, mbak. Tanggung jawab mereka. Kering nanti rumputnya." Nyuwun pangapunten! Sementara warganya sekarat, dia mikirin rumput?
Rudy kembali bersama Capt. Aoyagi, pengacara dari US Marine. Aku mendesah. Pembicaraan akan jadi semakin menyebalkan, pikirku. Tapi ternyata Aoyagi datang hanya untuk mengatakan bahwa silakan buat klaim apa saja beserta bukti-buktinya, dan selama jumlahnya masuk akal US Marine akan membayarnya. Semakin cepat klaim masuk, semakin cepat dibayar. Sama sekali tidak ada sanggahan, sangkalan, perlawanan. Pak Joko tersenyum sumringah. Aku menunduk semakin dalam, tidak ingin Rudy atau Aoyagi melihat mukaku yang aku yakin merah padam.
Pertemuan selesai. Klaim akan diserahkan segera setelah pemeriksaan awal. Rudy mengangguk-angguk dan Aoyagi tersenyum datar. Mungkin dari semuanya cuma aku yang merasa jengah. “So i’m done, Sir?”, tanyaku pada Rudy. “Oh you do hate me, Elok?”, candanya. “I like staying with you Sir, but i believe i’m more needed at the OR.” “OK then, will you kindly escort this gentleman to the gate before you return to your post?” “Yes Sir!”, jawabku dengan gaya Marine. Dia tertawa.
Andai aku juga bisa tertawa. Tapi bapak birokrat ini, Pak Joko ini, benar-benar cobaan yang tiada habisnya. Sambil kami berjalan melintasi tenda-tenda perbekalan, ia menanyaiku dengan riang.
“Sudah lihat tasnya, mbak?”
“Tas apa ya Pak?”
“Tas mereka itu lho. Tas tentara yang besar itu.”
“Oh. Saya nggak tahu.” (sedikit curiga)
“Wangun itu mbak kalo dibawa ke airport. Saya mau, itu mbak, satu atau dua.”
“Wah, saya nggak punya Pak.” (merasa bodoh)
“Tolong mintain ke mereka, mbak. Satu atau dua.”
“Aduh Pak, saya ini tugasnya di kamar bedah, jadi nggak banyak ketemu petinggi-petingginya. Yang sering tuh mbak Sari.” (kecurigaan terbukti)
“Ya tolong bilangin mbak Sari, saya mau dua.”
“Bilang sendiri dong Pak.” (suara agak tinggi).
Untung gerbang sudah di depan mata. Buru-buru aku ucapkan salam perpisahan, semoga sukses, bla bla bla. Fiuh! Kadang-kadang aku tidak habis pikir menghadapi orang Indonesia. Tapi untunglah di OR ada AC (surga di bawah matahari tropis ini), dokter-dokter dan paramedis yang baik hati, pasien-pasien yang tulus dan sederhana. Aku akan bahagia. Aku akan bahagia!